Dalam kesibukan keseharian, kita selalu diingatkan untuk rutin minum delapan gelas sehari, bukan? Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah kesibukan tersebut, kita pandangi segelas air yang hanya terisi separuh? Dalam momen tersebut, apa yang kita renungkan: apakah gelas tersebut setengah isi atau setengah kosong? Sebuah pertanyaan sederhana, bahkan klise. Sebuah pertanyaan yang sering terabaikan. Namun, justru karena kesederhanaannya, ia kerap luput dari perenungan yang lebih dalam. Padahal, bila direnungkan lebih jauh, di balik kesederhanaan pertanyaan tersebut, kita dapat belajar refleksi penting tentang bagaimana kita memandang hidup.
Menariknya, cara kita menjawab pertanyaan itu seringkali bukan sekadar soal logika. Ada begitu banyak bias pribadi yang memengaruhi bagaimana kita memaknai gelas itu---dari pengalaman, kepribadian, hingga budaya yang membentuk kita. Gelas setengah isi kerap diasosiasikan dengan optimisme, sementara gelas setengah kosong melambangkan pesimisme. Namun, hidup tidaklah sesederhana dikotomi tersebut. Ada pula 'ruang' di antara keduanya, sebuah area yang beberapa orang menyebut "optimisme realistis"---cara pandang yang mampu mengakui keterbatasan tanpa kehilangan harapan.
Â
Mari kita mulai dari sisi yang mungkin paling akrab: Optimisme. Bagaimana sebetulnya cara pandang ini membentuk cara kita membaca kehidupan? Optimisme bukanlah sekadar sikap positif kosong. Ia adalah keyakinan akan kemungkinan baik di masa depan tanpa mengabaikan keyakinan saat ini. Martin Seligman, dalam karyanya Learned Optimism, menegaskan bahwa optimisme dapat dipelajari---ia bukan bawaan lahir. Dengan membiasakan diri mengapresiasi apa yang telah ada, seseorang bisa membangun daya tahan yang lebih kuat menghadapi tekanan hidup. Di sinilah salah satu ujung spektrum itu terbentuk---memandang gelas sebagai setengah isi bukan berati menutup mata terhadap kekosongan, melainkan memilih untuk menghargai isi yang sudah ada.
Tidak heran bila dalam kehidupan kita, para optimis ini cenderung melihat dunia sebagai ruang penuh kemungkinan. Mereka cenderung fokus pada peluang, bukan keterbatasan. Dalam risetnya, Christopher Peterson---seorang tokoh utama psikologi positif---menunjukkan bahwa orang optimis lebih mampu bertahan dalam situasi sulit karena mereka memaknai tantangan sebagai bagian dari proses menuju pertumbuhan. Pandangan ini bukan berarti menutupi kekurangan. Justru, dengan menghargai apa yang ada, kita menumbukan rasa syukur---yang dalam banyak penelitian terbukti berkontribusi besar terhadap kesehatan mental. Namun, dibalik kekuatan optimisme, kita juga perlu mengakui bahwa semua situasi dapat dihadapi hanya dengan keyakinan positif semata. Ada kalanya, sikap kritis bahkan pesimis justru membantu kita membaca realitas dengan lebih jernih.
Selanjutnya, mari tengok bahas sisi lain dari spektrum ini: pesimisme. Ada kalanya, melihat gelas sebagai setengah kosong membuat kita lebih waspada. Carver dan Scheier, dalam kajian tentang dispositional optimism, menunjukkan bahwa pesimisme fungsional dapat membantu seseorang membuat perencanaan lebih matang, menganalisis risiko, dan menghindari overconfidence. Karena itulah, dalam menghadapi hidup, kadang kita memang perlu tahu kapan melihat isi, dan kapan mengakui kekosongan yang ada.
Dalam praktiknya, pesimisme yang sehat justru dapat menjadi bekal penting dalam menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian. Misalnya dalam pengambilan keputusan strategis, kemampuan melihat apa yang masih kurang justru membantu kita bersiap lebih baik. Dunia ini penuh ketidakpastian dan tidak selalu ramah bagi mereka yang mengandalkan harapan tanpa mitigasi risiko. Jadi, pesimisme bukanlah sekadar "berpikiran negatif". Ia adalah alarm alami dalam diri manusia yang mendorong kehati-hatian. Selama ditempatkan dalam porsi yang tepat, pesimisme dapat menjadi kawan, bukan musuh. Yang terpenting barangkali bukan memilih di antara keduanya, melainkan tahu kapan pesimisme perlu diberi ruang dan kapan ia cukup disandingkan dengan harapan.
Di sinilah letak keindahan berpikir reflektif---bahwa kita memang tidak harus memilih salah satu ekstrem. Schneider, dalam bukunya, memperkenalkan konsep realistic optimism---kemampuan untuk mengakui keterbatasan sambil tetap memelihara harapan. Orang dengan pandangan ini mampu melihat bahwa gelas itu memang belum penuh, namun, bagian yang sudah terisi pun patut diapresiasi, bahkan jika sebagian di antaranya telah kita nikmati. Sadar bahwa kenikmatan itu pun bagian dari perjalanan, bukan alasan untuk meratapi kekurangan yang tersisa. Mengadopsi pandangan seperti dapat membuat kita lebih adaptif dalam menghadapi kompleksitas dunia modern. Kita tetap berusaha tanpa menutup mata terhadap risiko. Kita dapat menjaga semangat tanpa mengabaikan tantangan yang nyata. Dengan kata lain, kita belajar hidup berdampingan dengan ketidakpastian.
Pertanyaan yang tersisa adalah: bagaimana kita ingin melihat gelas hidup kita sendiri? Â Mungkin pada saat-saat tertentu, kita butuh lebih banyak optimisme---agar tetap melangkah di tengah keterbatasan. Di waktu lain, pesimisme yang sehat membantu kita tetap berpijak di bumi. Fleksibilitas berpikir inilah yang membuat kita manusia. Hidup bukan tentang selalu positif atau selalu kritis. Hidup adalah tentang menyadari kapan harus menghargai isi yang ada dan kapan harus mengakui kekosongan yang perlu diisi. Maka, mungkin yang terpenting bukan memilih antara optimisme atau pesimisme, melainkan belajar menari di antara keduanya---dengan penuh kesadaran dan kelegaan.
Dalam perjalanan hidup, gelas kita akan selalu setengah isi dan setengah kosong---berubah-ubah seiring pengalaman dan fase kehidupan. Yang terpenting adalah kesadaran kita dalam memilih bagaimana memaknai keduanya. Sebab cara kita memandang gelas itu, seringkali menentukan bagaimana kita melangkah ke depan. Maka, saat Anda kembali menatap gelas di meja kerja, di kafe, atau di rumah---cobalah berhenti sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: apa yang saya lihat hari ini? Setengah isi, setengah kosong, atau keduanya? Jawaban Anda mungkin akan memberi cermin yang jujur tentang cara Anda menjalani hidup. Siapa tahu---esok hari, cara Anda memandang gelas itu pun bisa berubah, seiring langkah yang Anda pilih.
References:
- Martin Seligman, 1990, Learned Optimism: How to Change Your Mind and Your Life, New York: Vintage.
- Christopher Peterson, The Future of Optimism, 2000, American Psychologist, 55(1), 2000, 44---55. DOI: 10.1037/0003-066X.55.1.44
- Charles S. Carver & Michael F. Scheier, Dispositional Optimism and Physical Health: A Long Look Back, A Quick Look Forward, Am Psychol, 73(9), 2014, 1082---1094. doi: 10.1037/amp0000384
- Sandra Schneider, In Search Of Realistic Optimism: Meaning, Knowledge, and Warm Fuzziness, American Psychologist, 56(3), 2001, 250---63.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI