Setiap kali masyarakat turun ke jalan, benturan dengan aparat kepolisian hampir selalu terjadi. Pola berulang ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Benarkah rakyat dan polisi musuh abadi, atau ada pihak yang sengaja memainkan skenario adu domba? aksi unjuk rasa di negeri ini hampir selalu diwarnai benturan antara masyarakat dan aparat kepolisian. Adegan saling dorong, tembakan gas air mata, hingga tindakan represif kerap menjadi berita utama. Seakan-akan polisi dan rakyat adalah dua pihak yang ditakdirkan untuk saling berhadapan.
Namun, jika dicermati lebih jauh, benturan ini bukanlah fenomena kebetulan. Pola berulang ini terlalu konsisten untuk tidak disebut sebagai strategi. Ada skenario besar yang dengan sengaja mempertentangkan rakyat dengan aparat, sehingga inti persoalan yang sesungguhnya diprotes justru tidak tersentuh.
A. Strategi Lama :
Sejarah mencatat, benturan rakyat dengan aparat adalah strategi lama yang kerap dimainkan oleh kekuasaan. Dengan mendorong polisi tampil keras dan memancing masyarakat agar marah, bentrokan mudah dipicu. Kamera media kemudian menyorot insiden itu, menghadirkan narasi sederhana: polisi melawan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, elite politik yang seharusnya bertanggung jawab atas kebijakan justru diuntungkan. Sorotan publik teralihkan dari pusat kekuasaan ke konflik horizontal di jalanan. Rakyat sibuk mengutuk polisi, polisi sibuk menghalau rakyat, sementara pengambil kebijakan duduk tenang di kursi kekuasaan. Energi demokrasi terkuras, tapi masalah utama tetap tak tersentuh.
B. Polisi Bukan Musuh :
Kita sering lupa, polisi sejatinya bagian dari masyarakat namun polisi aktif tidak memiliki hak untuk memilih pada pemilu dan pilkada karena bentuk Netralitas nya. Mereka lahir dari lingkungan rakyat, hidup dalam realitas sosial yang sama, dan gajinya dibayarkan dari pajak publik. Persoalan yang memicu demonstrasi kenaikan harga, ketidakadilan hukum, kebijakan ekonomi. Pada dasarnya juga menyentuh kehidupan keluarga aparat.Â
Namun, seragam dan instruksi menempatkan mereka pada posisi yang seolah berlawanan. Masyarakat dipaksa memandang polisi sebagai wajah kekuasaan, sementara polisi dipaksa menghadapi masyarakat sebagai ancaman ketertiban. Di sinilah adu domba berhasil dijalankan: dua pihak yang semestinya bersatu justru dipertentangkan.
C. Menolak Pecah Belah :
Kesadaran kolektif harus dibangun. Unjuk rasa adalah hak demokratis yang wajib dihormati, dan pengamanan seharusnya dilakukan dengan pendekatan humanis, bukan represif. Aparat tidak boleh sekadar menjadi tameng politik, sementara masyarakat pun perlu menjaga aksi tetap damai dan bermartabat.
Lebih jauh, baik aparat maupun masyarakat harus berani menolak skenario adu domba ini. Musuh rakyat bukanlah polisi, dan musuh polisi bukanlah rakyat. Musuh bersama adalah praktik kekuasaan yang terus memanfaatkan benturan ini untuk melanggengkan diri.