Mohon tunggu...
Restianrick Bachsjirun
Restianrick Bachsjirun Mohon Tunggu... Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN)

Direktur Pusat Studi Politik, Hukum dan Ekonomi Nusantara (PuSPHEN), Founder Network For South-East Asian Studies (NSEAS), Ketua Umum Perhimpunan Revolusioner Nasional (PRN), Alumni Fisip Universitas Jayabaya, Jakarta, dan juga seorang Entreprenuer Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Re-imajinasi Laut Sebagai Infrastruktur Sosial dan Diplomatik

4 Juli 2025   10:16 Diperbarui: 4 Juli 2025   10:16 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Catatan Kritis Untuk Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka

Dalam sejarah peradaban Indonesia, laut bukan sekadar batas wilayah atau jalur transportasi, melainkan urat nadi kehidupan kolektif yang menghubungkan budaya, ekonomi, dan spiritualitas masyarakat. Jauh sebelum istilah "poros maritim dunia" digaungkan, masyarakat Nusantara telah menjalin relasi kompleks dan holistik dengan laut sebagai ruang hidup, ruang kosmologis, sekaligus arena diplomasi budaya. Maka, ketika kita berbicara tentang poros maritim hari ini, kita tidak hanya sedang membangun pelabuhan atau dermaga, tetapi sedang menegosiasikan kembali makna laut dalam visi masa depan bangsa.

Pendekatan pembangunan yang terlalu terfokus pada dimensi fisik---seperti tol laut, logistik pelabuhan, atau ekspor hasil laut---telah lama mengabaikan realitas bahwa laut adalah infrastruktur sosial-ekologis yang hidup dan dinamis. Masyarakat Bajo, Bugis, Mandar, hingga nelayan di Kepulauan Maluku, tidak melihat laut sebagai aset yang bisa dikapitalisasi, tetapi sebagai ruang relasi yang harus dijaga dalam etika kolektif. Dengan demikian, re-imajinasi poros maritim harus dimulai dari pengakuan terhadap laut sebagai medium sosial dan kultural, bukan sekadar objek ekonomi.

Posisi geografis Indonesia---yang membentang dari Samudra Hindia ke Pasifik Barat, dari Laut Arafura hingga Laut Natuna---menempatkan kita pada simpul strategis yang unik dalam geopolitik maritim dunia. Bahkan sebagian pemikir alternatif seperti Prof. Arysio Nunes dos Santos dalam teorinya tentang Atlantis sebagai Nusantara yang hilang, menempatkan Indonesia sebagai pusat peradaban bahari global masa lampau---tempat di mana laut bukan sekadar ruang, tapi pusat spiritual dan sains peradaban (dos Santos, 2005). Terlepas dari kontroversi arkeologisnya, narasi ini penting sebagai bahan bakar imajinasi geopolitik baru: bahwa Indonesia bukan pinggiran, melainkan poros.

Namun re-imajinasi ini harus menyentuh lebih dalam dan luas. Ada sejumlah isu krusial yang patut menjadi prioritas dalam tata kelola kelautan pemerintahan Prabowo--Gibran ke depan:

1. Ketimpangan Struktural dan Korporatisasi Laut

Selama dua dekade terakhir, program-program kelautan seperti reklamasi pesisir, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), zona industri maritim, dan eksploitasi perikanan skala besar telah membuka ruang luas bagi ekspansi korporasi nasional maupun asing. Sayangnya, dalam banyak kasus, hal ini berlangsung tanpa mekanisme perlindungan yang memadai terhadap masyarakat nelayan tradisional. Mereka yang selama berabad-abad hidup berdampingan dengan laut justru kehilangan akses terhadap wilayah tangkap, tempat budidaya, bahkan ruang spiritual mereka. Ketimpangan struktural dalam tata kelola laut bukan semata persoalan distribusi aset, tetapi juga representasi dalam pengambilan keputusan: siapa yang berbicara atas nama laut, dan siapa yang dilibatkan dalam menentukan masa depannya?

Lebih jauh, ketimpangan ini tidak hanya terjadi akibat dominasi kepentingan korporasi, tetapi juga karena tata kelola pemerintahan yang tersentralisasi secara teknokratik dan sering kali tidak transparan. Dalam banyak kasus, keputusan terkait zonasi laut, pemberian izin reklamasi, atau alih fungsi kawasan pesisir diambil oleh pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) melalui proses yang minim partisipasi publik---bahkan seringkali tanpa melibatkan pemerintahan desa pesisir yang sejatinya paling terdampak. Di sisi lain, pemerintah pusat kerap mendorong agenda ekonomi biru skala nasional tanpa sinkronisasi yang memadai dengan kebutuhan lokal dan hak-hak kolektif masyarakat pesisir. Akibatnya, ruang hidup rakyat kian sempit, sementara aktor-aktor elite daerah dan nasional memanen keuntungan dari lisensi, konsesi, dan rente politik-ekonomi.

Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang "pemerintah", penting untuk menyadari bahwa itu mencakup seluruh jenjang kekuasaan: dari desa hingga pusat. Pemerintah desa memiliki kewenangan strategis dalam pengelolaan sumber daya berbasis wilayah administratif dan sosial-budaya, terutama jika didukung dengan pengakuan formal atas wilayah kelola rakyat. Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi harus menjadikan partisipasi masyarakat pesisir sebagai syarat mutlak dalam penyusunan Perda zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Sementara itu, pemerintah pusat perlu menjalankan fungsi regulatif dan distribusionalnya untuk memastikan bahwa kepentingan rakyat kecil terlindungi dalam setiap kebijakan strategis nasional.

Maka, reformasi tata kelola laut yang berkeadilan tidak cukup hanya dengan menghentikan ekspansi korporasi atau menata ulang izin tambang laut, tetapi juga harus menciptakan kerangka multi-level governance yang berpihak kepada rakyat. Hal ini mencakup:

  • Desentralisasi kelautan yang partisipatif, di mana desa, adat, dan koperasi nelayan memiliki posisi setara dalam pengambilan keputusan;
  • Revisi regulasi zonasi laut agar memperkuat prinsip pengakuan wilayah kelola rakyat dan kawasan konservasi berbasis komunitas;
  • Transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian izin usaha kelautan, dari tingkat lokal hingga pusat;
  • serta penataan ulang relasi kuasa antara negara, pasar, dan masyarakat pesisir, agar laut tidak menjadi obyek eksploitasi elite, tetapi infrastruktur kehidupan bersama.

Dengan demikian, re-imajinasi laut yang digagas tidak akan terjebak dalam retorika pusat semata, tetapi menjadi agenda transformasi struktural dari bawah---dari masyarakat desa pesisir, nelayan tradisional, hingga pengambil kebijakan nasional.

2. Kedaulatan Data Maritim dan Digitalisasi Laut

Di era revolusi digital dan ekonomi berbasis data, kedaulatan suatu negara tidak lagi hanya ditentukan oleh penguasaan wilayah teritorial atau kekuatan militernya, tetapi juga oleh kemampuannya mengelola dan mengendalikan arus data strategis---termasuk data kelautan. Laut sebagai ruang geografis yang luas dan kompleks menyimpan bukan hanya kekayaan alam dan biodiversitas, tetapi juga data-data ekologis, geologis, meteorologis, hingga hidro-akustik yang sangat bernilai tinggi dalam skenario global: dari navigasi logistik, perencanaan pertahanan, riset iklim, hingga eksplorasi energi dan mineral laut dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun