Adakah di antara kita yang merupakan anggota keluarga yang memiliki usaha? Bila kita tidak termasuk di antaranya, apakah kita memiliki sanak keluarga maupun orang terdekat yang memiliki usaha? Dalam sebuah keluarga yang menjalankan usaha sebagai sumber penghidupan utama, apa yang terjadi pada keluarga tersebut setelah sang pendiri usaha wafat? Dalam banyak kasus, justru itulah awal dari babak baru. Ada bisnis keluarganya yang tetap terjaga atau bahkan bertambah maju dan berkembang. Namun, tidak sedikit muncul babak konflik, babak kebingungan, bahkan babak kehancuran yang perlahan menggerus apa yang dibangun bertahun-tahun.
Kenyataannya, cerita buruk semacam ini bukan hal asing. Situasi tersebut nyata terjadi di sekitar kita. Saya pun pernah mendengar cerita tentang keluarga yang bergerak dalam satu usaha industri yang cukup terkenal. Sang orang tua membangun bisnisnya dari nol. Setelah ia meninggal, anak-anaknya terpecah: ada yang ingin menjual aset, ada yang ingin ekspansi, ada pula yang sama sekali tidak tertarik melanjutkan usaha orang tuanya. Tidak ada sistem yang mengatur dan mewadahi transisi tersebut. Ketika kekayaan sudah menyentuh lintas generasi dan lintas bidang, pertanyaannya bukan lagi soal “berapa banyak?” tapi “bagaimana mengelolanya agar tetap utuh dan bermanfaat jangka panjang?”
Dari kenyataan inilah kita dapat melihat pentingnya sistem yang mampu menjaga keberlanjutan kekayaan dan harmoni keluarga. Konsep pengelolaan kekayaan keluarga inilah yang dikenal dengan family office. Konsep ini bukanlah tren gaya hidup baru. Bukan pula cara orang kaya memamerkan kekayaan dan kekuasaannya. Namun, konsep ini dapat dipandang sebagai sebuah cara bijak untuk memastikan kekayaan keluarga bukan hanya bertahan, tetapi juga berdampak dan bermakna di tengah kompleksitas zaman.
Lantas, seperti apa bentuk dan cara kerja dari family office? Family office ini dibentuk bukan untuk mengasingkan kekayaan dari masyarakat ataupun bukan untuk melayani satu atau beberapa keluarga besar. “Office” di sini bukan dalam arti sebuah kantor formal, melainkan sebuah tim atau sistem yang secara khusus dibentuk untuk mengelola kekayaan, investasi, urusan pajak, legalitas, dan rencana suksesi keluarga besar. Konsep ini dapat diibaratkan seperti “kantor manajemen pribadi” bagi keluarga yang kekayaannya kompleks. Bahkan, Family office ini juga dapat difungsikan dalam mengelola gaya hidup keseharian keluarga ini. Maka, fungsi kekayakan dalam konteks ini bukan lagi sekadar penumpukan aset, tetapi menjadi daya pendorong pembangunan. Bukan sekadar simbol status, tapi sumber kontribusi.
Menariknya, apa yang kita pandang semakin relevan dalam situasi di Indonesia, ternyata sudah menjadi praktik umum di beberapa belahan dunia. Bagi negara-negara seperti Singapura, Amerika Serikat, Swiss, dan Uni Emirat Arab, konsep ini sudah menjadi praktik lazim. Banyak keluarga pada negara-negara tersebut memilih untuk mengelola kekayaan mereka melalui family office agar lebih efektif. Terlebih, negara-negara maju pun kini berlomba menjadi pusat global bagi family office karena potensi yang bertambah besar dari pengelolaan kekayaan keluarga yang terstruktur. Menurut laporan IFC-World Bank, family office terbukti menjadi pendorong stabilitas bisnis lintas generasi, sekaligus memperkuat praktik tata kelola berorientasi pada keberlanjutan dan dampak sosial. Di tengah kompleksitas dunia moden dan semakin terbukanya sistem ekonomi global, family office pun semakin menjadi kebutuhan strategis untuk menjaga nilai dan memberi arti dari kekayaan keluarga tersebut.
Dampak dari konsep family office ini tidak berhenti pada keluarga yang menggunakannya saja. Family office ini pun turut menciptakan permintaan baru terhadap profesi-profesi, seperti penasihat keuangan, konsultan hukum keluarga, perencana warisan, dan edukator nilai. Dalam konteks ini, kita bicara tentang tumbuhnya ekosistem profesional yang berbasis kepercayaan dan keberlanjutan. Maka, situasi ini bukan hanya menguntungkan sekelompok keluarga semata, melainkan pula menyumbang terhadap pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Di balik semua dampak eksternal tersebut, family office sejatinya tetap berangkat dari kebutuhan mendasar setiap keluarga—warisan, nilai, dan arah perjalanan hidup keluarga. Maka, sangatlah tepat berpendapat bahwa belum tentu semua orang dan keluarga membutuhkan Family Office ini. Tidak semua keluarga memiliki skala kekayaan atau kompleksitas aset yang menuntut pembentukan struktur formal seperti ini. Namun, satu hal yang tampak jelas: saat kekayaan semakin kompleks dan generasi semakin beragam dalam nilai serta preferensi hidupnya, tata kelola menjadi kebutuhan, bukan pilihan. Bahkan, untuk keluarga dengan aset yang belum besar, pendekatan ini pun tetap dapat diadaptasi: lewat edukasi keuangan, pencatatan akuntansi dan keuangan yang rapi, bahkan perencanaan warisan sederhana. Esensinya tetap sama: menjaga agar apa yang sudah dibangun dengan susah payah tidak hilang begitu saja oleh waktu dan konflik keluarga.
Tentu saja, keluarga dan konsep family office tidak dapat berjalan sendiri. Di tengah semua ini, negara tentu juga memilki peran. Indonesia perlu segera menyusun regulasi yang mendorong pembentukan family office, perlindungan hukum untuk aset keluarga, serta insentif untuk investasi berdampak sosial dari “kekayaan keluarga” ini. Kita dapat belajar dari negara-negara yang sudah memberikan best practice dalam bidang ini. Kalau tidak dari sekarang, kita akan mendengar lebih banyak lagi mendengar cerita tentang keluarga besar di Indonesia yang “bubar” karena warisan, bukan kekurangan kasih sayang.
Pada akhirnya, regulasi dan insentif hanya kerangka luar—yang lebih penting adalah kesadaran dalam keluarga itu sendiri. Menjaga kekayaan sejatinya bukan soal seberapa besar angka di rekening, tetapi soal bagaimana kekayaan itu dibingkai oleh nilai. Family office menawarkan jalan untuk itu. Jalan yang tenang, tertata, dan penuh makna. Bukan demi hidup mewah, tapi demi keberlanjutan, keharmonisan, dan kontribusi yang lebih luas dari sebuah keluarga—kepada masyarakat dan kepada bangsa.
References:
- IFC World Bank, 2018, Family Business Governance Handbook.
- Kelin E. Gersick, 1997, Generation to Generation: Life Cycles of the Family Business, Harvard Business Press.
- Michael Cairney, Corporate Governance and Competitive Advantage in Family-Controlled Firms, Entrepreneurship Theory and Practice, 29(3), 2005, 249—265
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI