Mohon tunggu...
Nalar Keropos
Nalar Keropos Mohon Tunggu... Penulis - Dianggap Introvert tapi sering merasa Ekstrovert

Suci yang tidak bersih adalah kertas tanpa coretan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Hari Ini Kemarau akan Nilai-nilai Toleransi

23 Juni 2020   19:21 Diperbarui: 23 Juni 2020   19:27 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semenjak Ir. Soekarno memproklamasikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, pada saat itu juga perasaan bahagia yang tak terhingga ikut menyelimuti seluruh lapisan masyarakatnya. Musim kemarau sudah mulai berlalu, ketegangan sudah digantikan dengan ketenangan, dan kemerdekaan yang sudah lama dirindukan akhirnya hadir juga di tengah-tengah mereka.

Namun sayangnya kebahagiaan itu mulai ternodai oleh adanya perilaku menyimpang yang diperlihatkan sebagian dari masyarakat Indonesia sendiri. Andai kata bumi yang luasnya bermilyar-milyar hektar ini suaranya mampu terdengar oleh telinga manusia, maka salah satunya akan datang dari rintihan pilu bagian bumi tanah Indonesia yang akan merengek tanpa henti menyaksikan tindak-tanduk sebagian dari penghuninya.

Untung saja tidak ada lembaga khusus yang bertugas memberi penghargaan bagi negara tertentu yang berhasil menciptakan kegaduhan terbanyak, sehingga Indonesia akhirnya bisa selamat dari rasa malunya. Tercatat sudah banyak sekali aksi-aksi kriminal yang pernah terjadi di negara ini. Dan hampir seluruhnya semata-mata disebabkan oleh minimnya sikap toleransi antar sesama pada diri sebagian masyarakatnya.

Konflik Ambon, menurut Yayasan Denny JA dianggap sebagai konflik terparah yang terjadi di Indonesia dengan menelan korban jiwa mencapai 10.000 orang, kemudian konflik Sampit, kerusuhan Mei 1998, dan berbagai aksi-aksi kerusuhan lainnya yang semuanya dilatar belakangi oleh minimnya sikap toleransi antar sesama masyarakat Indonesia.

Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan dua landasan hukum di negara ini sebenarnya sudah sangat cukup menjadi alasan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Bung Karno pernah berkata “Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali jauh ke dalam bumi kami, tradisi-tradisi kami sendiri, dan aku menemukan lima butir mutiara yang indah.”

Namun sepertinya juga agak terlalu memaksa bila keberadaan dua landasan hukum di atas sudah sangat cukup untuk menjadikan seluruh masyarakat Indonesia mematuhi seluruh kebijakan yang berlaku. Masyarakat Indonesia adalah juga manusia yang memiliki ikhtiar untuk memilih apa yang mereka inginkan. Patuh atau tidaknya mereka terhadap undang-undang bergantung kepada pilihan mereka sendiri. Dalam Al-Qur’an juga telah dijelaskan bahwa “Manusia tidak mendapatkan selain apa-apa yang telah diupayakannya.” (An-Najm:39).

Dalam buku Psikologi Komunikasi karangan Dr. Jalaluddin Rakhmat disebutkan bahwa hubungan sosial di antara masyarakat akan terjalin dengan baik bila dilandasi oleh komunikasi efektif di antara mereka. Komunikasi efektif adalah terjadinya pertukaran ide, informasi, dan perasaan yang menghasilkan perubahan sikap sehingga hubungan yang baik dapat terjalin antara pemberi pesan dan penerima pesan.

Inilah yang tidak dimiliki oleh sebagian masyarakat Indonesia pada hari ini, tidak terjalinnya komunikasi efektif atau tidak adanya pertukaran pesan yang baik di antara mereka yang kemudian memicu timbulnya sikap intoleransi sehingga berujung pada terjadinya pertikaian.

Negara seperti Indonesia yang memuat berbagai macam etnis, suku, budaya, dan agama sudah semestinya menjadi kewajiban tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi guna terwujudnya persatuan di antara mereka. Gus Dur pernah berkata “Pemahaman apapun yang berbeda apalagi bertentangan bisa menjadi bibit-bibit perpecahan.

Masih dengan buku yang sama, di sana juga dijelaskan bahwa pada umumnya manusia dalam menjalin hubungan sosial biasanya memiliki kecenderungan sepihak. Mereka hanya ingin berkenalan dan bergandengan tangan dengan yang seideologi dengan mereka saja dan enggan untuk berkumpul dengan yang tidak sepaham dengan mereka.

Model bergaul seperti inilah yang juga berlaku pada diri sebagian masyarakat Indonesia sehingga kerap menimbulkan pertikaian di antara mereka, sebab mereka hanya akan berkenan menerima pemahaman yang sesuai dengan apa yang mereka juga pahami. Oleh karena itulah Sayyidina Ali bib Abi Thalib r.a pernah berkata “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun