Mohon tunggu...
Reyhan Abdil Febriansyah
Reyhan Abdil Febriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki kepribadian yang introvert. Memiliki ketertarikan dengan film.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Tontonan Film atas Perilaku Kekerasan Seksual pada Mahasiswa

17 Desember 2022   16:48 Diperbarui: 17 Desember 2022   16:48 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, perkembangan teknologi di zaman ini sudah berbeda jauh dari zaman sebelumnya, teknologi telah merubah segala sendi-sendi kehidupan bahkan mengubah perilaku individu tersebut Teknologi juga mempermudah kita dalam menjalani segala bentuk kehidupan, memudahkan kita mendapat informasi, dan memudahkan kita mendapatkan peluang kerja yang besar. Salah satu hasil dari pengaruh dan perkembangan teknologi ada pada media massa dan media komunikasi, banyak hal-hal yang bersifat menghibur, mengedukasi, dan masih banyak lagi. Misalnya ketika kita sedang menonton film dokumenter mengenai hewan-hewan, kita menjadi tahu binatang-binatang seperti apa yang ada di setiap belahan dunia. Dengan menonton film tersebut pengetahuan kita menjadi semakin bertambah dan memiliki pandangan baru. 

Namun dibalik hal-hal positif tersebut terdapat pula hal-hal yang negatif, banyak adegan-adegan film yang menunjukkan kekerasan baik fisik maupun seksual. Beberapa tahun terakhir ini adegan kekerasan banyak ditayangkan dalam film. Perkelahian, pemukulan, pembunuhan dan sebagainya yang merusak dan merugikan orang lain selalu muncul dalam film. Tingkat kekerasan dalam film terus meningkat dalam kualitas dan kuantitas (Widiastuti, 2002). Menurut Anggadewi Moesono (1996) dalam Evita (2007) mengatakan bahwa Film tidak langsung mempengaruhi perilaku buruk seseorang namun, apabila dilakukan secara berulang-ulang tersebutlah yang berdampak negatif bagi si penonton. Hal tersebut didominasi oleh kalangan remaja yang dimana dirinya mudah dipengaruhi dan kecenderungan untuk meniru lebih besar daripada orang dewasa saat menonton film.   

Salah satu dampak negatif dalam film adalah kekerasan seksual yang dimana membuat perilaku remaja menjadi lebih agresif bersama dengan pasangannya baik saat masih muda atau ketika dewasa nanti. Dalam tulisan ini saya akan menggunakan perspektif dan teori sosiologi. Paradigma sosiologi yang paling memungkinkan dalam menganalisis kekerasan seksual akibat tontonan film atau serial televisi adalah paradigma definisi sosial yang dikemukakan oleh Max weber dan menggunakan teori interaksionisme simbolik untuk menganalisis lebih jauh tindakan kekerasan seksual ini.   

Pembahasan

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kekerasan seksual berdasarkan perspektif sosiologi, kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual diartikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak disengaja maupun disengaja, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang (WHO, 2017). Kekerasan seksual dapat berupa tindakan seperti pemerkosaan, konteks seksual secara mental, menyebarkan vidio pornografi, memaksa seseorang untuk menonton pornografi, pernikahan secara paksa, aborsi secara paksa, kekerasan pada organ seksual, dan pelacuran serta eksploitasi komersial seksual (WHO, 2017).  Banyak remaja yang terpengaruh kekerasan seksual ini dari tontonan film luar maupun dalam negeri, namun biasanya yang paling mempengaruhi remaja untuk bertindak menyimpang adalah film barat.  

Dari apa yang diketahui diatas, apabila dilihat dari perspektif sosiologi, mengarah pada paradigma definisi sosial yang dikemukakan oleh Max Weber. Dalam teori tindakan sosial, fokus Weber terletak pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan oleh agen atau aktor individu dipahami sebagai subjektif. Weber menggunakan metoologi tipe idelanya dalam menjelaskan makna dari tindakan dengan mengindentifikasi empat tipe tindakan dasar yaitu zwerk rational, werk rational action, affectual action, dan tradisional action. Kemudian tindakan sosial juga dikemukakan oleh Talcott Parsons sebagai pengikut Weberian. Dalam pandangannya Ia mengemukakan bahwa: individu disebut sebagai aktor, aktor dipandang sebagai penentu tujuan-tujuan tertentu, aktor mempunyai cara, alat, dan teknik yang berbeda dalam mencapai tujuannya, aktor dihadapkan pada kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan, dan aktor berada dibawah kendali nilai-nilai, norma-norma, dan ide abstrak yang mempengaruhi  individu atau aktor dalam memilih dan menentukan tujuan dan tindakan alternatif  untuk mencapai tujuan. Kemampuan seorang aktor dalam memilih dan menentukan tujuan dinamakan valuntarism.  

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tindakan sosial merupakan proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subjektif mengenai sarana dan cara dalam menentukan pilihan tujuan. Seorang aktor bebas untuk memilih dan menentukan tujuannya sendiri sesuai kemauan dan kemampuannya dalam memilih. Remaja baik kalangan SMA dan perguruan tinggi masih berpotensi besar dalam melakukan kekerasan seksual dari tontonan film. Mereka belum mempunyai pemahama dan pemikiran yang dewasa adan belum mempunyai tujuan-tujuan tertentu serta masih banyak diantara mereka yang belum sepenuhnya terkenali oleh nilai dan norma di masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan oleh media massa, banyak sekali film dan komersial yang menampilkan kekerasan didalamnya seperti memukul, menembak, menganiaya, bullying, bahkan kekerasan seksual. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak aktor atau individu belum mengetahui makna dari tontonan tersebut dan kurangnya pemilihan secara hati-hati dalam menonton film juga cenderung kepada tindakan agresi atau kekerasa pada individu. Banyak penelitian yang menguji bahwa kekerasan di media dapat meningkatkan agresi pada anak-anak, remaja, dan dewasa. Seperti salah satu contoh berikut, dalam exsperimen laboratorium jangka pendek, anak-anak atau orang dewasa diminta untuk menonton film dan acara televisi yang mengandung kekerasan atau yang tidak mengandung kekerasan. Kemudian kecenderungan mereka untuk melakukan tindakan agresi terhadap orang lain diukur. Secara umum hasil dari eksperimen ini mengungkapkan bahwa tingkat agresi yang lebih tinggi pada partisipan yang melihat film atau program kekerasan.

Penelitian lain yang lebih memungkinkan adalah menggunakan prosedur longitudinal, dimana partisipan yang sama dipelajari selama bertahun-tahun. Hasilnya, semakin banyak film atau progra televisi dengan kandungan kekerasan yang ditonton partisipan saat anak-anak, semakin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau dewasa. Misalnya semakin tinggi kecenderungan mereka untuk  ditangkap atas tuduhan kriminal dengan kekerasan. Temuan-temuan ini juga diperoleh di berbagai negara dan terbukti sama walaupun pada kebudayaan yang berbeda. Negara tersebut seperti Australia, Finlandia, Israel, Polandia, dan Afrika Selatan.   

Mengapa hal tersebut dapat terjadi ada beberapa kemungkinan yang pertama adalah memungkinkan individu belajar cara baru untuk melakukan agresi dari menonton film atau seri televisi, cara yang tidak mereka bayangkan sebelumnya. "Copycat Crimes", istilah dimana suatu kejahatan yang dilaporkan di media kemudian ditiru oleh orang lain di lokasi yang jauh, memperlihatkan bahwa dampaknya terjadi secara nyata. Yang kedua adalah efek desensitisasi. Setelah menonton banyak kekerasan di media, individu menjadi bebal pada kesakitan dan penderitaan orang lain, mereka menunjukkan reaksi emosional yang lebih sedikit daripada yang seharusnya terhadap tanda-tanda kekerasan seperti itu dan hal ini memungkinkan untuk mengurangi pertahanan mereka sendiri untuk menolak terlibat dalam tindakan agresi. Yang ketiga adalah menonton adegan kekerasan dapat menghidupkan pikiran hostile, sehingga pikiran itu masuk ke ingatan dengan lebih segera. Pikiran-pikiran hostile tersebut menjadi lebih mudah diakses oleh pikiran sadar. Hal ini kemudian meningkatkan kecenderungan individu untuk terlibat dalam agresi terbuka. Hal tersebut terjadi karena pemaparan terhadap kekerasan di media secara berulang-ulang dapat menguatkan dampak utama tersebut seiring dengan berjalannya waktu.   

Mengapa banyak sekali adegan-adegan kekerasan yang dipaparkan di media atau televisi? Satu alasannya yaitu sistem kapitalisme. Pengiklanan dan pembuatan film yang banyak berisi adegan-adegan kekerasan dipandang bahwa "kekerasan itu laku keras". Adegan-adegan seperti itu dapat meningkatkan jumlah penonton bahkan banyak fans di luar sana terkait suatu film yang mengandung adegan kekerasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun