Pada bulan September lalu sempat terjadi kerusuhan di Wamena, Papua. Akibat dari kerusuhan tersebut beberapa fasilitas umum, rumah warga, sejumlah bangunan termasuk kantor bupati menjadi sasaran amukan massa. Bahkan terjadi korban jiwa sebanyak 33 orang. Sehingga banyak warga yang mengungsi ke kantor polisi-TNI bahkan keluar Papua karena takut terkena dampak dari massa yang rusuh.
Dengan adanya konflik tersebut beberapa pihak mendesak pemerintah khususnya bapak presiden Jokowi untuk segera menangani konflik yang terjadi di Wamena. Beberapa langkah telah dilakukan oleh Jokowi, seperti memberikan bantuan kepada warga, melakukan pembangunan pada fasilitas yang rusak, mengutus beberapa Menteri dan TNI-Polri, serta mengundang tokoh Papua ke istana negara.
Hal-hal tersebut dilakukan dengan harapan agar Wamena kembali pulih dan tidak terjadi kerusuhan kembali yang tentunya dapat merugikan banyak pihak.
Fenomena konflik di Wamena ini tentunya menarik untuk didiskusikan dan dikaji lebih lanjut menggunakan berbagai sudut pandang. Namun kali ini penulis lebih berfokus pada bagaimana sikap atau peran Jokowi sebagai presiden dalam mengatasi konflik di Wamena dari sudut pandang psikologi politik.
Psikologi politik adalah kajian ilmu yang mempelajari tentang karakteristik, perilaku, dan fenomena pikiran manusia yang berkaitan dengan persoalan-persoalan atau isu-isu seputar perpolitikan. Dengan adanya konflik di Wamena tentunya tidak dapat terlepas dari perhatian presiden sebagai pemimpin negara. Dan sebagai seorang pemimpin pasti perlu mempertimbangkan berbagai hal terlebih dahulu agar langkah yang diambil tepat dan berhasil.
Oleh karena itu, hal inilah yang menandakan bahwa aspek afeksi dan emosi tidak dapat terpisahkan. Karena afeksi dan emosi sangat mempengaruhi pemrosesan informasi, pengambilan keputusan, dan mempengaruhi perilaku yang akan diambil selanjutnya. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Isen (1993) mengatakan bahwa afeksi dan emosi positif berpengaruh baik dalam pemecahan masalah, negosiasi, dan pengambilan keputusan.
Jokowi sebagai presiden telah mendapatkan informasi dan memproses informasi tersebut sebelum akhirnya membuat keputusan. Terdapat langkah-langkah yang dijalani seseorang dalam memproses informasi (Anderson, 1983; Brewer, 1988; Fiske & Pavelchak, 1986; Graber, 1984)
- Informasi diterima, dan skema yang sesuai disiapkan.
- Informasi tersebut dicocokkan dengan struktur pengetahuan dan simpul-simpul yang sesuai.
- Informasi tersebut dinilai dan disimpan dalam ingatan.
- Evaluasi tersebut ditarik dari ingatan ketika seseorang diminta untuk membuat keputusan tentang tindakan politiknya.
Keputusan yang diambil seperti melakukan pertemuan dengan tokoh Papua dan mengirim beberapa menteri yang ditemani oleh Panglima TNI dan Kapolri dirasa belum cukup. Hal tersebut memang akan membuat individu takut dan patuh terhadap pemerintah, sesuai dengan teori ketaatan yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan perintah yang diberikannya.
Namun itu bukanlah akar dari permasalahan yang sebenarnya, masih banyak hal yang harus diperhatikan seperti status politik dan sejarah, marjinalisasi dan diskriminasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan, serta kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Permasalahan tersebut harus segera diselesaikan sehingga nantinya konflik di Wamena ini dapat teratasi dengan adil dan merata tanpa merugikan salah satu pihak.
Sumber Referensi :Â
Cottam, M., Dietz-Uhler, B., Mastors, E., & Preston, T. (2004). Introduction to political psychology. Mahwah, NJ, US: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.