Di sebuah kafe kekinian yang terletak di salah satu sudut menanjak Jalan Dago, Bandung, aroma kopi Arabica dan sentuhan kayu manis dari cinnamon roll bersatu dalam udara dingin pagi yang masih berselimut kabut tipis. Meja nomor tujuh, pojok dekat jendela besar berbingkai kayu, menjadi langganan empat ibu-ibu muda yang penampilannya selalu "Instagrammable", lengkap dengan pashmina warna nude, skincare glowy, dan signature coffee masing-masing.
"Aku tuh sekarang udah enggak bisa ngopi sembarangan, sumpah! Harus yang medium roast, acidity-nya mild, dan harus susu oat, ya Allah. Perut aku tuh nggak bisa lagi yang terlalu asam," ujar Maharani, sambil memutar cangkir latte art berbentuk hati.
"Wih, tumben loe cerewet banget urusan kopi. Sejak kapan, Bu Rani?" cibir Jamila sambil tertawa, menyeruput espresso-nya.
"Sejak wajah aku baru, Beb," Maharani menjawab, diiringi kedipan mata centil. "Biar matching dong, inner body and outer face harus seimbang. Masa wajah udah ala Korea, tapi kopi masih ala warung?" Mereka pun tertawa bersama.
"Eh, serius loe? Lo operasi plastik beneran? Yang kemarin ke Korea itu?" tanya Rida, yang paling kalem di antara mereka.
"Iyalah, ngapain jauh-jauh ke Seoul kalau cuma mau skincare-an. Aku ambil full package. Hidung, dagu, lip filler, dan sedikit tarik benang. Katanya, yang paling hits sekarang itu yang nggak kelihatan hasilnya---tapi beda. Natural banget, katanya sih."
"Gilaa... loe kayak lahir lagi, Ran," ujar Nadia, memperhatikan wajah temannya dengan seksama, lalu mengangkat cangkir cappuccinonya. "Cheers buat wajah baru!"
"Eh tapi lo sempat sakit pasca operasi nggak, Ran?" tanya Jamila sambil mencocol croissant ke butter.
"Sakit mah udah pasti, Beb. Tapi lebih sakit liat muka sendiri di kaca sebelum operasi. Hahaha!"