Mohon tunggu...
Renovan Nache
Renovan Nache Mohon Tunggu... Hoteliers - Certified BNSP Trainer

Seorang pemimpi yang saat ini sedang mengambil Magister Pendidikan demi meneruskan cita-cita Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman adalah Guru Terbaik

4 Desember 2022   15:25 Diperbarui: 4 Desember 2022   20:42 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buntel (Buncis telur), nasi, Tahu telur/dokpri

Menurut John Dewey, salah satu filsuf Amerika ternama "...all genuine learning comes from experience..." 

Beliau menjadi pemikir yang merubah sistem pendidikan multikultural di Amerika Serikat yang pada awalnya mengutamakan asimilasi menjadi perilaku sosial dengan system demokrasi dan toleransi sekaligus salah satu pelopor dalam menciptakan pengajaran yang kontekstual di dalam kelas. 

Pemikiran-pemikiran John Dewey inilah yang memiliki implikasi yang cukup signifikan untuk pragmatisme, yang mana eksperientalisme adalah salah satu buah pemikiran pramagtismenya. 

Beliau beranggapan bahwa segala sesuatunya di dunia ini memiliki sifat selalu berubah oleh sebab itu pemikirannya dinamakan sebagai perubahan dan Ia menjadikan pertumbuhan manusia sebagai tujuan dari Pendidikan. 

Pemikiran pramagtismenya ini menjadi salah satu cikal bakal penyelenggaraan Pendidikan masal kala itu. Salah satu prinsip teori Dewey adalah learning by doing, yang akan saya ceritakan sedikit tentang pengalaman saya belajar sambil melakukannya.

Sewaktu pandemi merebak di awal tahun 2020, satu hal yang rasa tidak akan pernah terbersit dalam pikiran saya waktu itu adalah belajar memasak. Pemikiran sempit saya waktu itu menganggap memasak adalah gender life skill, ternyata saya salah, memasak adalah salah satu basic life skill. 

Untung saja saat itu saya baru menonton konten di platform digital tentang Stoicism atau stoikisme yaitu aliran filsafat yang membantu kita mengontrol emosi negatif dan mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki sekarang atau biasa kita dengar dengan ungkapan "hope for the best but prepare for the worst." Sehingga sewaktu atasan saya menghubungi bahwa kemungkinan besar saya akan dirumahkan, saya sudah siap. Lebih ke siap untuk tidak bekerja lagi dan siap mencari pekerjaan baru.

Dalam keadaan dirumahkan selama 4 bulan dan penghasilan hanya dibayarkan 25% saja kala itu, saya terpaksa belajar memasak melalui salah satu konten di salah satu platform digital untuk mengisi yang sejengkal ini (baca: perut). 

Dengan hanya berbekal peralatan masak sederhana dan bahan masak seadanya, hasil masakan saya pertama kali adalah buntel (buncis telur) dan tahu telur (bersyukur akhirnya keahlian masak saya bertambah dari yang dulu hanya bisa  masak air, nasi, mi instan dan goreng telur hehe...). Dari hari ke hari, jenis masakan bertambah menjadi bolu pisang, bakwan bahkan roti sandwich. Tentu saja hasil masakan, saya bagikan juga dengan pasangan suami-istri penjaga kos. Walaupun bentukannya kurang menarik tapi rasanya oke kok, seperti yang terilhat dalam gambar. Well, nothing is perfect. Practices makes permanent and perfection is a journey.

Sandwich ala-ala/dokpri
Sandwich ala-ala/dokpri
Ayam goreng ala resto siap saji dan sayur bayam jamur/dokpri
Ayam goreng ala resto siap saji dan sayur bayam jamur/dokpri

dokpri
dokpri

Biasanya persiapan biasanya dimulai dari menyiapkan bahan masak, memasak sampai menghidangkan total memakan waktu 1 jam 45 menit, dan durasi makannya hanya 10-115 menit saja. Yang repot tentu saja kegiatan mencuci piring di akhir (yang dalam perjalanannya saya belajar untuk segera mencuci alat masak yang sudah digunakan supaya tidak menumpuk di akhir). 

Setelah dipikir-pikir, kegiatan potong memotong ini bisa lebih efektif dengan hadirnya bumbu bubuk (tapi tentu rasanya beda ya dengan bumbu asli). Atau bahan masak yang sudah dipotong dan diporsi, disimpan didalam freezer untuk mempertahankan kesegarannya. 

Dari sinilah saya belajar juga tentang food preparing, yang mana intinya dari kegiatan ini adalah memisahkan bahan masak yang sudah dicuci mulai dari protein, bumbu dasar maupun garnish sehingga nanti tiba waktunya untuk masak, tidak perlu repot untuk menyiapkannya, tinggal cemplung-cemplung saja.

Dan berbekal pengalaman itu, saya bisa menghemat pengeluaran saya karena hanya menghabiskan biaya makan sebesar Rp600.000-an per bulannya. Tentu saja ini diluar biaya sewa kamar bulanan ya. Dulunya, dengan harga segitu, ini adalah biaya saya sekali nongkrong di salah satu restoran fancy Kawasan SCBD.

Dan sekarang, sungguh sulit untuk mempertahankan kebiasaan makan di rumah ini, apalagi dengan gempuran promo-promo menggiurkan dari aplikasi penyedia makanan siap saji serta minuman kekinian. Tapi harus bisa! Karena hidup di Jakarta harus menganut konsep Modis (Modal Diskon) supaya bisa survive, nabung dan healing hehe... Tapi, apapun itu, memasak mengajarkan saya pelajaran hidup yang berharga tentang kesabaran. Karena basic life skill yang satu ini harus dipelajari agar kemampuan ini suatu saat nanti mungkin akan menyelamatkan Anda atau membuat hidup Anda lebih panjang dan sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun