Mohon tunggu...
Reno Maratur Munthe
Reno Maratur Munthe Mohon Tunggu... Penulis - Reno

Munthe Strategic and International Studies (MSIS)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020 Dalam Perspektif Stufen-Theory

15 Desember 2021   03:03 Diperbarui: 15 Desember 2021   03:09 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo: corporatefinanceinstitute.com

Stufen theory yakni piramida aturan yang berjenjang dan mengerucut pada sebuah ideologi atau norma dasar yang tertinggi yang dipakai sebagai sebuah nilai bagi aturan yang lahir di bawahnya bila dikaitkan pada lahirnya putusan MKRI No.91/PUU-XVIII/2020 dapat dilihat tidak dijalankan oleh pemerintah dan DPR sebagai peyelenggara negara yang bertugas membuat undang-undang. 

Disini terlihat bagaimana pembuat UU seolah mengeyampingkan banyak hal serta bertentangan dengan norma-norma dasar yang ada pada nilai Pancasila. Padahal hal ini sangatlah tidak baik dan benar mengingat seluruh bentuk peraturan perundang-undangan haruslah menrujuk pada norma dasar yakni Pancasila sebagai nilai yang dikandung bangsa ini bisa bertahan hingga sekarang. 

Dari beberapa pasal pada Pancasila, banyak sekali ditemukan bertentangan dengan UUCK dan hal itu sangatlah tidak mencerminkan banyak aspek seperti diantaranya keadilan sosial di masyarakat sesuai Pasal Kelima seta kemanusiaan yang adil dan beradab sesuai Pasal Kedua. Oleh sebab itulah, pembuat UU seharusnya merevisi UUCK tersebut menjadi lebih baik sesuai amar putusan dari hakim MK tersebut.

Dengan juga mengingat pada tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan "...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dapat dilihat juga pertimbangan dalam konsiderans UU Ciptaker dan Penjelasan UU a quo dalam tahapan 430 dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis untuk mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya melihat dan menemukan terdapat 16 pasal dalam PP No.18 Tahun 2021 bersifat inkonsisten baik secara internal dan vertikal. Beberapa pasal yang bersifat inkonsisten internal atau dapat menimbulkan perbedaan tafsir yaitu dasar kewenangan pemegang hak pengelolaan (HPL) untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi kepentingan dirinya sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b PP.

Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b PP No.18 Tahun 2021 mengatur kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL sudah inheren terkandung dalam HPL itu sendiri atau tidak perlu alas kewenangan lain.

Tapi, Pasal 8 ayat (1) huruf a PP ini menyebut kewenangan memanfaatkan tanah bagi kepentingan pemegang HPL dapat diberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai Dengan Jangka Waktu (HPJW) diatas HPL sesuai sifat dan fungsinnya kepada pemegang HPL. Disnilah saya melihat terdapat logika hukum yang tidak benar.

Terdapat juga logika hukum yang berlawanan ditemukan dalam Pasal 46 huruf b angka 2 dan Pasal 61 huruf b angka 2 yakni dihapusnya HGB dan HPJW di atas tanah Hak Milik berdasarkan pembatalan hak tersebut oleh Menteri ATR/BPN. Padahal seharusnya HGB dan HPJW di atas tanah yang memiliki status Hak Milik lahir dari perjanjian, sehingga yang berhak membatalkan perjanjian adalah para pihak atau putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde.

Inkonsistensi vertikal antara lain terlihat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PP 18/2021 yang bertentangan dengan Pasal 137 ayat (1) dan (3) UU Cipta Kerja dan Pasal 3 UU Pokok Agraria. Pasal 4 dan Pasal 5 PP ini mengatur asal tanah yang dapat diberikan untuk HPL selain tanah negara, juga tanah ulayat yang hanya dapat diberikan kepada masyarakat hukum adat (MHA).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun