Mohon tunggu...
Raina Widy
Raina Widy Mohon Tunggu... Guru -

Terbuka dengan perbedaan pendapat rainawidy@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diary Guru: Cantik Saja Tak Cukup

19 Desember 2017   18:32 Diperbarui: 19 Desember 2017   21:12 1700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgflip.com/i/aavjm

Seorang driver ojek online mengatakan kalau dia bersemangat sekali masuk sekolah jika gurunya cantik setelah tahu pekerjaan saya. Nyatanya, guru-guru cantik malah lebih banyak yang 'kalah' dan akhirnya menangis sebagai tumpahan segala perasaan yang tak terwakilkan lagi dengan kata-kata #eh.

Namun, ada satu guru yang menjadi catatan penting bagi saya pribadi. Bu Guru cantik ini guru baru yang juga baru lulus kuliah. Saya paham betul rasanya menjadi guru baru yang langsung dihadapkan dengan kenyataan kelas yang dipimpin ternyata tak seelok kelas Upin, Ipin dan kawan-kawan. Di situlah galau tak berkesudahan terjadi, tetap masuk kelas atau mundur teratur.

Dari dulu ketika saya masih sekolah, kemudian menjalani Program Pengalaman Lapangan (PPL) hingga sekarang saat sudah menjadi bagian dari lingkungan sekolah, cerita Bu Guru cantik yang menangis sudah sering saya lihat.

Saya kira menangis bagi banyak perempuan memang adalah senjata ampuh tapi untuk menghadapi anak-anak didik di kelas terutama remaja, cantik dan menangis ternyata tidak cukup... Hiks...

Bukannya simpatik melihat Bu Guru cantik menangis, mereka malah tambah jadi. Bagi saya pribadi daripada menangis lebih baik saya marah atau diam. Pilihan yang sama saja tidak menyenangkan apalagi bel tanda habis pelajaran masih lama. Saya mensugesti diri saya sendiri bahwa nangis di kelas karena kenakalan siswa hanya buang-buang waktu dan menghabiskan energi. Jadi lapar.

Balik lagi ke Bu Guru baru tadi. Saya suka suara lantangnya, menggema ke seluruh ruangan. Suara yang lantang termasuk modal utama dalam mengajar karena suara lembut akan tenggelam di tengah keriuhan kelas. 

Hari itu materi yang dia sampaikan adalah Biografi. Ketika mengajar, dia menyuruh anak-anak mencatat. Saya bingung apa yang mau dicatat sementara dia tidak menulis apapun di papan tulis. "Pokoknya Catetttt!, Catettttt!"

Dia kemudian membuka HP dengan lantangnya mulai mendikte. Anak-anak pun segera mencatat, beberapa anak diam saja karena tidak membawa pena. Duh masalah pena ini setiap hari tidak tahu rimbanya.

Sedangkan buku yang mestinya sebagai penunjang belajar malah belum ada. Biasanya juga buku sekarang adalah buku pinjaman dari pemerintah. Setelah selesai belajar, buku-bukunya harus dikembalikan. 

Agak lucu sebenarnya di tengah usaha pemerintah mendorong gerakan literasi tapi buku pelajaran sekolah saja hanya dipinjamkan sebentar. Walaupun dalam smartphone apa-apa ada, peran buku tetaplah penting. Tidak semua siswa pula mampu membeli gadget. 

"Kenapa tidak ditulis saja daripada didekte?," Dia menjawab dengan putus asa bahwa kemampuan siswa siswi ini rendah dan minat belajar mereka kurang jadi percuma saja dijelaskan. Lho, lebih percuma lagi jika tidak dijelaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun