Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesta Demokrasi Tak Seharusnya Membelah Bangsa

15 Juni 2022   14:05 Diperbarui: 15 Juni 2022   14:09 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemilihan umum Presiden wakil presiden RI masih dua tahun lagi, alias 24 bulan lagi. Namun berbagai riset, survey dan sebagainya sudah memberikan gambaran kepada masyarakat. Ada yang survey di sebagian wilayah Jawa dan menjagokan si A, dan di tempat lain menjagokan si B karena dia sangat populer di wilayah itu.  Ada juga lembaga survey yang melakukan survey di seluruh Indonesia dan mendapati bahwa si C dan D lah yang lebih berkenan di hati rakyat.

Segala bentuk survey yang menurut saya "masih terlalu jauh ini" akhirnya memang menjadi bahan perbincangan di time line media sosial maupun media mainstream. Kita nyaris setiap hari menemukan foto dan angka figur-figur yang dijagokan oleh beberapa kelompok orang dan partai dengan narasi-narasi yang mengagungkan calon jagoannya itu

Tidak jarang, para pendukung si A atau B atau C atau D itu karena sangat fanatis (terhadap sang calon) menjelek-jelekkan calon lain dengan berbagai narasi, meme bahkan gambar bergerak yang sudah diedit. Sikap-sikap fanatis itu terkadang memperlihatkan sikap tercela dan tidak pantas dilakukan oleh warga negara yang berpendidikan tinggi dan berakal budi.

Sikap fanatis itu juga tak jarang diwarnai dengan politik identitas; satu upaya yang menonjolkan perbedaan kesukuan, agama (keyakinan), warga kulit atau di masa lalu disebut SARA. Penggunaan SARA dalam narasi-narasi yang bersifat menyerang itu pernah kita jumpai saat Pilkada Jakarta tahun 2017. Saat itu politik identitas berhasil mempengaruhi warga Jakarta untuk mendeskreditkan satu pasangan dan memenangkan satu pasangan lainnya.

Isu SARA dan politik identitas begitu mencengkeram Jakarta saat itu dan mempengaruhi atmosfer langit offline : di setiap salat Jumat di masjid, setiap pengajian massal maupun eksklusif sampai pada ucapan-ucapan para bocah yang sejatinya belum punya hak untuk mencoblos dalam pemilu. Ucapan-ucapan tak layak mereka ucapkan dan selalu mengarah soal suku salah satu calon dan agamanya. Begitu juga di atmosfer langit online dimana narasi-narasi tak layak juga diuangkapkan di tulisan. Saling serang, mendiskreditkan dan berbagai makian menguasai langit online.

Hal-hal itu begitu massif dan panjang, bahkan melebihi waktu kampanye sampai salah satu calon itu diadili dan masuk penjara. Bisa ditebak dengan suasana seperti itu, warga Jakarta terbelah. Mereka saling benci, bahkan beberapa kasus ada pasangan suami istri yang terancam bercerai, sahabat yang tak lagi bisa bergurau bersama sampai pada saudara yang punya pilihan berbeda dan itu memutuskan tali persaudaraan itu.

Sebenarnya, ini semua tak seharusnya terjadi. Pesta demokrasi memang penting dan berlangsung lima tahun sekali, tidak seharusnya membelah bangsa, memutuskan tali persahabatan dan tali silaturahmi pada persaudaraan dan bahkan pernikahan. Pesta demokrasi dilakukan demi kesadaran kita berpolitik sebagai warga negara dan tidak layak politik identitas merusaknya.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun