Mengapa Semakin Banyak Kasus Speech Delay atau Language Delay?
Belakangan ini, kita semakin sering mendengar istilah speech delay atau language delay. Secara sederhana, speech delay berarti keterlambatan anak dalam berbicara, sedangkan language delay mencakup keterlambatan dalam memahami dan menggunakan bahasa. Keterlambatan ini tidak selalu berarti anak kurang cerdas. Banyak anak yang sebenarnya memiliki potensi besar, tetapi kurang mendapatkan stimulasi yang tepat sejak dini.
Saya pernah bertemu seorang anak yang harus berpikir lama hanya untuk memilih kalimat yang benar: "I am a cat" atau "I have a cat." Jelas bukan karena ia tidak pintar, melainkan karena ada hal yang hilang dalam proses belajarnya. Masalah seperti ini sering kali berakar pada pola asuh dan dinamika keluarga di era modern.
Berikut pandanganku sebagai seorang pengajar:
Perubahan Pola Kehidupan Keluarga
Dulu, ada pembagian peran yang lebih jelas: satu orangtua bekerja mencari nafkah, sementara yang lain banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mendampingi anak. Anak pun mendapat banyak stimulasi bahasa melalui percakapan sehari-hari, kegiatan membaca bersama, atau sekadar bercerita.
Sekarang, semakin banyak keluarga di mana kedua orangtua bekerja penuh waktu. Anak akhirnya tumbuh seperti "autopilot" dengan tanggung jawab besar diserahkan kepada sekolah. Padahal, guru di TK hanya mendampingi 2--3 jam sehari. Bandingkan dengan 21--22 jam yang anak habiskan di luar sekolah. Pengaruh manakah yang lebih besar? Jelas, yang terjadi di rumah.
Masalahnya, tanpa kehadiran orangtua, anak justru mencari stimulasi lain---sering kali dari gadget atau bahkan tidak ada sama sekali. Sayangnya, interaksi layar tidak pernah bisa menggantikan interaksi manusia. Layar mungkin menghibur, tetapi ia tidak memberikan kesempatan anak untuk bertanya, meniru, dan belajar dari ekspresi atau intonasi orang yang dicintainya.
Dampak Jangka Panjang
Keterlambatan berbicara dan berbahasa bukan sekadar soal terlambat bisa mengucapkan kata-kata. Efeknya bisa jauh lebih luas, terutama ketika anak masuk ke jenjang pendidikan formal. Anak dengan speech delay atau language delay sering mengalami kesulitan memahami instruksi, mengekspresikan ide, atau berpartisipasi dalam diskusi di kelas.
Akibatnya, mereka bisa tampak "tertinggal" dibanding teman-temannya. Kondisi ini dapat memengaruhi rasa percaya diri. Anak mungkin enggan berbicara di depan umum, takut salah, atau merasa minder karena dianggap berbeda. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kurangnya stimulasi, bukan kurangnya kecerdasan.
Saya pernah mendengar kisah seorang anak yang tidak pernah memiliki kebiasaan membaca di rumah. Saat ia mulai besar dan ingin dibacakan buku, orangtuanya menolak dengan alasan, "Kamu sudah besar." Penolakan ini membuat anak kehilangan kesempatan berharga untuk mengembangkan kecintaan pada bahasa dan belajar dengan rasa aman. Dampaknya terasa sampai ia duduk di bangku sekolah: ia kesulitan membaca, merasa ketinggalan, dan mulai kehilangan motivasi.
Kembali ke Rumah
Kasus speech delay dan language delay yang semakin meningkat seharusnya membuat kita merenung. Guru memang penting, sekolah tentu membantu, tetapi stimulasi terbesar justru terjadi di rumah. Kehadiran orangtua, percakapan sederhana, membaca bersama, dan waktu berkualitas adalah investasi yang jauh lebih bernilai dibandingkan menyerahkan anak sepenuhnya pada gadget.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi. Bahasa adalah pintu untuk belajar, menjalin relasi, dan membangun kepercayaan diri. Dan fondasi itu dibangun sejak dini---bukan dengan layar, tetapi dengan suara dan kehadiran orangtua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI