Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Hendra Rahardja ke Oligarki Politik: Urgensi UU Perampasan Aset di Indonesia

7 Oktober 2025   00:26 Diperbarui: 7 Oktober 2025   00:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena kebuntuan pembahasan RUU Perampasan Aset di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik antara prinsip rule of law dan praktik political capture. Secara normatif, rule of law menuntut kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, serta perlindungan hak asasi manusia dalam proses peradilan (Dicey, 1982). Namun, dalam praktik politik Indonesia, hukum kerap kali menjadi arena perebutan kepentingan, di mana regulasi dibentuk atau dihambat bukan berdasarkan kebutuhan publik, melainkan untuk melindungi kelompok elit. Inilah yang disebut sebagai political capture: situasi di mana instrumen hukum justru dikooptasi oleh kekuatan politik dan ekonomi dominan (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000). Dengan demikian, pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan cermin pertarungan antara idealitas rule of law dan realitas politik oligarki.

Dalam konteks global, instrumen Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) telah terbukti menjadi solusi bagi negara-negara yang menghadapi tantangan serupa, yakni kesulitan membuktikan tindak pidana asal atau keberadaan pelaku yang melarikan diri. Di Australia, Proceeds of Crime Act 2002 memperkenalkan mekanisme NCB dengan standar pembuktian yang lebih rendah daripada pembuktian pidana, yakni balance of probabilities (McKechnie, 2012). Mekanisme ini memungkinkan negara menyita aset hasil kejahatan meskipun tidak ada putusan pidana terhadap pelaku. Inggris dan Singapura juga mengadopsi skema serupa, yang menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi ruang gerak kejahatan keuangan lintas negara (Cassella, 2013).

Bagi Indonesia, adopsi NCB sangat relevan. Kasus Hendra Rahardja menunjukkan bagaimana pelaku dapat melarikan diri ke luar negeri dan meninggalkan jejak aset yang sulit dijangkau karena terikat pada mekanisme pembuktian pidana konvensional. Dalam kerangka hukum yang masih rigid, penyitaan aset hanya mungkin dilakukan jika terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini berlawanan dengan semangat NCB yang menempatkan aset sebagai objek utama, bukan sekadar mengikuti status hukum pemiliknya (Stephenson dkk., 2011).

Selain NCB, wacana penguatan hukum perampasan aset juga berkaitan erat dengan konsep unexplained wealth dan illicit enrichment. Unexplained wealth mengacu pada kondisi ketika seorang pejabat publik atau individu memiliki harta yang tidak sebanding dengan profil pendapatan sahnya, sehingga timbul dugaan adanya sumber kekayaan ilegal (Gray, 2012). Sementara itu, illicit enrichment lebih menekankan pada ketidakmampuan individu untuk membuktikan asal-usul kekayaannya yang sah. Beberapa yurisdiksi, seperti Hong Kong dan Australia, menjadikan unexplained wealth orders sebagai instrumen hukum yang efektif untuk mengungkap praktik korupsi tersembunyi (Lusty, 2011).

Dalam perspektif governance, instrumen unexplained wealth bukan hanya alat represif, melainkan juga pencegahan. Transparansi asal-usul harta pejabat publik berfungsi sebagai deterrent effect bagi perilaku koruptif. Di Indonesia, kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebenarnya merupakan embrio dari konsep ini. Namun, lemahnya penegakan hukum dan rendahnya verifikasi membuat LHKPN cenderung menjadi formalitas administratif daripada mekanisme substantif pengendali korupsi (ICW, 2022).

Jika ditarik ke ranah teori politik, problematika RUU Perampasan Aset erat kaitannya dengan konsep oligarki. Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy menjelaskan bahwa oligarki bukan hanya soal jumlah elit yang berkuasa, melainkan tentang distribusi kekayaan dan kemampuan elit tersebut mempertahankan asetnya melalui proteksi hukum dan politik. Dalam konteks Indonesia, Robison dan Hadiz (2004) menegaskan bahwa demokrasi pasca-Reformasi justru membuka jalan bagi oligarki untuk mengadaptasi diri dan memperkuat kontrolnya melalui partai politik, parlemen, dan birokrasi. Dengan demikian, resistensi DPR terhadap RUU ini dapat dibaca sebagai ekspresi nyata oligarki yang berusaha melindungi kekayaan akumulatifnya dari ancaman perampasan negara.

Pertarungan wacana antara rule of law dan political capture, antara NCB dan hukum pidana konvensional, serta antara transparansi dan oligarki, menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset bukan sekadar soal teknis hukum. Ia adalah arena politik hukum yang mempertemukan nilai keadilan dengan kepentingan kekuasaan. Dalam konteks ini, teori hukum progresif ala Satjipto Rahardjo (2006) relevan untuk dijadikan landasan: hukum harus ditempatkan sebagai instrumen keadilan substantif, bukan hanya prosedural. Artinya, perampasan aset tidak boleh semata-mata tunduk pada logika formalisme hukum, melainkan harus dipandang sebagai kebutuhan etis untuk melindungi kepentingan publik dari predatorisme oligarki.

Dengan belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia seharusnya dapat merumuskan mekanisme RUU Perampasan Aset yang adaptif namun tetap menjunjung tinggi prinsip rule of law. Mekanisme safeguard, seperti adanya hakim komisaris independen, keterbukaan pengelolaan aset rampasan, dan partisipasi publik dalam pengawasan, menjadi kunci agar instrumen ini tidak jatuh menjadi alat gebuk politik. Dengan demikian, problem klasik political capture dapat diminimalisasi, sementara cita-cita keadilan dalam pemberantasan korupsi dapat lebih mendekati realisasi.

Sejarah dan Riwayat RUU Perampasan Aset di Indonesia

Gagasan mengenai perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture) di Indonesia berawal dari inisiatif Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada awal 2000-an. Yunus Husein, Ketua PPATK saat itu, menilai bahwa Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang lebih progresif untuk mengejar hasil tindak pidana, terutama korupsi dan pencucian uang, yang sering kali tidak dapat dijerat melalui mekanisme pidana konvensional (Husein, 2004). Pada 2003, ide ini mulai diperbincangkan secara serius setelah PPATK mengamati praktik negara lain, seperti Australia dan Singapura, yang sukses memanfaatkan asset forfeiture untuk menekan kejahatan finansial lintas negara.

Namun, perjalanan ide ini ke ranah legislasi nasional penuh hambatan. Sejak 2003, draf RUU Perampasan Aset sudah beberapa kali diajukan dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Catatan menunjukkan bahwa RUU ini masuk Prolegnas 2003, 2008, 2012, dan 2015, tetapi selalu gagal disahkan. Alasan utama kegagalan ini bukanlah aspek substansi teknis, melainkan resistensi politik di DPR. Hal ini memperlihatkan bagaimana regulasi yang berpotensi merugikan elit justru mengalami stagnasi institusional---sebuah gejala klasik political capture (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000).

Pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014--2019), RUU ini kembali masuk dalam agenda. Pemerintah sempat menekankan pentingnya perampasan aset sebagai pelengkap dalam kerangka pemberantasan korupsi. Namun, tarik-menarik dengan DPR kembali menjadi penghalang. Relasi eksekutif dan legislatif memperlihatkan adanya negosiasi tersembunyi: DPR cenderung mengulur waktu, sementara pemerintah tidak cukup kuat mendorong agenda ini menjadi prioritas legislasi nasional (Butt & Parsons, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun