Situasi yang sama berulang pada periode kedua pemerintahan Jokowi (2019--2024). Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, menjadi salah satu pejabat paling vokal memperjuangkan RUU ini. Pada 2023, Mahfud secara terbuka menuding DPR tidak ramah terhadap RUU Perampasan Aset, bahkan menyatakan bahwa penolakan berasal dari kepentingan politik yang ingin melindungi kekayaan tertentu (Mahfud, 2023). Pernyataan ini memicu kontroversi dan menjadi salah satu ilustrasi politik hukum di Indonesia: di satu sisi ada urgensi moral dan kebutuhan institusional, di sisi lain terdapat resistensi oligarki politik-ekonomi.
Tahun 2023 sebenarnya menandai langkah maju secara formal. RUU Perampasan Aset masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023. Namun, memasuki tahun politik menjelang Pemilu 2024, pembahasan praktis tidak pernah dilakukan. DPR lebih fokus pada agenda politik elektoral ketimbang reformasi struktural hukum. Situasi ini memperlihatkan kelemahan desain legislasi di Indonesia, yang kerap tunduk pada kalkulasi politik jangka pendek dibandingkan kepentingan publik jangka panjang (Mietzner, 2015).
Pasca Pemilu 2024, ketika susunan baru pemerintahan dan DPR terbentuk, posisi RUU ini sempat diturunkan statusnya menjadi bagian dari Prolegnas Jangka Menengah. Namun, setelah melalui evaluasi bersama Badan Legislasi DPR dan Panitia Perancang Undang-Undang, akhirnya disepakati bahwa RUU Perampasan Aset masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2025. Perubahan status ini memberi sinyal adanya peluang politik baru, tetapi tetap menyisakan pertanyaan: apakah sekadar kompromi simbolis atau benar-benar akan dibahas secara substansial.
Dari perspektif teori institusional, tarik-menarik status RUU ini mencerminkan apa yang disebut veto players theory (Tsebelis, 2002). Dalam sistem politik Indonesia, banyak aktor yang memiliki kapasitas memveto atau menunda agenda legislasi, mulai dari partai politik besar di DPR hingga koalisi eksekutif. Akibatnya, meski urgensinya diakui, proses legislasi menjadi rentan mandek karena kepentingan elit yang berlapis-lapis.
Di sisi lain, lambannya legislasi ini juga memperlihatkan wajah nyata oligarki di Indonesia. Robison dan Hadiz (2004) menegaskan bahwa pasca-Reformasi, oligarki politik-ekonomi tetap bertahan melalui adaptasi di arena demokrasi elektoral. RUU Perampasan Aset menjadi salah satu contoh bagaimana hukum yang berpotensi mengganggu akumulasi kekayaan oligarki justru dihambat, meski secara normatif ia sejalan dengan kepentingan publik.
Dalam kerangka solusi, langkah masuknya kembali RUU ini ke Prolegnas Prioritas 2025 harus dilihat sebagai momentum. Pertama, pemerintah harus menyiapkan naskah akademik yang lebih kuat, berbasis bukti empiris kerugian negara dan pengalaman negara lain. Kedua, masyarakat sipil perlu dilibatkan untuk mencegah RUU ini dibahas secara tertutup atau dipelintir untuk kepentingan tertentu. Ketiga, perlu adanya jaminan safeguard hukum agar kekhawatiran penggunaan RUU ini sebagai alat politik bisa diminimalisasi. Dengan demikian, resistensi politik dapat dihadapi dengan basis legitimasi publik yang lebih kokoh.
Faktor Penghambat Pengesahan RUU
Secara normatif, keberadaan RUU Perampasan Aset diharapkan mampu menjembatani kesenjangan besar antara potensi kerugian negara akibat korupsi dengan kemampuan negara dalam melakukan asset recovery. Namun, dalam praktik politik Indonesia, pembahasan RUU ini kerap mengalami jalan buntu. Hambatan tersebut tidak hanya bersifat teknis yuridis, melainkan terutama berakar pada persoalan politik dan institusional yang lebih dalam.
1. Resistensi DPR dan Elite Politik
Salah satu faktor utama adalah resistensi yang berasal dari DPR dan sebagian besar elite politik. Mahfud MD secara terbuka menyatakan bahwa DPR "tidak ramah" terhadap RUU ini (Mahfud, 2023). Resistensi tersebut dapat dibaca melalui lensa teori political capture, di mana proses legislasi dibajak untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000). Banyak anggota parlemen berasal dari latar belakang bisnis atau memiliki hubungan erat dengan pengusaha yang rentan terhadap mekanisme perampasan aset. Dengan demikian, insentif politik untuk mendorong regulasi ini sangat rendah.
Dalam konteks politik elektoral, partai membutuhkan dana besar untuk kampanye. Sumber dana sering kali berasal dari relasi patronase dengan pengusaha atau kelompok ekonomi tertentu (Aspinall & Berenschot, 2019). RUU Perampasan Aset yang berpotensi menyasar harta kekayaan yang tidak sah menjadi ancaman bagi sumber pembiayaan tersebut. Maka, resistensi DPR tidak semata-mata persoalan substansi, melainkan refleksi dari ketergantungan sistem politik pada modal ekonomi.
2. Hubungan Politik--Bisnis--Oligarki