Perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak besar dalam kehidupan masyarakat, termasuk pada anak-anak. Internet dan media sosial kini menjadi ruang baru untuk belajar, bermain, dan berinteraksi. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat cakupan akses internet di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 78,19% dari total populasi, dengan kelompok usia 10–19 tahun termasuk pengguna aktif yang dominan. Tingginya intensitas penggunaan media sosial oleh anak-anak, selain memberi dampak positif, juga meningkatkan kerentanan mereka terhadap kejahatan siber, salah satunya praktik child grooming.
Child grooming adalah proses manipulasi psikologis yang dilakukan oleh orang dewasa dengan tujuan membangun kedekatan emosional dengan anak untuk kemudian dieksploitasi secara seksual. Fenomena ini semakin mudah dilakukan di era digital karena pelaku memanfaatkan media sosial, aplikasi percakapan, hingga permainan daring untuk mendekati korban. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya berupa kerugian fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam dan memengaruhi perkembangan sosial serta emosional anak.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada kajian terhadap norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan melakukan pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang relevan, bahan hukum sekunder berupa literatur, artikel jurnal, serta hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai child grooming dan perlindungan anak, dan bahan hukum tersier, seperti kamus hukum dan ensiklopedia, yang digunakan untuk memperjelas pemahaman istilah hukum.
Pengertian dan Bentuk Child Grooming
Child Grooming adalah tindakan manipulasi psikologis yang dilakukan oleh seorang dewasa atau remaja yang lebih tua terhadap anakanak dengan tujuan untuk menjalin hubungan emosional yang dekat, membangun kepercayaan, dan akhirnya melakukan eksploitasi seksual. Dalam proses child grooming, pelaku akan meyakinkan korban untuk melakukan Tindakan tidak senonoh, seperti mengekspos area sensitif, tidak mengenakan pakaian, dan merekam atau membuat bukti melalui video atau foto pesan pribadi di medial sosial.
Korban child grooming umumnya tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi sasaran eksploitasi, karena pelaku menggunakan pendekatan yang sangat halus dan bersifat manipulatif. Pelaku kerap menunjukkan perhatian berlebih, memberikan hadiah, serta menawarkan dukungan emosional sehingga korban merasa istimewa dan nyaman dalam berinteraksi. Di balik tindakan tersebut, pelaku sebenarnya bermaksud untuk mengendalikan korban dan mengarahkannya pada perilaku yang tidak pantas. Dalam banyak kasus, praktik child grooming juga terjadi di dunia maya, di mana pelaku memanfaatkan media sosial atau platform digital lainnya untuk membangun hubungan dengan anak-anak sebagai target kejahatannya. Di Indonesia, meskipun istilah child grooming belum disebut secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, praktik ini dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekerasan seksual terhadap anak, terutama jika telah sampai pada tahap eksploitasi atau ancaman untuk tujuan seksual.
Pengaturan Hukum di Indonesia Terkait Child Grooming melalui Media Sosial
Indonesia sebenarnya sudah memiliki sejumlah instrumen hukum yang ditujukan untuk melindungi anak dari kejahatan seksual, antara lain Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun demikian, ketiga regulasi tersebut tidak secara eksplisit menyebut dan mengkriminalisasi praktik child grooming.
Dalam UU Perlindungan Anak, perlindungan yang diberikan lebih menekankan pada larangan terjadinya tindak pidana pencabulan, eksploitasi seksual, dan pornografi anak, bukan proses bujuk rayu (grooming) yang menjadi tahap awal kejahatan. Padahal, child grooming justru merupakan proses awal yang dapat mengantarkan pada perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiadaan pasal khusus mengenai grooming membuat aparat penegak hukum harus menunggu sampai terjadi perbuatan seksual yang nyata untuk dapat menjerat pelaku, sehingga fungsi perlindungan bersifat reaktif, bukan preventif.
UU ITE juga dapat dijadikan dasar hukum, khususnya pada pasal-pasal mengenai distribusi dan akses terhadap konten bermuatan pornografi. Namun, pengaturan ini masih terbatas pada konten, bukan pada interaksi personal yang bersifat manipulatif. Artinya, jika seorang pelaku mendekati anak melalui percakapan daring tanpa melibatkan konten eksplisit, maka sulit untuk dikualifikasi sebagai tindak pidana.
UU TPKS memperluas cakupan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan secara daring. Meskipun demikian, UU ini juga belum memuat istilah “grooming” secara eksplisit, rumusannya masih belum secara rinci memasukkan child grooming sebagai tindak pidana khusus. Hal ini menimbulkan kekosongan norma, di mana aparat penegak hukum kesulitan melakukan penindakan pada fase “pendekatan” sebelum terjadi eksploitasi yang nyata.