Pagi itu seperti biasa, langit tak pernah benar-benar biru di kota ini. Warnanya selalu kelabu, seakan mendendam pada mentari yang malas mengintip. Dan di antara hiruk rintih para pelajar yang berbaris rapi menuju ruang kelas, berdiri seseorang yang tak pernah kehilangan kekuasaan dari tatap matanya, ia adalah Bu Ratmi. Seragamnya selalu rapi, rambutnya selalu dicekal ketat seperti pikirannya yang tak memberi ruang untuk lunak. Konon, ia tak pernah tersenyum kecuali saat memarahi satu golongan anak didik yang aktif, cerewet, dan berani berbeda.
Rani tau, ia dan sahabatnya Nino termasuk golongan itu. Golongan yang kerap disindir "tak tahu aturan", "sok kritis", "tak punya sopan", atau "produk zaman internet yang sok tahu". Tapi bukankah guru adalah pelita? Mengapa yang ini terasa seperti bara yang siap menyambar?
Setiap hari, kalimat Bu Ratmi menusuk pelan tapi dalam.
"Kamu itu, Rani, terlalu banyak bicara. Dunia tak butuh suara keras dari mereka yang tak paham arah,"
 "Dan kamu, Nino, jangan pikir puisi bisa mengubah nasib. Orang seperti kamu hanya bisa menghibur panggung kecil, bukan membuat perubahan."
Rani mencatat kalimat itu. Bukan di buku catatan, tapi dalam hati, sebagai dendam yang pelan-pelan berakar. Bukan untuk membalas, tapi untuk memahami. Karena ia yakin, tak ada orang yang lahir sinis tanpa luka yang dalam.
Hingga suatu sore, Nino yang pendiam itu akhirnya bicara, "Kau tahu, Ran? Katanya, dulu Bu Ratmi pernah ikut lomba debat nasional. Katanya ia nyaris juara... sebelum dikalahkan oleh anak dari kelompok teater."
Rani terdiam. Sebaris pertanyaan muncul dalam pikirannya seperti debu yang lama tak tersentuh, Apakah luka karena kalah bisa menjelma jadi racun pada anak-anak yang tak salah?
Malam itu, Rani bermimpi. Ia melihat seorang perempuan muda berdiri di panggung dengan suara bergetar. Ia bicara tentang pendidikan, tentang mimpi, tentang kemerdekaan berpikir. Tapi saat ia turun dari podium, hanya gelap yang menyambutnya. Tak ada tepuk tangan. Hanya tatapan sinis dan kekalahan. Dan semenjak itu, ia menutup jendela hatinya rapat-rapat, mengganti cahaya mimpi dengan tirai caci.
Pagi harinya, Rani datang ke sekolah membawa bunga. Ia letakkan di meja Bu Ratmi dengan secarik puisi kecil
Kami tahu, Ibu pernah punya cahaya.