Ketika berbicara tentang kemajuan bangsa, tidak ada jalan pintas selain pendidikan. Tapi Indonesia, negara besar dengan jutaan anak muda penuh potensi, masih tertinggal dalam hal yang paling mendasar: pemerataan akses pendidikan. Masalah ini bukan baru. Ia sudah ada sejak zaman Orde Baru, dan tetap menjadi PR besar hingga kini, di era digital dan revolusi industri 4.0.
Sebagian orang menyalahkan murid, guru, atau anggaran. Tapi saya percaya, masalah sesungguhnya lebih dalam dari itu: sistem yang kita bangun tidak pernah cukup kuat untuk menahan beratnya tantangan geografis, sosial, dan politik kita sendiri.
Pulau-Pulau dan Putus Asa
Bayangkan seorang anak di daerah pedalaman Papua yang harus menyeberangi sungai dan berjalan belasan kilometer demi sampai ke sekolah. Atau seorang guru muda yang ditugaskan di pelosok Kalimantan tanpa jaringan internet, tanpa perumahan, dan tanpa jaminan keselamatan.
Indonesia bukan negara daratan seperti Korea Selatan atau Singapura. Kita adalah negara kepulauan, dan tantangan ini seharusnya membuat kebijakan pendidikan kita lebih adaptif, bukan lebih birokratis.
Namun sayangnya, pendekatan yang digunakan pemerintah selama ini cenderung sama rata, seolah sistem pendidikan di Pulau Jawa cocok untuk diterapkan juga di Mentawai atau Sumba.
Ganti Presiden,Ganti Menteri, Gonta-Ganti Arah
Satu lagi ironi kita: masa jabatan presiden dan menteri yang terlalu pendek untuk membangun sistem pendidikan yang berkelanjutan. Pendidikan bukan proyek mercusuar 5 tahunan. Ia harus dibangun dengan kesabaran dan kontinuitas. Tapi apa yang terjadi? Ganti presiden, ganti kurikulum. Ganti menteri, ganti prioritas. Program yang sempat bagus di masa lalu, dihentikan karena tidak “sejalan dengan visi baru”.
Inilah mengapa kita butuh undang-undang pendidikan jangka panjang semacam “Peta Jalan Pendidikan 2045” ( blueprint )yang mengikat siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan.
Solusi yang Bukan Sekadar Seremonial