Kita semua pernah menjadi anak. Terkadang kita pernah berada di persimpangan jalan: menyenangkan diri sendiri atau membahagiakan orang tua. Terkadang keduanya dapat berjalan bersama. Namun, tidak jarang pula keduanya selalu berseberangan.
Saya percaya bahwa akan ada satu masa di hidup kita sebagai anak dimana kita hanya ingin didengarkan. Bukan untuk dibenarkan, apalagi disalahkan. Bukan juga untuk disetujui, apalagi ditolak. Hanya cukup untuk didengar dan dipercaya bahwa kita tahu apa yang dilakukan—walau belum tentu itu benar menurut standar orang tua kita.
Dalam pengalaman saya, standar orang tua, tentu, bukan tanpa alasan. Mereka tumbuh di masa yang terbatas. Mereka hidup dari pengalaman panjang: dari keterbatasan ekonomi, kerasnya perjuangan, hingga trauma kegagalan. Pengalaman panjang tersebut menjadi rupa kehatian-hatian dan kehendak untuk melindungi keturunannya dari hal serupa. Maka, saat mereka mendengar tentang cita-cita yang terdengar asing—jadi sesuatu yang mana dunianya tidak mereka ketahui—yang mereka dengar mungkin cuma satu: ketidakpastian. Namun, bukankah itu pula yang kita takuti sebagai manusia dari generasi manapun? terlepas dari apakah kita sudah menjadi orang tua atau belum.
Saya juga percaya bahwa harapan orang tua pada dasarnya adalah bentuk cinta. Cinta yang tidak selalu dalam bentuk pelukan. Cinta yang tidak selalu dalam kata-kata manis. Cinta yang terkadang mengambil bentuk:
“kamu yakin hidup dari situ?”
“menurut Bapak, cari yang stabil dulu.”
“Ibu merasa kasihan kalau kamu kerja sebagai [...] .”
Kalimat-kalimat yang sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk membatasi, tapi untuk melindungi. Namun, yang sering menjadi masalah adalah saat perlindungan yang terlalu ketat kadang terasa seperti penjara. Saat perlindungan yang terlalu ketat kadang tidak memberikan ruang bagi kita untuk tumbuh. Saat perlindungan yang terlalu ketat justru dapat menjadi bara kecil yang lama kelamaan membakar tenang hubungan.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia punya akar yang kuat dalam cara orang tua memahami peran mereka dalam budaya kita. Menurut psikolog Diana Baumrind, pola asuh otoriter seringkali muncul dalam budaya kolektif dimana orang tua merasa bertanggung jawab penuh atas masa depan anak. Di Indonesia, nilai-nilai kekeluargaan dan kehormatan keluarga dijunjung tinggi. Maka, tekanan untuk “tidak mengecewakan” bukan sekadar beban personal, melainkan beban sosial. Di sinilah sering muncul konflik diam-diam: saat anak merasa tertekan oleh harapan yang dibingkai sebagai cinta, sementara orang tua merasa sedang menjalankan tanggung jawab mulia yang tidak boleh gagal.