Hari masih pagi, tak ada burung yang berkicau, Matahari pun enggan menampakkan wajahnya. Jalan-jalan tampak lengang, pohon-pohon menyibakkan dedaunan dengan tetesan embun dan sedikit curahan gerimis. Minggu seperti ini orang-orang lebih memilih istirahat daripada melakukan aktifitas, Apalagi cuaca lagi tak bersahabat. Di sudut gang, tampak rumah kecil dan sederhana sekali. Halamannya ditanami berbagai macam bunga, ada mawar, melati, kaktus dan sebagainya, aroma wangi bunga sangat semerbak melukiskan kedamaian pemilik rumah. Tidak hanya berbagai macam bunga saja, melainkan juga tanaman apotek hidup tumbuh subur di pekarangan rumah.
Mbok Inah dan anak perempuan semata wayangnya adalah pemilik rumah itu. Rena namanya, berusia tujuh belas tahun, rambutnya panjang dan lurus hitam legam, kulitnya putih, badannya tinggi. Gadis ini sangat manis. Namun, ada yang menarik matanya selalu tampak sayu, bagaikan mendung yang seolah ingin menumpahkan hujan ke bumi seperti pagi ini. Suami Mbok Inah telah lama meninggal akibat penyakit stroke yang diderita. Kini, mbok Inah hanya hidup berdua dengan anaknya.
Seperti biasa gadis cantik dengan wajah yang putih namun pucat bak salju itu duduk di depan jendela kamarnya di atas kursi goyang favoritnya, konon kursi itu adalah peninggalan ayahnya yang telah lama meninggal. Matanya yang selalu tampak mendung itu selalu menerawang jauh entah kemana. Orang-orang selalu menyebutnya 'Mendung di Mata Rena'. Tak tahu apa yang menyebabkan mata itu selalu sembab dan tak bersinar sedikit pun.
*****
       Subuh-subuh ketika orang-orang masih terlelap dalam tidurnya, seorang perempuan muda turun dari mobil dan membawa sesuatu dalam sebuah keranjang. Cuaca pada saat itu mendung dan angin bertiup agak tak bersahabat sehingga dingin menerobos sampai ke sumsum tulang. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan-pelan. Tampak dari dalam seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh membuka pintu.
"Oh . . . Den Ayu, ada apa subuh-subuh begini datang ke gubuk simbok, loh . . . itu apa di dalam keranjang, Â Den Ayu ? " tanya Mbok Inah.
"Sudahlah Mbok, jangan banyak tanya dulu, biarkan aku masuk, nanti biar aku jelaskan" jawab Ayu sambil berjalan menuju kursi panjang yang terbuat dari anyaman bambu itu atau orang-orang kampung sering menyebutnya dengan amben.
"Mbok, Ayu ingin minta tolong pada Simbok, Simbok mau membantu Ayu, kan?" lanjut Ayu.
"Minta tolong apa, Den Ayu? kalau Simbok bisa bantu insaAllah Simbok bantu " jawab Mbok Inah. Ayu hanya diam dan kemudian membuka keranjang itu, ternyata isinya bayi yang masih merah dan tampak baru dilahirkan itu. Mata Mbok Inah terbelalak.
"MasyaAllah . . . " Ucap Mbok Inah.
"Mbok, pasti Mbok sudah tahu maksud Ayu kan? Ayu mohon Mbok tolong Ayu, Ayu khilaf, Ayu sadar kalau Ayu salah, Ayu takut pada Mama dan Papa, Mbok " rengek Ayu sambil menangis dan bersimpuh di kaki Mbok Inah.