Begitu sederhana menjalaninya hingga saat masuk dibangku sekolah dasar (SD), Ia mulai mengenal bnyak teman dan lingkungan baru, belajar meski tertatih-tatih berjalan dari rumah sampai sekolah dengan jarak yang jauh, dengan penuh semangat Ia mencari ilmu meski hanya menggunakan tas plastik dan beralaskan sandal jepit namun tidak menghalanginya untuk belajar, dengan rasa semangat mengalahkan semua cibiran atau ledekan dari teman-temannya, tidak sedikit pula yang simpatik kepadanya dengan berbagi makanan dan mengajaknya bermain, hingga tahun demi tahun dilewatinya dengan baik, berprestasi di sekolah mendapat beasiswa hingga dapat melanjutkan di sekolah menengah pertama (SMP).
Di sekolah yang baru dan suasana yang baru, Ulis mulai beradaptasi dengan kesederhanaan dan didikan Orang tua yang tetap Ia pertahankan sejak duduk dibangku sekolah dasar, namun di sekolah yang baru tidak semulus itu, teman-temannya semakin banyak yang mengucilkan mengolok-olok bahkan menganggap rendah si Ulis kecil, namun dengan kekokohan hati untuk belajar dengan rasa beribadah pula Ia tetap semangat, prestasi akdemik ataupun non akademiknya terus dipertahankan hingga teman-teman yang tidak suka dengannya merasa malu akan perbuatannya yang sudah tidak sepantasnya terhadap si Ulis anak yang terlahir di keluarga yang berlatar belakang serba kekurangan namun dapat berprestasi dan mempertahankan jati dirinya, itu semua tidak luput dari peran ke dua orang tuanya yang selalu memperhatikan tumbuh kembangnya dengan membekali ilmu agama sebagai dasar utama manusia hidup, dengan kesederhanaan dan kemandirian Ulis tumbuh sebagai rmaja yang matang.
Setelah 3 tahun berlalu Ia melanjutkan Sekolahnya ke bangku SMK (sekolah menengah kejuruan) dengan pandangan agar setelah lulus dapat langsung bekerja dan membantu perekonomian keluarga, Ulis mengambil program keahlian Akuntansi sesuai dengan perminatannya yang direkomendasikan dari guru BK (Bimbingan Konseling) waktu di bangku sekolah menengah pertama, waktu demi waktu berlalu kala itu hal-hal yang sama terjadi (Olokan, cibiran, dikucilkan dll) sudah menjadi teman hidupnya, hingga saat hal baru Ia temui yaitu sosok pemuda yang Ia kagumi namun rasa itu belum pernah dirasakannya hanya diam dan rasa malu ketika berpapasan dengannya.
Hal serupa juga mungkin dirasakan oleh pemuda itu (Rere) hingga tiba saatnya Rere memberanikan diri untuk berkenalan dan berteman dengan Ulis gadis lugu yang belum mengenal apa arti cinta, hari berlalu sangat cepat, tepat saat jam pelajaran selesai "kring...kring...kring.." Rere menghampiri Ulis untuk mengajak pulang bersama dan Ulis anggukan kepalanya begitu saja.., dengan rasa nyaman mereka berdua berjalan, saling bercerita dan saling mengenal satu antara yang lain..dan sampailah mereka dirumah ulis, terlihat ibu sedang berada diteras sedang memetik hasil kebunnya,Â
Ulis : "Assalamualaikum ibu..(sembari mencium tangan bersalaman)
Ibu  : " Wa'alaikumsalam nak.., kamu sudah pulang? (lanjut bertanya) dengan siapa nak?
Ulis : " Iya bu..ini teman ulis bu..
Ibu  : " (dengan senyum lelah menyapa) silahkan duduk nak..ibu bikinkan minuman dulu..
dengan keakraban dan canda tawa kecil mengiringi obrolan ringan mereka hingga tidak terasa waktu sudah sore, tiba waktunya Rere berpamitan dan bergegas pulang, Waktu berlalu hari demi hari hampir menjadi rutinitas bersama Rere pemuda yang pertama kali Ia kenal dengan rasa nyaman itu, sampai pada saatnya Rere menyatakan perasaannya kepada ulis, dengan penuh kebingungan, senang, berdebar-debar dan rasa campur aduk yang Ia rasakan akhirnya ulis memutuskan untuk menerimanya sebagai pacar setelah seminggu Ia pikirkan matang-matang.
Seiring  berjalannya waktu hubungan itu semakin dekat hingga membuat ada perubahan yang cukup drastis di kehidupan si Ulis, anak yang begitu taat beribadah, lugu, tepat waktu, jujur dan tampil sederhana itu kini semakin berubah semenjak kehadiran sosok pacar di kehidupannya, Ulis kian hari pulangnya semakin sore dengan alasan belajar kelompok dll, kesedihan pun tersirat jelas di raut wajah ibu yang semakin menua...
Bersambung...