Mohon tunggu...
Resi Junanda
Resi Junanda Mohon Tunggu... Penulis

Jurnalisme bukan sekadar menyampaikan berita—melainkan memperjuangkan kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Mari Kita Ingat Lagi: Bioskop Garuda yang Pernah Hidup di Pasar Dekon Kotabumi

1 Agustus 2025   20:07 Diperbarui: 3 Agustus 2025   20:36 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bioskop Garuda di Pasar Dekon Kotabumi yang kini terbengkalai dan akan dilenyapkan. aset pribadi

Oleh: Resi Is Junanda

Di tengah kepadatan ruko tua dan pasar yang tak lagi riuh, berdiri sebuah bangunan sekarat: bekas Bioskop Garuda di Pasar Dekon, Kotabumi, Lampung Utara. Dindingnya retak, atapnya bocor, catnya mengelupas seperti luka yang tak sempat sembuh. Tak ada papan nama, tak ada tanda kebanggaan. Hanya puing-puing masa lalu yang menunggu ajal.

Ya, namanya Bioskop Garuda. Bukan sekadar tempat menonton film, tapi simbol sebuah era ketika hiburan tak harus datang dari Jakarta. Garuda berdiri sejak akhir 1970-an, didirikan oleh pengusaha lokal bernama H. Suroso, seorang penggemar film yang percaya bahwa anak-anak dusun juga berhak mengenal dunia lewat layar lebar. Kala itu, Garuda tergabung dalam jaringan bioskop independen yang menjamur di berbagai kota kecil Indonesia sebelum jaringan XXI dan Blitz merebut panggung.

Bagi mereka yang hidup di era 80 sampai awal 2000-an, Bioskop Garuda adalah tempat dunia terasa lebih besar dari sekadar ladang dan jalanan berdebu. Tempat layar perak membawa cahaya ke malam-malam gelap Kotabumi. Tempat anak-anak mengenal cinta pertama, dan orang tua tertawa dalam gelap meski hidup tengah sulit.

Kini, bangunan itu berubah menjadi makam. Sepi. Dingin. Tak terurus. Dan yang paling menyakitkan, bahkan akan segera dirubuhkan atas nama “revitalisasi.”

Tempat Segalanya Dimulai

Dulu, Bioskop Garuda adalah jantung hiburan rakyat. Setiap malam Minggu, antrian mengular di depan loket kayu bercat putih yang kini hanya tersisa rangka. Orang-orang berdandan rapi, bahkan memakai minyak rambut dan parfum murahan demi duduk di bangku kayu panjang yang tak pernah empuk. Film India, laga Mandarin, horor Indonesia, hingga drama remaja—semua punya tempat di hati penonton Kotabumi.

“Dulu saya ajak istri saya pacaran pertama kali ya di bioskop itu,” kenang Pak Nasir, seorang pensiunan guru SD yang kini berjualan es campur di tepi pasar. “Dia duduk malu-malu, saya pegang tangannya pertama kali pas nonton Kuch Kuch Hota Hai. Rasanya... ya Allah, dunia serasa berhenti.”

Garuda bukan hanya ruang tontonan. Ia ruang perasaan. Ruang pelarian dari kerasnya hidup. Di sana, petani lupa soal gagal panen. Buruh pasar lupa soal cicilan. Anak-anak lupa soal PR. Semua hanyut dalam cahaya yang menari di layar.

Tiba-Tiba Gelap, Tanpa Salam Perpisahan

Namun seperti semua yang tak diberi ruang untuk bertahan, Garuda perlahan sekarat. Masuk awal 2000-an, televisi parabola mulai menguasai. Kemudian datang VCD bajakan, lalu warnet, lalu YouTube. Layar besar itu tak lagi dicari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun