Mohon tunggu...
riana kelen
riana kelen Mohon Tunggu... -

UNDANA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menanti Sang Fajar Merekah

28 April 2012   10:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:00 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari seakan- akan membakar kulit; panasmenyengat. Debu- debu beterbangan diterpa angin. Jalan setapak berbatu di kampungku biasanya lengang jika panas terik begini. Sepi,,,,, sesekali hanya terdengar ocehan anak tetangga yang rewel yang minta dibelikan sepotong es.

Ketika itu, melintaslah sebuah sedan mewah dan berhenti tepat di depan rumah tetanggaku. Hal ini mengundang orang- orang di kampungku yang tadi bersembunyi dari teriknya sang raja siang, mengintip dari celah- celah rumah bambunya; siapakah gerangan yang datang? Pejabatkah ia?? Atau ..........???

Seorang laki- laki berbadan tegap, berkumis tipis dan berpenampilan seperti seorang pejabat turun dari mobil itu. Semua yang tadi hanya mengintip dari tirai bambu rumahnya, kini mulai datang mendekat. Rasa penasaran muncul. Tak ketinggalan, anak- anak kecil yang berpenampilan dekil karena keringat dan debu, beramai- ramai datanguntuk melihat mobil mewah yang mampir tersebut. Maklumlah tinggal jauh dari perkotaan, sehingga jarang kita melihat mobil semewah itu. Jalan berlubang dan yang ada hanya bentangan batu kali yang disusun warga untuk menahan erosi setiap musim hujan. Sungguh sadis ketika hujan tiba. Tanah berlumpur membuat orang segan melintasi jalan ini.

Namun hari ini pemandangannya berubah. Tak lama berselang, seorang wanita cantik berkulit sawo matang, berambut rebondingdengan kacamata gula lempeng (gula tuak daridaerah Sabu yang di cetak berukuran bundar) turun dari mobil itu. Dengan langkah gontai seperti ratu sejagad di arena cat walk, ia pun melangkah. Semua mata yang memandang terkesima dengan penampilannya yang menunjukkan keindahan tubuh bag gitar spanyol.

“Siska.............,,,” jeritan sang ibu mengejutkan warga yang saat itu berada di sekitar tempat itu. Luapan kegembiraan keluarga seakan tak tertahankan lagi. Mereka datang berhamburan memeluk dan menciumnya. Ternyata dia adalah Siska, gadis asal desa kami yang berhasil mejadi Tenaga Kerja Wanita di Singapore. Decak kagum dan pujian dari setiap mulut warga desa itu seakan- akan tak pernah berhenti. “dia memang TKW yang sukses”, gumam salah seorang warga.

Siska yang dulu hanya seorang gadis desa yang hanya berijasah SMP kini sudah menjadi jutawan; dulu yang hanya dengan setelan baby doll kumal, kini sudah berbusana seperti pemain sinetron dan bintang iklan yang biasa ku saksikan di layar televisi dirumah tetangga.

“Agness..... agness.......,?” terdengar suara mama memanggilku. Aku segera beranjak dari tempatku. Aku hampir lupa kalau aku harus membantu mama untuk menyelesaikan pekerjaan mencucinya. Mama adalah seorang ibu rumah tangga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beliau bekerja serabutan. Kadang ada tetangga yang memakai jasanya sekedar membantu urusan rumah tangga dan bahkan sampai menjadi orang upahan di ladang. Bapakku juga menjadi buruh tani yang mendapat upah harian di kebun milik warga. Tanah di daerah ini yang berbatu- batu membuat petani susah untuk mendapatkan hasil yang baik dari ladangnya. Banyak warga yang memutuskan untuk pergi merantau entah kemana, sekedar mendaptkan kehidupan yang layak. Mama dan bapak harus membanting tulang hanya untuk menghidupi kelima anaknya temasuk aku. Akulah yang sulung. Aku tidak bisa melanjutkan pendidikanku yang lebih tinggi lagi karena ketiadaan biaya. Hampir sebagian besar teman sebayaku juga mengalami hal yang sama. Aku sudah ikhlas untuk membantu orang tua demi adik- adikku.

“...Mama???, ma....” tidak terdengar sahutan suara mama. “Ma...........” ketika kulihat mama yang sedang asik mengucek cuciannya, aku lari mendekat. “Ma..,, beta lia Siska anaknya Om Nadus su datang; ucapku berapi- api dengan logat Kupang. “Awi,,, dia pung body pica- pica.” Mama hanya tersenyum kecil melihatku menirukan gayanya Siska.

Mama balik bertanya “trus lu pung kapan?”. “nanti sa, mama. Beta sonde bisa kerja na...beta cuma bisa bantu mama jemur pakaian” jawabku sambil tertawa. Mama hanya menggeleng karena mengingat pekerjaanku yang belum sempurna ku lakukan. Sambil bercanda, tanpa terasa pekerjaan yang kami lakukan bisa terselesaikan.

Ketika malam tiba,,, aku mulai sibuk dengan rutinitasku.. Seperti biasa, sesudah makan malam aku menyempatkan diri untuk menonton sinetron andalan warga di kampungku “Yusra dan Yumna”. Karena ketiadaan jaringan listrik, kami hanya ditemani lampu minyak yang sudah usang di makan usia. Lampu itulah sebagai teman belajar adik- adikku yang masih duduk di bangku sekolah. Ada tetangga yang mampu dalam hal finansial yang bisa membeli sebuah mesin genset sehingga kami hanya sekedar nebeng (menumpang) untuk menonton sinetron.

Malam ini tidak seperti biasanya. Bayang- bayang pemandangan siang tadi tidak bisa lepas dari ingatanku sehingga membuat konsentrasiku hilang. Apalagi saat itu, tetangga lainnya yang datang menonton televisi di situ membahas tentang Siska sang TKW yang sukses. Kenapa ini semua seakan- akan mengganggu pikiranku. Dari dulu aku hanya bisa melihat banyakteman seusiaku yang pergi ke Malaysia dan Singapore. Kepergian mereka pun harus mempunyai modal yang pas. Tanah leluhur yang menjadi tempat menyandarkan hidup mereka dari hasil berkebun kini sudah beralih tangan demi membiayai perjalanan mereka ke perantauan. Aku jadi ingat sekarang. Waktu itu, Om Maksi, salah seorang kenalan bapak yang datang meminta ijin kepada bapak supaya aku bisa mencari rejeki di Malaysia. Dia berjanji akan menjamin semua kebutuhanku. Namun aku takut... aku tidak mau kalau nasibku seperti seorang TKW asal NTT yang dianiaya beberapa tahun lalu oleh majikannya di Malaysia. Ngeri aku membayangkan hal itu....

Pikiranku yang lagi kacau membuatku tidak lagi memperhatikan jalannya sinetron tersebut. Aku pamit untuk pulang ke rumah. Ku dapati bapak dan mama yang sedang asyik mengobrol tentang Siska. Hati kecilku berkata,,, kapan bapak dan mama bisa tersenyum bahagia seperti orang tuanya Siska?

Hari berlalu,,,, bulan baru pun datang lagi. Sudah 2 bulan Siska berada di kampung. Banyak tetangga yang datang untuk sekedar mendengar cerita Siska selama menjadi TKW. Dengan senyum manisnya, sang primadona desa tersebut mulai bercerita tentang nasibnya di tanah rantau; dan sekali- kali terdengar bahasa Inggrisnya yang sepotong- sepotong. Warga yang mendengarnya tampak menganggukkan kepala. Entah apa yang dipahami dari cerita dengan menggunakan bahasa Inggris tersebut. Warga kampung yang rata-ratahanya mempunyai ijazah SMP, hanya bisa kagum dengan bahasa Inggis tersebut.

Rumah sederhana dengan atap daun alang- alang kini sudah disulap menjadi bangunan megah untuk ukuran di kampungku. Banyak perubahan yang terjadi. Aku mulai berkhayal, kalau semua warga yang bekerja di luar negeri dan sukses seperti Siska, maka kampungku ini akan menjadi lebih maju. Kehidupan yang dulunya susah mungkin akan menjadi lebih makmur.

Di suatu siang..............................

“Selamat siang,...” suara nan halus yang terdengar siang itu rupanya milik sang primadona itu, kata ku dalam hati. “eeee, K’ siska.. Mari masuk..” akupun tak kalah lembutnya balas menyapa. “ om and tante di mana??, saya ada perlu sebentar. What time kira- kira saya bisa meet aunt and uncle?” wah... kayaknya makin rumit nih. Saya tidak bisa menjawab. Saya bingung, apa yang sebenarnya dibicarakan? Apa yang bisa diandalkan kalau pengetahuanku saja hanya berakhir di kelas VI SD? Berbekalkan pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan guruku sewaktu di bangku SD, membuatku ingat akan kata aunt and uncle. Aku mencoba menjawab seadanya. “bapak dan mama ada di kebun. Mungkin sekitar jam 5 baru sampai di rumah. Dia pun pamit pulang. “nanti I datang lagi, yeah?” “Ok” akupun mulai meniru gaya bahasanya.

................

Pertemuan Siska dengan bapak dan mama akhirnya mendapat satu kata sepakat; “aku harus tinggalkan kampung halaman untuk mencari rejeki di negeri seberang”! pikiranku mulai tak menentu. Akhirnya hari yang menakutkan pun tiba. Aku harus berpisah dari bapak, mama, ke lima adikku, teman dan keluargaku serta kampung halamanku tercinta. Aku harus ikhlas menjalani ini semua. Masih terngiang di telingaku kata- kata mama “kamu harus berusaha untuk masa depanmu dan adik-adikmu”. Aku pergi dengan satu tekad bahwa aku harus bisa seperti Siska.

Perlahan-lahan bis yang datang menjemput kami mulai bergerak meninggalkan kampung halamanku. Aku bersama Siska dan empat gadis lainnya dari kampung tetangga yang direkrutnya menjadi TKW ke Singapore dan Malaysia. Semua keluargaku mengantarku dengan lambaian tangan tanda perpisahan. Aku yang dari dulu tidak pernah bepergian jauh akhirnya kini harus berangkat mengais rejeki di rantau orang. Rasa sedih dan haru menyesakkan dada. Aku hanya duduk tepekur sambil menitikkan air mata. Rasanya aku ingin kembali merangkul bapak dan mama.

Jarak pun sudah mulai tercipta; makin jauh..., jauh.... dan akhirnya lenyap bersama debu yang beterbangan ditiup angin.

Hari berganti ...bulan berlalu.. kini tibalah saatnya aku diberangakatkan ke Singapore bersama beberapa teman lainnya dari daerah lain sesudah dikarantina selama 1 bulan. Siska yang dulunya datang bersama kami, kini sudah hilang enah ke mana. Batang hidungnya pun tidak tampak lagi di tempat itu. dia hanya sekedar datang untuk mengantarkan kami ke tempat itu dan kembali dengan kesibukannya yang tak jelas di mana rimbanya. Di situlah aku bisa bertemu langsung dengan laki- laki yang dulunya datang bersama Siska di kampungku. Ternyata dia bekerja di tempat itu sebagai salah satu staff.

Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Sebuah benda kecil yang biasa kulihat di atas langit di kampungku kini akhirnya bisa ku sentuh dan kulihat dari dekat dan malahan akan membawaku ke luar negeri. Perjalananku lancar dan menghabiskan waktu sekitar 10 jam hingga tiba di tempat tujuan.

Berbekalkan bahasa Inggris yang ku peroleh lewat kursus selama 1 bulan lebih itu, kini aku sudah mulai bisa berkomunikasi dengan majikanku walaupun dengan terbata- bata. “Yes, I can but Just a little”, itulah jawabanku yang ku gunakan saat majikanku menanyakan “can you speak English”. Pekerjaanku hanyalah sebagai pembantu rumah tangga. Kujalani ini semua dengan sabar. Mungkin inilah jalan hidupku.

Aku merasa tidak lagi merdeka sekarang. Semuanya serba diatur. Ruang gerakku menjadi terbatas. Aku harus bisa mengontrol diri. Ucapan- ucapanku harus kujaga agar tidak menyinggung perasaan majikanku. Kebiasaanku tertawa terbahak- bahak sampai mengeluarkan air matapun ku coba hilangkan. Kehidupan pribadiku mulai terjajah.

Di awal- awal aku bekerja, upahku tidak kuterima satu sen pun dengan alasan sudah habis dipotong untuk urusan administrasi dan proses keberangkatanku mulai dari perekrutan hingga sampai pada pendistribusian tenaga kerja ke rumah majikan. Akupun hanya diam, karena aku sama sekali tidak mengerti hal ini. Aku percayakan semuanya itu kepada Siska yang saat itu menelpon aku sekedar say; hello. Dia mengiyakan kalau dialah yang menghandel semuanya itu. Ternyata dia memang benar memenuhi janjinya. Uang yang menjadi upahku memang diberikan kepada bapak dan mama namun tidak seperti yang seharusnya diterima karena mereka berdalih bahwa sudah dipotong biaya administrasi.

Alangkah senangnya aku ketika suatu hari ku terima telepon dari bapak dan mama. Aku menangis haru; ku ingat kenangan saat masih bersama di kampung. Di sebuah jarak yang terpisah jauh, tak ada yang bisa kulakukan . Hanya doa yang bisa ku panjatkan buat bapak dan mama.

Beberapa bulan berlalu sudah. Aku sudah bekerja menjadi pembantu rumah tangga di tempat itu sekitar 6 bulan. Hingga di suatu hari, teman seperjalananku yang sama- sama berasal dari kampung yang sama menelpon ku dan mengatakan kalau aku dan kawan- kawan yang berangkat hari itu tidak mengantongi surat ijinan apapun. Aku mulai panik. Temanku mengatakan kalau posisi sekarang ini gawat. Pihak PJTKI yang merekrut kami sudah hilang kontak. Siska yang dulu sok pahlawan kini tidak muncul lagi sedangkan ijinan kami pun belum di urus. Status kami adalah TKI Ilegal. Sampai pada suatu hari kamipun tahu bahwa Siska adalah seorang calo yang merekrut tenaga kerja dan dipekerjakan secara ilegal di luar negeri. Penampilannya yang menor hanya sekedar kibulan supaya orang- orang desa yang menjadi sasarannya tahu bahwa dia adalah salah satu TKW yang berhasil. Dia hanya mengelabui orang supaya percaya dengan segala macam rayuannya. Uang yang dipamerkan dulu saat di kampung ternyata upahnya atau yang biasa disebut fee yang diperuntukkan bagi calo yang merekrut para pekerja untuk dipekerjakan di luar negeri. Sungguh menjengkelkan!!, nasi sudah menjadi bubur. Mau bagaimana lagi? Kampung halaman pun jauh.

Inilah akhir perjalananku yang pilu, melewati impian dan harapan yang tersembunyi.

Aku dan kawan-kawan yang mengalami hal yang sama akhirnya memutuskan untuk main kucing- kucingan dengan aparat keamanan setempat. Pekerjaanku mulai berantakan. Tak jarang caci makian terlontar keluar begitu saja dari mulut majikanku. Aku yang dulunya tidak pernah dikasari kini harus mendapatkan itu semua demi mencari sesuap nasi dengan mengais rejeki sebagai pembantu rumah tangga. Sungguh tragis nasibku. Pergi tinggalkan kampung halaman dengan satu harapan bahwa bisa membuat perubahan seperti yang dilakukan Siska ternyata hanyalah mimpi belaka.

Aku harus bekerja di siang hari dan malamnya pun harus tidur di tempat- tempat persembunyian bagi tenaga kerja ilegal. Di situ baru aku sadar ternyata begitu banyak orang Indonesia yang merantau ke luar negeri tidak berbekalkan ijinan resmi sehingga harus main kucing- kucingan dengan polisi yang akan melakukan razia. Begitu banyak cerita yang ku dengar dari mulut mereka tentang nasib hidup mereka. Dari siksaan yang dialami dan dideritanya hingga harus lari pontang- panting menyelamatkan diri dari kejaran polisi.

Lama- kelamaan aku bosan dengan keadaan seperti ini. Majikanku mulai marah dengan gaya kerjaku yang seperti ini. Aku harus berlagak seperti tikus ketika melihat kucing. Begitulah yang kulakukan agar selamat dari kejaran polisi. Pekerjaanku banyak yang tidak beres. Tak bisa dihindari lagi kemarahan majikan yang meluap- luap sampai melemparku dengan segala macam benda yang saat itu ada di dekatnya.

Tidak tahan dengan kelakuan ini akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Sudah cukup aku merasakan penderitaan seorang TKW. Dengan uang seadanya aku kembali ke kampung halamanku. Biarlah impian untuk menjadi jutawan dan milioner akan ku kubur. Akan ku ceritakan semuanya ini kepada sesamaku di kampungku bahwa menjadi seorang TKI/TKW itu bukanlah hal yang mudah.

Kapankah sang fajar akan merekah? Membawa sinar gemilang dan Memberikan pengharapan dan keindahan serta kebahagiaan bagi yang mendambakannya. Menyinari kita dengan sinar kehangatan dan kelembutan laksana kain sutera? Hal ini mengingatkan ku pada sebuah lyric lagu yang menjadi andalanku sebagai teman di kala sepi:

Hujan doi di rantau orang,,,

Hujan emas di negeri orang,,,

tapi katong pung kampung halaman

Biar busuk- busuk tapi s’lalu di hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun