Jeritan Diam Orang Utan: Ketika Hutan Meredup, Suara Mereka Terasa Jauh
Retno Achmad Faisal
Prolog
Aku adalah warga biasa dari Kalimantan Tengah. Sejak kecil, aku terbiasa menghirup udara pagi di tepian hutan, mendengarkan kicau burung, melihat hijau menyelimuti bukit-bukit di Tanjung Puting. Aku sering mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting bukan karena status atau jabatan, tapi karena hati---hanya hati yang mengikatku dengan alam di sana.
Suatu hari di tengah hujan deras yang membasahi jalan, aku menyaksikan seekor orang utan betina bersama bayinya merayap keluar hutan, menyeberangi jalan provinsi yang sepi. Ia memanjat tiang listrik dengan tubuh basah kuyup, entah mencari jalan pulang atau hanya sejumput makanan. Petir menyambar jauh di langit, dan mungkin arus listrik yang bocor menyengat tangannya. Bayinya menangis lirih, menempel erat pada tubuh induknya. Aku hanya seorang manusia biasa, tak punya kekuatan besar, namun rasa sedih di dadaku meremukkan hati, seakan ikut merasakan setiap sengatan dan ketakutan mereka.
Orang Utan, Cermin Kehidupan Kita
Orang utan, yang dalam bahasa Latin disebut Pongo pygmaeus untuk orang utan Kalimantan, adalah makhluk agung penghuni hutan hujan tropis. Mereka dikenal sebagai "manusia hutan", bukan tanpa alasan: orang utan berbagi sekitar 97% DNA dengan manusia. Setiap gerak, ekspresi, dan interaksi sosial mereka memantulkan kemiripan yang mengingatkan kita bahwa manusia dan orang utan berasal dari pohon keluarga yang sama dalam sejarah evolusi.
Sifat orang utan penuh keanggunan sekaligus kelembutan. Mereka cerdas, penyayang, dan sangat peduli terhadap bayi dan keluarga kecilnya. Induk orang utan menggendong bayinya hingga berbulan-bulan, mengajarkannya cara memanjat, memilih buah, dan membaca bahaya di hutan. Mereka punya naluri kuat untuk bertahan hidup, tapi juga hati yang peka, mampu merasakan kehilangan dan bahaya yang mengancam habitatnya. Selain itu, orang utan dikenal cerdas, kreatif, dan adaptif. Mereka mampu menggunakan alat sederhana untuk mendapatkan makanan, membuat sarang dari daun dan ranting, dan mengingat lokasi pohon buah favorit di hutan. Tingkah laku ini menunjukkan tingkat kecerdasan yang tinggi dan kemampuan belajar yang mirip dengan manusia.
Orang utan bukanlah mitos atau dongeng yang hanya muncul di buku. Mereka adalah makhluk hidup yang darahnya sama panasnya dengan darahku.
Krisis yang Terlihat dengan Mata Kepala Kita
Namun, ironi nyata muncul. Habitat orang utan Kalimantan terus menyusut akibat perkebunan kelapa sawit, kebakaran hutan, dan pembalakan liar. Fragmentasi hutan memaksa mereka keluar ke kebun atau permukiman, lalu dianggap hama.
1. Habitat yang terkikis: Perluasan lahan sawit dan industri monokultur merobek hutan menjadi petak-petak tersisa. Hutan yang dulu luas kini terpotong-potong. Bagi mereka, petakan itu bukan sekadar batas administrasi: itu adalah dinding maut. Kebakaran hutan yang kerap terjadi akibat land clearing yang salah semakin memperparah kondisi, meninggalkan sisa hutan yang hangus dan mengancam nyawa satwa.
2. Fragmentasi hutan: Jalan, kebun sawit, perkebunan lainnya memisahkan hutan inti. Orang utan dipaksa berjalan keluar hutan untuk mencari makanan atau pasangan, makin dekat dengan pemukiman manusia.
3. Konflik manusia-satwa: Mereka muncul di tepian kampung, di jalanan, di tiang listrik. Bahaya jatuh, tersetrum. Tak hanya kehilangan rumah, mereka kehilangan rasa aman.
4. Musim hujan semakin ganas, tiang listrik tergenang, kabel terbuka---makhluk lemah apa pun bisa jadi korban. Orang utan bayi pun ikut dalam situasi ini.
Statistik yang Membungkam
Tak hanya cerita atau momok, penyusutan ruang hidup orang utan dan makhluk hutan lainnya kini punya angka yang tak terbantahkan. Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) pada tahun 2025 mendeteksi 312.000 hektare kebun kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang dibangun di kawasan hutan, dan kini dikenai denda serta proses penertiban. Angka ini menjadi bukti bahwa kerusakan hutan bukan lagi ancaman masa depan --- ia sudah berada di depan mata.
Prof. Birute Galdikas: Cahaya di Tengah Kabut
Bayangkan jika tidak ada Bunda Prof. Birute Mary Galdikas. Sejak 1971 ia menjelajahi hutan di Tanjung Puting, dengan peta kecil di tangan, tekad yang besar. Ia mendirikan penelitian, perlindungan, rehabilitasi orang utan. OFI (Orangutan Foundation International) menjadi lembaga panutan, tidak cuma membantu orang utan, tapi juga mendidik masyarakat tentang arti penting hutan dan keanekaragaman hayati.
Beliau tidak hanya menyelamatkan individu orang utan yang terdampar atau terluka, tapi juga menyelamatkan ide bahwa orang utan memiliki tempatnya di dunia ini. Barang kali tanpa beliau, kita sudah kehilangan spesies ini --- bukan di masa depan jauh, tapi mungkin sudah sekarang.
Aku bangga bahwa sosok seperti beliau ada. Bahwa ada harapan, bahwa meski aku hanyalah warga biasa, aku bisa turut merasakan dan mendukung perjuangan beliau.
Langkah Inovatif dan Tindakan Konkret untuk Menyelamatkan Orang Utan
Apa yang harus dilakukan --- oleh pemerintah, masyarakat, pengusaha sawit, pencinta alam --- agar orang utan tidak hanya hidup, tapi leluasa dan aman?
Berikut beberapa langkah/terobosan konkret:
1. Pemerintah: Penataan Ruang & Penegakan Hukum
- Tegaskan aturan perlindungan hutan: pastikan kawasan hutan lindung dan konservasi tidak dialihfungsikan untuk sawit atau jenis industri lainnya.
- Pengawasan yang efektif, transparan, dengan keterlibatan masyarakat lokal dan LSM lingkungan.
- Sanksi keras untuk perusahaan yang membuka lahan secara ilegal, merusak hutan, atau menyebabkan fragmentasi habitat.
- Peta sebaran orang utan yang diperbarui secara berkala, kawasan kritis habitatnya diinventarisasi, dilindungi sebagai koridor hijau.
2. Inovasi Teknologi & Konservasi
-Remote sensing & AI untuk mendeteksi deforestasi secara real time: satelit, drone. Warga lokal bisa dilatih sebagai "mata hutan" digital.
- Telemetry dan GPS Collar pada orang utan rehabilitasi: membantu memantau pergerakan mereka, agar bila muncul di zona bahaya (sekitar pemukiman atau tiang listrik) bisa diberikan tindakan cepat.
- Rehabilitasi dan pelepasliaran yang memperhatikan kualitas habitat target: bukan hanya sebar, tapi pastikan keamanan lingkungan sekitar dan adanya sumber makanan alami.
- Restorasi hutan di koridor-koridor fragmen: tanam pohon asli, ciptakan jembatan hijau antara hutan inti agar populasi bisa bebas bergerak, kawin, mencari makanan.
3. Peran Perkebunan Industri Monokultur (Sawit)
- Industri sawit harus mempraktikkan zero-deforestation commitment: tidak membuka hutan baru, khususnya hutan primer dan sekunder yang masih baik.
-Sertifikasi keberlanjutan yang benar: RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) atau yang sejenis, dengan audit independen dan transparan.
- Tetapkan buffer zone antara kebun sawit dan kawasan hutan alami: misalnya strip vegetasi atau hutan sekunder yang difungsikan sebagai zona aman untuk satwa.
- Membayar ekosistem jasa lingkungan: perusahaan sawit yang mengambil lahan hutan harus berkontribusi pada konservasi habitat (misalnya dana kompensasi, restorasi hutan, penanaman pohon, perlindungan satwa liar).
4. Keterlibatan Masyarakat & Pendidikan
- Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengawasan hutan: sebagai pelapor, pengelola kecil lahan restorasi, penjaga koridor hijau.
- Program edukasi lingkungan di sekolah-sekolah sekitar hutan: bahwa orang utan bukan cuma "wisata alam" tapi bagian dari keseimbangan ekosistem.
- Pengembangan alternatif mata pencaharian yang ramah lingkungan: pariwisata alam, agroforestry, budidaya tanaman non-monokultur, usaha lokal yang tidak merusak hutan.
5. Kolaborasi Sinergis
- Pemerintah, NGO, ilmuwan, masyarakat, dan industri harus duduk bersama: menyusun peta jalan penyelamatan orang utan, menetapkan target konservasi, pembatasan alih fungsi lahan.
- Pendanaan konservasi: donor internasional, CSR perusahaan, dukungan masyarakat luas melalui kampanye, crowd-funding, sponsor.
- Transparansi dalam pelaporan: semua tindakan konservasi, semua pelanggaran harus terpublikasi agar publik bisa memantau.
Harapan & Ajakan yang Menyala
Aku percaya bahwa keberadaan orang utan adalah cerminan keberadaan hutan kita. Jika mereka tersenyum, burung bernyanyi, sungai jernih, udara bersih --- itu bukan mimpi, itu bisa jadi nyata. Tapi itu butuh hati yang bangkit, dukungan yang nyata.
Menyelamatkan Orang Utan berarti menjaga paru-paru dunia, iklim, dan jati diri bangsa. Jangan biarkan jeritan mereka padam, jangan biarkan induk orang utan terus memeluk bayi di pinggir jalan beraspal.
Jika kamu membaca ini, jika kamu mempunyai sedikit rasa empati --- mari kita bergandeng tangan. Bukan hanya lewat tulisan. Berjalanlah ke jalanan provinsi bila perlu: jika melihat orang utan di tiang listrik, laporkan. Jika melihat perusahaan yang membuka hutan tanpa izin, dorong agar dihentikan. Jika kamu punya media sosial, suarakan. Jika kamu punya tetangga, ajak bicara.
Kita mungkin tidak punya kekuasaan besar, tapi kita punya suara. Dan suara itu bisa menjadi getar yang memicu aksi lain: dari pemerintah, pengusaha, dan setiap hati yang peduli.
Penutup
Melihat orang utan bukan sekadar melihat hewan; kita melihat cerminan diri kita sendiri di hutan. Mata mereka yang dalam seolah berbisik: "Kita pernah sama, dan kita saling membutuhkan." Dengan DNA, naluri, dan kemiripan perilaku itu, orang utan adalah guru bagi manusia tentang harmoni, kesabaran, dan pentingnya menjaga rumah bersama --- hutan kita.
Orang utan tidak butuh kita untuk merayakan eksistensinya hanya sebagai spesies langka dalam foto. Mereka butuh rumah yang aman. Hutan yang tidak disobek. Udara tidak tercemar. Listrik tidak terbuka di tiang yang bisa membunuh. Kita adalah manusia, penghuni bumi yang juga diuntungkan dari keberlanjutan alam.
Aku hanyalah warga biasa. Tapi hatiku besar. Suaraku keras dalam tulisan ini bukan untuk pujian, tapi untuk hidup bersama --- bukan bertahan saja. Untuk orang utan, untuk hutan, dan untuk masa depan kita semua. Karena ketika mereka kehilangan rumah, kita juga kehilangan bagian dari diri kita sendiri.
"To save the orangutan, we must save the forest. To save the forest, we must change the way we think about our place in the natural world."
--- Prof. Birute Mary Galdikas
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI