Tiap orang punya cerita tersendiri kenapa dia bisa jatuh cinta pada sebuah klub sepakbola. Ada yang berawal dari sosok individual lalu merasuk ke dalam kecintaan pada klubnya. Ada pula yang bermula dari pengalaman pertamanya menonton sebuah klub, baik melalui layar kaca maupun secara langsung. Kecintaan tersebut dapat tumbuh membentuk orang tersebut menjadi suporter klub sepakbola dimaksud. Suporter (n) menurut situs kbbi diartikan sebagai "orang yang memberikan dukungan, sokongan, dan sebagainya." Â Kata ini dapat dimaknai sebagai pihak yang aktif dan tidak sekadar pasif. Tulisan ini ingin berbagi cerita tentang sebuah 'relasi' emosional seorang pribadi Penulis pada sebuah klub yang bernama Arsenal Football Club.
Cerita bermula pada awal 2000-an saat layar kaca menampilkan sosok geek dan old-school namun berwibawa, lengkap dengan kacamata bulat dan jaket panjangnya, berdiri tenang di pinggir lapangan Highbury. Ia adalah Arsene Wenger. Bagi Penulis, Wenger bukanlah hanya sekadar pelatih. Ia dapat disejajarkan dengan guru besar sepakbola, membawa semangat dan ilmu baru ke tanah Inggris yang kala itu masih kental dalam pola 'kick-and-rush'. Ia datang membawa filosofi dan prinsip yang diterjemahkan dalam sistem pengelolaan dari hal non-teknis, seperti pola makan para pemain, hingga hal teknis, seperti analisis performa, dimana semuanya ini menghasilkan gaya main tim menyerang yang rapi dan indah. Dan dari semua klub di Eropa, ia memilih Arsenal setelah perjalanan karirnya dari Jepang.
Saat masih remaja di era tersebut, saya tidak paham banyak soal taktik. Saya hanya tahu satu hal: saya suka cara Arsenal bermain dalam kepelatihan Wenger. Bola mengalir cepat dari kaki ke kai, tanpa perlu umpan panjang acak ataupun tekel brutal. Ada keanggunan di sana, yang bahkan anak belasan tahun bisa rasakan. Saya sering terpukau di depan layar televisi setiap menonton pertandingan Arsenal.
Dalam urusan perekrutan pemain, harus diakui bahwa Arsene Wenger mempunyai mata jeli dalam melihat potensi pemain. Meskipun tidak seluruh pemain yang dibeli bagi Arsenal merupakan pembelian yang terbaik, tapi prinsip Wenger tampak bahwa Ia tidak membeli bintang, tapi membentuknya. Prinsip ini terwujud dalam sosok Thierry Henry, Patrick Vieira, Kolo Toure---mereka datang bukan sebagai legenda, tetapi menjadi legenda karena dipoles oleh Wenger. Di bawah pembinaan Wenger, para pemain tumbuh, bukan hanya sebagai atlet, tetapi sebagai bagian dari sistem.
Secara khusus, Musim 2003/2004 merupakan musim penuh keajaiban. Momen ini sering disebut The Invincibles. Arsenal menutup Liga Inggris tanpa sekalipun merasakan kekalahan. 26 menang, 12 imbang, 0 kalah. Arsenal pun diganjar dengan trophy Liga Inggris berlapis emas. Hal ini Sebuah prestasi. Tapi hal tersebut lebih dari sekadar angka. Momen ini memberikan pelajaran tentang harmoni, kerja kolektif, dan kepercayaan diri. Struktur tim ini pun penuh dengan keunikan keragaman:
- Jens Lehmann, seorang kiper nyentrik, terkadang sembrono, tapi juga punya reaksi bagus dalam penyelamatan,
- Sol Campbell dan Kolo Toure, pasangan bek tengah dengan perpaduan muscle and speed.
- Ashley Cole dan Lauren, dua bek sayap yang tahu kapan harus naik membantu penyerangan maupun tahu kapan harus menahan diri menjaga pertahanan
- Patrick Vieira dan Gilberto Silva, dua jangka lini tengah yang bertugas menjaga tempo permainan dan membentengi pertahanan.
- Robert Pires dan Fredrik Ljungberg, dua sayap dengan gaya berbeda---satu elegan, satu lagi meledak-ledak.
- Dennis Bergkamp, sang maestro. The non flying Dutchman. Visi permainannya seperti melihat pertandingan tiga detik lebih awal dibandingkan pemain lain.
- Dan tentu saja, Thierry Henry. The Legend. Pemain yang larinya seperti angin, penyelesaian akhir seperti lukisan, dan banyak selebrasinya yang direplikasi hingga saat ini.
Bagi Penulis, Â mereka bukan sekadar pemain. Mereka merupakan potongan simfoni yang disusun oleh Le Professor Wenger menjadi sebuah alunan musik yang tidak terlupakan.
Namun, pasca era Invincibles berakhir, datanglah masa-masa sulit. Trofi langka, pemain silih berganti, permainan tidak lagi seindah dulu. Namun, menjadi pendukung sejati bukanlah soal hadir di masa senang. Kesetiaan diuji justru saat semuanya tidak berjalan sempurna. Supporter sejati bukanlah plastic fans---istilah era sekarang---dimana seseorang berpindah dukungan klub hanya untuk mengejar euforia hegemoni sebuah klub yang hanya dikaitkan sebatas capaian gelar di akhir musim.
Dalam 5 tahun ke belakang, Arsenal perlahan bangkit pasca kepergian Arsene Wenger. Di tangan Mikel Arteta sekarang, ada semangat baru, sekaligus bayang-bayang Le Professor masih samar tetap hidup. Dalam tiap pertandingan tim besutan manajer saat ini, Penulis mendapati bayangan tim yang pernah dulu dikenal dan dikagumi.banyak pula yang mulai mengejek Arsenal sebagai klub nostalgia. Namun, banyak pula yang mencibir bahwa "pendukung Arsenal merupakan salah satu fans yang paling kuat berpuasa gelar". Ejekan dan cibiran ini dapat ditemukan dalam media sosial maupun dalam relasi nyata sesama pendukung klub sepakbola. Namun, bagi Penulis, situasi ini merupakan part of the game of being one club's supporter. Bagi Penulis, Arsenal is the one that chose me. It just hits me unaware, and thus, throughout the days, I naturally find myself deep in love with it. Arsenal sudah menjadi bagian perjalanan hidup. Dari remaja yang belajar semangat dan keindahan melalui Henry dan skuat The Invincibles, hingga dewasa yang memahami bahwa kesabaran dan cinta tak selalu berarti meraih puncak---terkadang cukup dengan terus berjalan bersama.
Akhirnya, menjadi pendukung Arsenal sejak era Wenger, bukanlah soal kejayaan semata. Tapi tentang menerima proses, mencintai filosofi, dan merayakan sepakbola sebagai bagian dari hidup. Dan seperti cinta pertama, rasa itu mungkin tidak akan pernah benar-benar pudar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI