Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Aku Tahu tentang Sapardi Djoko Damono

21 Juli 2020   12:56 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:57 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa yang banyak ditangkap adalah kaum laki-laki? Mungkin mereka menarik kesimpulan bahwa, kebanyakan tentara adalah laki-laki. Mereka lupa bahwa, banyak juga laskar perempuan yang lebih hebat.

Karena pemikiran itulah akhirnya setiap laki-laki pada masa pendudukan di curigai, apalagi jika di suatu kampung terjadi pembunuhan terhadap serdadu Belanda, maka bisa-bisa seisi kampung akan di obrak-abrik dan para lelaki di angkat dengan truk pada pagi harinya. Untuk menghindari penangkapan itu, Bapak Sadyoko kluyuran kemana-mana.

Menurut perhitungan kalender Jawa, eyang Sapardi dilahirkan pada Rabu Kliwon, tanggal 10 bulan sapar, pukul 08.00 malam. Bagi orang Jawa saat tatkala eyang Sapardi dilahirkan, menunjukkan bahwa ia seorang lelaki pemberani dan teguh dalam keyakinan. Bulan kelahirannya menunjukkan mengapa beliau diberi nama Sapardi. Kebetulan Ibunya pun lahir pada bulan Sapar, tidak mengherankan jika nama Ibundanya adalah Ibu Sapariah.

Dalam sebuah tulisan yang bertajuk "Permainan Makna" eyang Sapardi menulis bahwa pada zaman penjajahan Belanda, keluarganya dari garis Ibunya mengalami kehidupan yang berkecukupan, namun pada masa kecilnya, kehidupan kecukupan itu berganti menjadi kekurangan. 

Apalagi saat beralih pada zaman penjajahan Jepang, kehidupannya sangatlah berat. Setelah memasuki era kemerdekaan, kehidupannya pun tidak menjadi lebih baik. Setiap harinya, beliau hanya makan bubur dua kali, pagi dan sore hari.

Eyang Sapardi mulai menulis puisi pada tahun 1957, saat rumahnya pindah dari kampung Ngadijayan ke kampung Komplang Solo bagian Utara. "Saya belajar menulis pada November 1957". Ujar eyang Sapardi dalam buku (Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya).


Sebulan setelah beliau belajar menulis, Karyanya yang berupa sajak di muat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang. Tahun-tahun berikutnya, sajak-sajaknya mulai bermunculan di ruang-ruang kebudayaan berbagai penerbitan, yang antara lain di asuh oleh H.B. Jassin.

Tidak seperti yang lain, bahwa seorang penyair biasanya terstimulasi menulis puisi karena kepiawaian guru yang mengajarkan sastra di kelas, eyang Sapardi justru mendapat kegairahan untuk menulis itu berasal dari bacaan-bacaan yang menarik minatnya.

Beberapa karangan yang beliau sukai diantaranya adalah karangan Karl May, Komedi Manusia karangan William Saroyan, kumpulan cerita pendek Amerika terjemahan Mochtar Lubis, hingga sajak karya Rendra yang berjudul "Ballada Orang-orang Tertjinta".

Mungkin yang saat itu paling membekas di benak eyang Sapardi adalah lakon "Murder In The Cathedral" karya T.S. Elliot. Menurut Bakdi Soemanto, drama puisi itu benar-benar sangat besar pengaruhnya terhadap proses kreatif eyang Sapardi.

Namun yang paling menarik dari bagaimana cara beliau menulis puisi adalah ada pada intuisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun