Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Aku Tahu tentang Sapardi Djoko Damono

21 Juli 2020   12:56 Diperbarui: 21 Juli 2020   12:57 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eyang Sapardi Djoko Damono (Sumber : Gramedia via kompas.tv)


Ketika mendengar kabar bahwa, Sapardi Djoko Damono telah wafat, pada Minggu (19/7) kemarin, sontak saya pun ikut merasa kehilangan.

Sejak berita wafatnya itu ramai menghiasi jagat media maya, saya  jadi mulai tertarik untuk menelusuri lebih dalam seperti apa kisah hidup beliau.

Saya masih ingat, kalau saya punya satu koleksi buku tentang kisah hidupnya yang di tulis oleh penyair juga, bernama Bakdi Soemanto.

Judul buku nya adalah, "Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya" terbitan tahun 2005 yang saya beli di Gramedia beberapa tahun lalu.

Buku Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, karya Bakdi Soemanto (dokumen pribadi)
Buku Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya, karya Bakdi Soemanto (dokumen pribadi)
Terus terang sejak buku itu di beli, saya sama sekali belum pernah membacanya. Hanya baru baca-baca sekilas, sampul cover-nya saja. Maka setelah tahu bahwa eyang Sapardi telah wafat, saya pun terdorong untuk mulai membaca buku tentang kisah hidupnya itu.

Ternyata kisah hidupnya pun tak kalah menarik dari sajak-sajak maupun puisi-puisinya.

Entah itu tentang masa kecilnya yang suka kluyuran, pengalaman pertamanya mulai menulis, hingga ketika ia mendapat penghargaan.

Pada masa kecilnya, beliau memang sudah merasakan bagaimana rasanya hidup dalam penjajahan. Hobinya yang suka kluyuran itu mungkin di wariskan dari ayahnya yang suka keluyuran juga waktu itu.

Bukan berarti Ayahnya adalah seorang pejuang atau gerilyawan, hal itu dilakukan karena untuk menghindari penangkapan oleh serdadu Belanda.

Pada masa itu, Belanda memang sedang "gila-gilanya". Mungkin pusing menghadapi ulah gerilyawan-gerilyawan yang bergerak gesit pada malam hari, memasang bom, membakar rumah orang-orang yang pro Belanda dan menolak uang republik. 

Ayahnya pun ikut menghilang dari kota, karena kalau tidak, maka akan di tangkap oleh Londo Mendem, (Belanda Mabuk). Sebuah istilah yang di pakai orang Jawa untuk menamakan makhluk berkulit putih yang telah lama merampok kekayaan Indonesia. 

Mengapa yang banyak ditangkap adalah kaum laki-laki? Mungkin mereka menarik kesimpulan bahwa, kebanyakan tentara adalah laki-laki. Mereka lupa bahwa, banyak juga laskar perempuan yang lebih hebat.

Karena pemikiran itulah akhirnya setiap laki-laki pada masa pendudukan di curigai, apalagi jika di suatu kampung terjadi pembunuhan terhadap serdadu Belanda, maka bisa-bisa seisi kampung akan di obrak-abrik dan para lelaki di angkat dengan truk pada pagi harinya. Untuk menghindari penangkapan itu, Bapak Sadyoko kluyuran kemana-mana.

Menurut perhitungan kalender Jawa, eyang Sapardi dilahirkan pada Rabu Kliwon, tanggal 10 bulan sapar, pukul 08.00 malam. Bagi orang Jawa saat tatkala eyang Sapardi dilahirkan, menunjukkan bahwa ia seorang lelaki pemberani dan teguh dalam keyakinan. Bulan kelahirannya menunjukkan mengapa beliau diberi nama Sapardi. Kebetulan Ibunya pun lahir pada bulan Sapar, tidak mengherankan jika nama Ibundanya adalah Ibu Sapariah.

Dalam sebuah tulisan yang bertajuk "Permainan Makna" eyang Sapardi menulis bahwa pada zaman penjajahan Belanda, keluarganya dari garis Ibunya mengalami kehidupan yang berkecukupan, namun pada masa kecilnya, kehidupan kecukupan itu berganti menjadi kekurangan. 

Apalagi saat beralih pada zaman penjajahan Jepang, kehidupannya sangatlah berat. Setelah memasuki era kemerdekaan, kehidupannya pun tidak menjadi lebih baik. Setiap harinya, beliau hanya makan bubur dua kali, pagi dan sore hari.

Eyang Sapardi mulai menulis puisi pada tahun 1957, saat rumahnya pindah dari kampung Ngadijayan ke kampung Komplang Solo bagian Utara. "Saya belajar menulis pada November 1957". Ujar eyang Sapardi dalam buku (Sapardi Djoko Damono Karya dan Dunianya).

Sebulan setelah beliau belajar menulis, Karyanya yang berupa sajak di muat di majalah kebudayaan yang terbit di Semarang. Tahun-tahun berikutnya, sajak-sajaknya mulai bermunculan di ruang-ruang kebudayaan berbagai penerbitan, yang antara lain di asuh oleh H.B. Jassin.

Tidak seperti yang lain, bahwa seorang penyair biasanya terstimulasi menulis puisi karena kepiawaian guru yang mengajarkan sastra di kelas, eyang Sapardi justru mendapat kegairahan untuk menulis itu berasal dari bacaan-bacaan yang menarik minatnya.

Beberapa karangan yang beliau sukai diantaranya adalah karangan Karl May, Komedi Manusia karangan William Saroyan, kumpulan cerita pendek Amerika terjemahan Mochtar Lubis, hingga sajak karya Rendra yang berjudul "Ballada Orang-orang Tertjinta".

Mungkin yang saat itu paling membekas di benak eyang Sapardi adalah lakon "Murder In The Cathedral" karya T.S. Elliot. Menurut Bakdi Soemanto, drama puisi itu benar-benar sangat besar pengaruhnya terhadap proses kreatif eyang Sapardi.

Namun yang paling menarik dari bagaimana cara beliau menulis puisi adalah ada pada intuisinya.

Ada pengarang yang mulai menulis karena mendapat suatu ide, dengan kata lain, ada semacam tema sentral yang mendasarinya. Karangan itu kemudian seakan-akan mengurai tema sentral itu, atau sebaliknya, karyanya memusat pada tema sentral yang menjadi underan-nya.

Ada juga pengarang yang terdorong menulis karena ia melihat kebobrokan yang terjadi di masyarakat luas yang ada di sekelilingnya. Namun pengarang itu dalam karangannya tidak menyajikan suatu gambaran masyarakat yang bobrok yang di maksud, tapi cenderung menampilkan ajaran-ajaran moral lebih untuk mengatasi yang bobrok itu.

Ada juga pengarang yang mulai menulis bukan karena ide atau gagasan yang dimiliki, melainkan karena entah bagaimana, ia tiba-tiba menggoreskan penanya, atau mengetik beberapa kata pada kertas atau layar monitor dan kemudian pengarang itu mengembangkannya, dan jadilah sebuah puisi, sajak, cerita pendek, atau bahkan novel!

Barangkali eyang Sapardi termasuk penulis tipe ketiga. Nampaknya, daya cipta eyang Sapardi akan muncul apabila beliau sedang berada dalam suasana tertentu. Suasana yang dimaksud dalam bahasa Inggris disebut atmosphere.

Oleh karena itu, ketika beliau sedang berada di suatu tempat misalnya di jalan Jakarta yang letaknya di kota Malang, puisinya yang kemudian lahir diberi judul "Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang".

Puisinya bukan berupa pelukisan ataupun deskripsi dari jalan itu. Tidak ada gambaran tentang rumah-rumah, toko, warung, atau hotel dan juga kegiatan orang-orang di jalan itu. Yang dihadirkannya bukan gambaran tentang yang tampak dan terdengar di jalan itu, melainkan suasana batin beliau sendiri yang merespons suasana di jalan itu.

Inilah salahsatu kegemaran eyang Sapardi, bukan hanya gemar kluyuran dalam arti fisik, melainkan juga kluyuran dalam arti penjelajahan pengalaman batin sendiri.

Melalui karya-karya eyang Sapardi, saya mulai jatuh cinta dan kecanduan menikmati puisi-puisi. Ternyata puisi bukan hanya sebatas ungkapan perasaan, atau luapan emosi seseorang, puisi pada umumnya juga harus mempunyai manfa'at. 

Pada zaman dahulu puisi punya kecenderungan untuk selalu berpihak pada kaum lemah-miskin, atau juga sebagai alat untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap kaum penjajah.

Menurut eyang Sapardi, "Puisi, bagi saya adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan spele dalam kata, yang bisa di manfa'atkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam".

Artinya, beliau menilai puisi bukan dari bentuk fisiknya, akan tetapi lebih kepada aspek kegiatan penyairnya dan fungsinya.

Semasa berkarir sebagai seorang sastrawan, eyang Sapardi paling sedikit menulis tiga genre sastra. Yaitu puisi, cerita dan esai. Bahkan pada awal karirnya beliau juga ternyata pernah menulis cerita dalam bahasa Jawa. Namun akhirnya beliau lebih memilih banyak menulis puisi di banding cerita, hal ini karena pengalamannya yang karyanya pernah ditolak oleh redaksi dengan alasan cerita itu tidak masuk akal.

Pengalaman itu terjadi tatkala beliau masih duduk dibangku SLTP.  Pada saat itulah beliau memutuskan untuk tidak menulis cerita dan memilih menulis puisi.

Padahal menurutnya, karangan yang dibuatnya itu bukan sekadar rekaan semata, melainkan cerita itu benar-benar terjadi. 

Karangan itu memang merupakan karya pertama eyang Sapardi yang dikirimkan ke sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa. Adalah Pak Subagio Imam Notodidjojo seorang tokoh jurnalistik terkenal yang dalam tulisan sering di singkat Pak SIN yang menolak karangannya itu.

Dalam karangannya itu, eyang Sapardi mencoba bercerita tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya. Karangan yang ditulis dengan sikap anak-anak yang sejujurnya itu ternyata ditolak. Mengapa cerita itu ditolak? Jawabannya jelas bahwa cerita itu menurut Pak SIN tidak masuk akal.

Namun karena penolakan itulah, akhirnya eyang Sapardi mulai menyadari bahwa ada peristiwa dalam hidupnya yang memang tidak masuk akal.

Terlalu panjang kalau saya mengisahkan kehidupan eyang Sapardi dari awal dan membicarakan berbagai macam karyanya. Yang jelas, berkat puisi Hujan Bulan Juni lah, saya mulai kagum dengan beliau dan mulai menyukai karya-karyanya.

Karena dulu, yang saya tahu tentang Sapardi Djoko Damono, adalah beliau hanya seorang sastrawan, namun ternyata lebih dari itu, beliau juga sangat pantas disebut sebagai seorang seniman.

Sastra hanyalah salahsatu kemampuan berkeseniannya yang paling menonjol selain pandai menulis puisi, menjadi penerjemah dan menulis cerita. Beliau juga ternyata pandai menari, menabuh gamelan, main gitar, memimpin band, menggambar, main drama dan sedikit-sedikit bisa bermain wayang kulit.

Tak hanya itu, beliau juga merupakan seorang akademisi, seorang pemikir, dan juga kritikus sastra. Sudah banyak beberapa buku yang ia tulis tentang sastra, diantaranya adalah, Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra : Pemain Makna (1999).

Pencapaiannya yang gemilang dalam bidang puisi, membuka jalan baginya melanglang buana. Sukses besar dalam jagat perpuisian semakin membuatnya lebih banyak kluyuran, bahkan wilayah jelajahnya semakin luas dan dalam. 

Sebab, pengembaraannya dilakukan secara horizontal dan vertikal. Tak mengherankan jika beliau akhirnya tak hanya dikenal di wilayah Asia Tenggara, tetapi juga dikenal oleh masyarakat sastra dunia.

Selamat jalan eyang, karyamu akan tetap abadi dalam jiwa kami...**

Penikmat Puisi

Reynal Prasetya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun