Mohon tunggu...
Restu Mahendri
Restu Mahendri Mohon Tunggu... Pengajar

Hobi saya menyanyi dan mendengarkan musik karena hal ini sangat menyenangkan dam bisa melepaskan penat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

THK dalam Kebijakan Publik dan Manajemen

4 Oktober 2025   20:11 Diperbarui: 4 Oktober 2025   20:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan 

Bayangkan Anda berdiri di tengah sawah terasering yang menghijau di Bali. Suara gemericik air dari sistem subak yang berusia ratusan tahun terdengar menenangkan, sementara di kejauhan, pura kecil memancarkan aura spiritual yang damai. Pemandangan ini bukan sekadar destinasi wisata, melainkan wujud nyata dari sebuah filosofi kuno: Tri Hita Karana (THK), tiga penyebab kebahagiaan. Filosofi ini mengajarkan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama (Pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).

Namun, di balik keindahan itu, kita juga melihat tantangan modern: kemacetan lalu lintas, tumpukan sampah di sudut tersembunyi, dan persaingan ekonomi yang kian ketat. Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah Tri Hita Karana masih relevan sebagai panduan di tengah deru modernitas? Atau ia hanya akan menjadi slogan indah di brosur pariwisata? Artikel ini akan mengupas bagaimana falsafah luhur ini tidak hanya bertahan, tetapi juga diimplementasikan secara nyata, baik dalam cetak biru kebijakan pemerintah daerah maupun dalam strategi operasional organisasi modern yang ingin tumbuh berkelanjutan. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kembali kearifan lokal sebagai solusi atas persoalan global.

Latar Belakang Masalah

Pentingnya mengangkat kembali Tri Hita Karana berakar pada sebuah paradoks pembangunan. Di satu sisi, pertumbuhan ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur sering kali dianggap sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Data statistik menunjukkan peningkatan pendapatan daerah dan angka kunjungan wisatawan. Namun, di sisi lain, kesuksesan ini sering kali harus dibayar mahal. Laporan dari berbagai lembaga lingkungan hidup secara konsisten menyoroti isu alih fungsi lahan produktif, krisis air bersih, dan volume sampah plastik yang kian mengkhawatirkan, terutama di daerah tujuan wisata seperti Bali.

Secara sosial, modernisasi yang tidak terkendali berisiko menggerus ikatan komunal. Prinsip kebersamaan (Pawongan) bisa terkikis oleh individualisme dan persaingan ekonomi yang tidak sehat. Kearifan lokal seperti sistem subak, yang merupakan contoh sempurna harmoni sosial dan ekologis, terancam oleh ekspansi properti. Isu ini bukan hanya masalah budaya, tetapi juga ekonomi dan ketahanan pangan. Ketika pembangunan hanya fokus pada keuntungan materi tanpa diimbangi oleh nilai spiritual (Parhyangan), yang terjadi adalah disorientasi: korupsi, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil, dan hilangnya identitas. Oleh karena itu, menjadikan THK sebagai landasan menjadi sebuah urgensi untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya "membangun fisik", tetapi juga "merawat jiwa" dan "menjaga bumi" secara bersamaan.

Pembahasan / Isi Utama 

Untuk memahami bagaimana THK diimplementasikan, kita perlu membedahnya melampaui definisi teoretis dan melihatnya sebagai kerangka kerja yang praktis.

Konsep Dasar Tri Hita Karana dalam Bahasa Sederhana

Pada intinya, THK adalah resep kebahagiaan dan kesejahteraan yang holistik, terdiri dari tiga "bahan" utama yang tidak bisa dipisahkan:

  1. Parhyangan (Dimensi Spiritual): Ini bukan hanya tentang ritual keagamaan. Dalam konteks modern, Parhyangan adalah tentang integritas, etika, dan nilai-nilai luhur yang menjadi landasan setiap tindakan. Ini adalah "mengapa" di balik setiap kebijakan dan keputusan bisnis.
  2. Pawongan (Dimensi Sosial): Ini adalah seni merawat hubungan antarmanusia. Cakupannya luas, mulai dari keadilan sosial, partisipasi masyarakat, gotong royong, hingga menciptakan lingkungan kerja yang suportif dan menghargai hak asasi manusia.
  3. Palemahan (Dimensi Lingkungan): Ini adalah tanggung jawab kita terhadap alam semesta. Bukan sekadar menanam pohon, tetapi mencakup kebijakan tata ruang yang adil, manajemen limbah, penggunaan sumber daya yang bijak, dan pelestarian keanekaragaman hayati.

a. Implementasi THK dalam Kebijakan Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah, khususnya di Bali, telah mencoba menerjemahkan filosofi ini ke dalam produk hukum dan program pembangunan. Ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah kompas kebijakan.

  • Analisis Penerapan:

    1. Aspek Palemahan: Ini adalah aspek yang paling terlihat. Program seperti Bali Bersih dari Sampah Plastik juga merupakan turunan langsung dari semangat menjaga Palemahan.
    2. Aspek Pawongan: Implementasinya terlihat dalam penguatan peran Desa Adat. Melalui Perda, Desa Adat diberikan kewenangan untuk mengelola wilayahnya, termasuk dalam hal keamanan, sosial, dan bahkan ekonomi. Program Bantuan Keuangan Khusus (BKK) untuk Desa Adat adalah wujud nyata negara hadir untuk memperkuat institusi sosial lokal. Selain itu, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang partisipatif, jika dijalankan dengan benar, adalah cerminan dari prinsip Pawongan.
    3. Aspek Parhyangan: Diwujudkan melalui kebijakan yang melindungi situs-situs suci dan warisan budaya. Alokasi anggaran untuk kegiatan upacara keagamaan dan pemeliharaan pura bukan hanya soal ritual, tetapi juga menjaga "jiwa" dari kebudayaan masyarakat. Lebih jauh lagi, semangat Parhyangan seharusnya mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan amanah.
  • Contoh Kasus: Sistem irigasi subak yang diakui sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO adalah contoh paripurna implementasi THK. Di sana, pembagian air (Pawongan) diatur dengan adil melalui musyawarah, ritual di Pura Ulun Danu menjadi landasan spiritualnya (Parhyangan), dan sawah serta alam sekitarnya dijaga kelestariannya (Palemahan). Kebijakan pemerintah yang melindungi subak adalah langkah strategis untuk mempertahankan kearifan ini.

b. Manajemen Berbasis THK di Organisasi dan Institusi

Prinsip THK tidak hanya berhenti di level kebijakan makro. Banyak organisasi, mulai dari hotel, perusahaan, hingga lembaga pendidikan, mulai mengadopsinya sebagai DNA operasional mereka.

  • Upaya Adopsi:

    1. Lingkungan Kerja sebagai Pawongan: Manajemen modern berbasis THK melihat karyawan bukan sebagai sumber daya, melainkan sebagai manusia seutuhnya. Ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan upah yang adil, program pengembangan diri, penciptaan budaya kerja yang kolaboratif dan anti-diskriminasi, serta jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Hubungan yang harmonis antara manajemen dan karyawan terbukti meningkatkan produktivitas dan loyalitas.
    2. Operasional Hijau sebagai Palemahan: Ini lebih dari sekadar Corporate Social Responsibility (CSR) musiman. Ini adalah komitmen nyata. Contohnya, hotel-hotel di Bali yang menerapkan program zero-waste, menggunakan panel surya, mengolah air limbah, dan bekerja sama dengan pemasok lokal untuk mengurangi jejak karbon. Perusahaan manufaktur yang mengadopsi prinsip ekonomi sirkular juga merupakan perwujudan dari semangat Palemahan.
    3. Etika Bisnis sebagai Parhyangan: Sebuah perusahaan yang berlandaskan THK akan menempatkan integritas di atas segalanya. Ini berarti transparansi dalam laporan keuangan, anti-suap, kejujuran dalam pemasaran produk, dan menjalankan bisnis dengan cara yang tidak merugikan pihak lain. Visi dan misi perusahaan tidak hanya mengejar profit, tetapi juga kontribusi positif bagi masyarakat dan alam.
  • Ilustrasi Praktik Baik: Sebuah resor di Ubud, Bali, secara sadar merekrut mayoritas stafnya dari desa sekitar (Pawongan), membangun propertinya dengan material ramah lingkungan dan menjaga kontur tanah asli (Palemahan), serta rutin mendukung kegiatan upacara di pura desa setempat sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal (Parhyangan). Hasilnya? Resor tersebut tidak hanya sukses secara finansial tetapi juga dicintai oleh masyarakat dan dihargai oleh tamu internasional yang mencari pengalaman otentik.

Penutup

Tri Hita Karana terbukti bukanlah sebuah konsep usang yang hanya relevan di masa lalu. Ia adalah sebuah kerangka kerja yang hidup, dinamis, dan sangat relevan untuk menjawab tantangan zaman. Melalui analisis penerapan di tingkat kebijakan pemerintah daerah dan manajemen organisasi, kita melihat bahwa THK menawarkan solusi konkret untuk menciptakan pembangunan yang seimbang dan berkelanjutan. Dari Perda Tata Ruang yang melindungi lingkungan hingga praktik manajemen yang memanusiakan karyawan, esensi Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan hadir sebagai penyeimbang antara kemajuan material dan kearifan spiritual.

Tantangan terbesarnya kini adalah konsistensi dalam implementasi. Mengubah THK dari sekadar slogan menjadi tindakan nyata membutuhkan komitmen politik yang kuat dari para pembuat kebijakan dan keberanian moral dari para pemimpin bisnis. Ia menuntut kita untuk berani berkata "tidak" pada pembangunan yang merusak dan "ya" pada inovasi yang selaras dengan alam dan kemanusiaan.

Sebagai penutup, mari kita merenung. Kebahagiaan dan kesejahteraan sejati tidak akan pernah tercapai jika kita hanya mengejar salah satu pilar dan mengabaikan yang lain. Sudah saatnya kita tidak hanya bertanya "berapa banyak yang bisa kita bangun?", tetapi juga "nilai apa yang kita rawat dan wariskan?". Semoga kearifan Tri Hita Karana dapat terus membumi, menginspirasi setiap keputusan kita, demi masa depan yang lebih adil, lestari, dan bermakna bagi semua.

Daftar Pustaka

  • Pemerintah Provinsi Bali. (2012). Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2012-2032.
  • Windia, Wayan. (2014). Transformasi Sistem Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Denpasar: Udayana University Press.
  • Laporan Tahunan beberapa perusahaan perhotelan di Bali yang telah menerima sertifikasi "Tri Hita Karana Awards".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun