Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Progress: Mengapa Kita Tidak Pernah Benar-Benar Sampai

26 Mei 2025   05:00 Diperbarui: 24 Mei 2025   15:52 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi progress is never ending (sumber: AI-generated picture)

Setelah saya mulai mendapatkan penghasilan dari pekerjaan saya, saya merasa hidup mulai stabil secara finansial. Saya sempat berpikir bahwa dengan kestabilan keuangan hidup akan lebih tenang. Namun rupanya, ketenangan justru muncul ruang lain: ruang untuk berkontribusi. Saya pun mulai aktif dalam komunitas sosial, membantu anak-anak magang di kantor, dan menulis refleksi---yang semula hanya untuk diri sendiri. Saya mulai menyadari bahwa progress yang saya jalani bukanlah sepenuhnya tentang naik ke atas, tetapi seringkali justru tentang 'merunduk'---membantu orang lain untuk ikut bertumbuh. Dari sanalah saya merasa lebih utuh: ketika hidup bukan hanya mencetak jejak, tetapi juga tentang memberi ruang agar lebih banyak kaki dapat bersama melangkah.

Saat ini, kita hidup di zaman dimana semua ingin serba cepat: pengiriman instan, validasi instan, bahkan kesuksesan pun diharapkan datang secepat mungkin. Namun, hidup bukan aplikasi daring. Banyak hal dalam hidup membutuhkan waktu, kesabaran, dan bahkan serangkaian kegagalan kecil yang semuanya dirajut menjadi satu pemahaman diri. Richards dan Goslin-Jones (2018) menekankan bahwa pentingnya kreativitas dalam keseharian---bukan sebagai ekspresi luar biasa, tetapi sebagai bagian dari pertumbuhan yang mendalam dan berkesinambungan. Mereka menunjukkan bahwa integritas pribadi seringkali justru tumbuh dari proses yang lambat, reflektif, dan tidak instan. Perubahan yang bertahan bukan hasil dari momen kilat, tapi dari konsisten yang dijalani dalam diam. Langkah yang lambat bukanlah keterlambatan---melainkan bentuk paling jujur dari keberanian untuk hidup secara utuh.

Saya pun pernah dalam satu persimpangan: mempertimbangkan untuk pindah jurusan pendidikan. Pada awalnya, segalanya terasa gelap---tidak ada kepastian, tidak ada jaminan bahwa itu pilihan yang lebih baik. Namun perlahan, ketika saya mulai berhenti takut, muncul pertanda halus bahwa saya harus bergerak. Langkah kecil itu pun memunculkan progres. Bukan progres yang bisa langsung dilihat orang lain, bukan pula yang bisa saya ukur dengan angka. Namun, saya merasakan dan tahu---dalam diam, ada sesuatu yang tumbuh dalam diri. Dan dari situ saya belajar: progress yang paling sejati seringkali tidak terlihat oleh siapapun---kecuali oleh kita sendiri yang menjalaninya dengan sungguh-sungguh.

Sebagai penutup, saya ingin berbagi satu nasihat guru pelajaran musik saya saat SMP---seseorang yang dikenal tegas, tapi penuh perhatian. Seusai saya gagal dalam ujian praktik musik akhir tahun, beliau menatap saya dan berkata, "sukses itu bukan waktu kau menang, ya, Ren, tapi waktu kau masih mau belajar meski gagal." Saat itu, saya hanya terdiam. Namun, suara khas ketimurannya terus bergaung dalam ingatan saya. Kini, bertahun-tahun setelahnya, saya mulai mengerti, bahwa selama kita masih mau belajar, masih mau melangkah, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar gagal. Karena dalam hidup, keberhasilan bukan sekadar garis akhir---melainkan kesediaan untuk terus berjalan, meski pelan, meski tertatih.

 

Pada akhirnya, progress is never ending. Dan itu bukan kutukan---justru, itu adalah anugerah. Anugerah karena kita saat ada kesempatan untuk memperbaiki yang patah, menyempurnakan yang kurang, dan merawat kehidupan kita yang terus bergerak. Untuk menjadi manusia yang lebih jujur untuk diri sendiri, lebih bijaksana dalam hidup, dan lebih berguna untuk komunitas dan lingkungan tempat kita berpijak. Karena selama kita masih berjalan, selalu ada ruang untuk bertumbuh. Dan selama itu pula, hidup tetap punya harapan.

References:

  • Erik Erikson, 1950, Childhood and Society, New York: Norton http://archive.org/details/dli.ernet.19961/page/n1/mode/1up
  • Abraham  Maslow, 1943, A Theory of Human Motivation. Psychological Review, 50(4), 370--396.
  • Viktor Frankl, 1959, Man's Search for Meaning, Beacon Press.
  • Carl  Jung, 1964, Man and His Symbols, London: Aldus Books.
  • Ruth Richards & Terri Goslin-Jones, 2018, Everyday Creativity: Challenges for Self and World---Six Questions, dalam Robert J. Stenberg & James C. Kaufman, The Nature of Human Creativity,  Cambridge University Press, hlm. 224---245.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun