Ada masa saat saya terlalu sibuk mengejar arah yang tampak benar di mata banyak orang---karir, pencapaian, dan validasi. Semua seolah masuk akal, sampai saya bertemu dengan sekelompok orang yang tidak pernah banyak bicara, tetapi justru memberikan diam-diam mengajarkan cara pandang lain tentang hidup. Mereka tidak memberikan nasihat panjang, juga tidak sibuk menasihati. Tapi dari ketenangan sikap mereka, dari cara mereka mendengarkan dunia, saya seperti mendapat a-ha moment: bahwa arah hidup tidak selalu ditentukan dari luar, melainkan dari dalam. Sejak saat itu, saya mulai mendengarkan sesuatu yang selama ini sering saya abaikan---suara batin saya sendiri.
Kesadaran itu pelan-pelan mengubah cara saya melihat pencarian. Dulu saya mengira bahwa pencarian adalah soal menjelajah sejauh mungkin. Namun, pengalaman perlahan mengajarkan bahwa yang jauh belum tentu mendalam. Saya mulai belajar melihat---bukan sekadar mencari. Melihat ke dalam, mendengarkan tanya-tanya yang selama ini dibungkam oleh rutinitas dan ambisi. Dari orang-orang yang hidupnya sunyi tapi sarat makna, saya belajar bahwa gagasan bukan untuk diburu, melainkan ditumbuhkan. Dan bahwa intuisi bukan kelemahan, melainkan bentuk paling murni dari kebijaksanaan---yang tumbuh dari luka, pengalaman, dan pengamatan.
Tapi perjalanan ke dalam diri tidak selalu tenang. Ada pula masa ketika saya benar-benar merasa lelah. Bukan karena pekerjaan, melainkan karena hilangnya arah. Di situlah, diam menjadi ruang belajar. Saya tidak lagi memaksakan makna, tetapi membiarkan hidup berbicara. Dan justru dalam keheningan itu, saya mulai menyadari: bahwa ketergesaan seringkali menjauhkan saya dari diri saya sendiri.
Dari pengalaman-pengalaman kecil---obrolan ringan ataupun sekadar pertemuan yang tampak remeh dengan strangers---serpih-serpih arah hidup kembali menemui saya. Menariknya, semua itu tidak datang dari sosok 'besar' atau terpengaruh. Terkadang, justru dari orang 'biasa'---mereka hidup dengan jujur dan otentik---yang tanpa sadar mengajak saya berpikir lebih dalam: siapa sebenarnya diri ini.
Mungkin, kesadaran itu pula yang menolong saya ketika suatu saat saya berada di persimpangan jalan. Keduanya tampak gelap. Tidak ada yang pasti, tidak ada petunjuk yang meyakinkan. Saya benar-benar tidak tahu harus memilih yang mana. Saat keputusan itu harus diambil, rasa takut menyelimuti, dan rasionalitas saya memberontak. Tapi, entah mengapa, saya memilih percaya pada rasa itu---sesuatu yang nyaris tidak terjelaskan, tapi terasa begitu kuat. Dan justru keputusan itulah yang akhirnya membawa kepada kehidupan saya hari ini. Belakangan saya sadar: Â itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Sejak saat itu, saya belajar bahwa kompas sejati bukanlah peta digital yang dibagikan dunia, melainkan sesuatu yang tumbuh perlahan dalam diri. Ia tidak bersuara keras, tapi ia tegas. Ia tidak memaksakan, tapi Ia mengarahkan.
Dalam perjalanan ini, saya juga mulai menyadari hal lain: bahwa arah dalam hidup tidak pernah sepenuhnya dibentuk sendirian. Saya pun merasa memiliki 'hutang' kepada orang-orang yang hadir dalam hidup saya dengan cara yang sederhana. Sekelompok teman yang hidupnya menjadi kesaksian bagaimana mengalahkan kesulitan. Para guru yang tetap percaya saat dunia meragukan kemampuan saya. Bahkan saat seorang anak kecil yang pernah bertanya dengan polos "kenapa oom terlihat sedih?"---semua menjadi pengingat bahwa hidup bukanlah tentang menjadi sempurna, tetapi menjadi utuh.
Mungkin karena itulah, saya percaya bahwa setiap manusia bisa menjadi cermin bagi orang lain. Dalam tatapan orang lain yang jujur pada kita, kita bisa melihat bayangan diri kita yang paling otentik---yang mungkin selama ini tersembunyi di balik kesibukan dan tuntutan hidup.
Kini, saya hanya ingin setia pada arah yang saya yakini---meski pelan, meski sunyi. Karena saya tahu, hidup bukanlah tentang lomba cepat, melainkan ruang belajar tidak pernah benar-benar usai. Sebab hidup, pada akhirnya, adalah ruang belajar yang tidak pernah benar-benar selesai.
Saya percaya, setiap orang bisa memeroleh "wahyu" dalam hidupnya---entah lewat kesulitan, kehilangan, perjumpaan, perpisahan, kegagalan, ataupun cinta. Bukan wahyu dalam arti agama ataupun nubuat besar, tetapi bisikan halus yang pelan-pelan mengubah cara kita memandang diri... dan dunia.
Dan saat wahyu itu datang, dunia mungkin tetap saja ribut. Tapi, dalam diri, ada keheningan yang memberi arah.