Hari ini, ketika dunia makin riuh dan waktu makin sempit, pagi buta menjadi semacam "ruang suci". Ia bukan soal efisiensi, melainkan soal ketenangan yang disengaja. Sebab, dalam keheningan pagi, kita tidak hanya diberi waktu untuk merapikan hari---tapi juga diberi jeda untuk mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang menyelesaikan sesuatu, tetapi juga tentang merasakan sesuatu.
Dalam secangkir kopi sunyi pukul 4 pagi, hidup sedang menegur kita dengan lembut: bahwa yang membuat hari menjadi baik bukan panjangnya daftar tugas, tapi utuhnya cara kita hadir bagi diri kita.
Referensi:
- Michael Walker, 2017, Why We Sleep: Unlocking the Power of Sleep and Dreams, Scribner.
- Christoph Randler, Morningness--eveningness and academic performance among university students, Current Psychology, 29(4), 2010, 373--382.
- Sonja Lyubormirskky, Kennon M. Sheldon, David Schkade, Pursuing Happiness: The Architecturer of Sustainable Change. Review of General Psychology, Vol. 9, No. 2, 2005, 111---131.
- Harold G. Koening, Dana E. King, Verna Benner Carson, 2012, Handbook of Religion and Health, Oxford University Press.
- Till Roenneberg, Anna Wirz-Justice, Martha Merrow, Life Between Clocks: Daily Temporal Patterns of Human Chronotypes, Journal of Biological Rhythms, 18(1), 2003, 80--90.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI