Oleh: Resi Is Junanda
Di tengah kepadatan ruko tua dan pasar yang tak lagi riuh, berdiri sebuah bangunan sekarat: bekas Bioskop Garuda di Pasar Dekon, Kotabumi, Lampung Utara. Dindingnya retak, atapnya bocor, catnya mengelupas seperti luka yang tak sempat sembuh. Tak ada papan nama, tak ada tanda kebanggaan. Hanya puing-puing masa lalu yang menunggu ajal.
Ya, namanya Bioskop Garuda. Bukan sekadar tempat menonton film, tapi simbol sebuah era ketika hiburan tak harus datang dari Jakarta. Garuda berdiri sejak akhir 1970-an, didirikan oleh pengusaha lokal bernama H. Suroso, seorang penggemar film yang percaya bahwa anak-anak dusun juga berhak mengenal dunia lewat layar lebar. Kala itu, Garuda tergabung dalam jaringan bioskop independen yang menjamur di berbagai kota kecil Indonesia sebelum jaringan XXI dan Blitz merebut panggung.
Bagi mereka yang hidup di era 80 sampai awal 2000-an, Bioskop Garuda adalah tempat dunia terasa lebih besar dari sekadar ladang dan jalanan berdebu. Tempat layar perak membawa cahaya ke malam-malam gelap Kotabumi. Tempat anak-anak mengenal cinta pertama, dan orang tua tertawa dalam gelap meski hidup tengah sulit.
Kini, bangunan itu berubah menjadi makam. Sepi. Dingin. Tak terurus. Dan yang paling menyakitkan, bahkan akan segera dirubuhkan atas nama “revitalisasi.”
Tempat Segalanya Dimulai
Dulu, Bioskop Garuda adalah jantung hiburan rakyat. Setiap malam Minggu, antrian mengular di depan loket kayu bercat putih yang kini hanya tersisa rangka. Orang-orang berdandan rapi, bahkan memakai minyak rambut dan parfum murahan demi duduk di bangku kayu panjang yang tak pernah empuk. Film India, laga Mandarin, horor Indonesia, hingga drama remaja—semua punya tempat di hati penonton Kotabumi.
“Dulu saya ajak istri saya pacaran pertama kali ya di bioskop itu,” kenang Pak Nasir, seorang pensiunan guru SD yang kini berjualan es campur di tepi pasar. “Dia duduk malu-malu, saya pegang tangannya pertama kali pas nonton Kuch Kuch Hota Hai. Rasanya... ya Allah, dunia serasa berhenti.”
Garuda bukan hanya ruang tontonan. Ia ruang perasaan. Ruang pelarian dari kerasnya hidup. Di sana, petani lupa soal gagal panen. Buruh pasar lupa soal cicilan. Anak-anak lupa soal PR. Semua hanyut dalam cahaya yang menari di layar.
Tiba-Tiba Gelap, Tanpa Salam Perpisahan
Namun seperti semua yang tak diberi ruang untuk bertahan, Garuda perlahan sekarat. Masuk awal 2000-an, televisi parabola mulai menguasai. Kemudian datang VCD bajakan, lalu warnet, lalu YouTube. Layar besar itu tak lagi dicari.