Mohon tunggu...
renata salva fellycia
renata salva fellycia Mohon Tunggu... Universitas Jambi

Fakultas Hukum Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Regulasi Outsourcing di Indonesia Pasca UU Cipta Kerja: Analisis Kasus dan Dampaknya pada Hubungan Industrial

14 Oktober 2025   22:54 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:53 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Renata Salva Fellycia

NIM: B1A124027

Dosen Pengampu: Dr. Ana Ramadhona,S.H., M.H.

     Fenomena outsourcing di Indonesia secara konsisten telah menjadi subjek penelitian yang sangat penting, khususnya dalam konteks pertumbuhan ekonomi nasional. Pada dasarnya, outsourcing dapat dipahami sebagai salah satu strategi manajemen yang melibatkan delegasi beberapa kegiatan pendukung kepada pihak ketiga oleh perusahaan. Praktik ini bertujuan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk lebih fokus pada kegiatan bisnis inti, meningkatkan efisiensi operasional, dan mengurangi pengeluaran. Namun, di balik niat tersebut, penerapan outsourcing di Indonesia secara konsisten menimbulkan beberapa isu hukum.

     Dalam konteks hukum, praktik outsourcing diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, terutama pada Pasal 64 hingga 66. Ketentuan ini menunjukkan bahwa outsourcing diperbolehkan hanya untuk aktivitas yang bersifat mendukung dan bukan untuk tugas pokok suatu perusahaan. Pembatasan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja, sehingga mereka dapat mempertahankan kepastian dalam pekerjaan serta menerima hak-hak normatif, seperti status karyawan tetap dan hak atas pesangon. Selain itu, ketentuan ini juga bertujuan untuk mencegah praktik eksploitasi yang dapat merugikan para pekerja. Pembatasan ini sejalan dengan konvensi internasional, seperti ILO Convention No. 87 dan 98, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-X/2012, yang menetapkan kategori cakupan outsourcing menjadi tiga, yaitu jasa tenaga ahli, pekerjaan sementara dengan durasi singkat, dan kegiatan penunjang operasional.

     Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2020 secara komprehensif menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh perusahaan penyedia tenaga kerja. Perusahaan tersebut diwajibkan untuk membayarkan upah minimum, mendaftarkan pekerja dalam program BPJS Ketenagakerjaan, serta memastikan pemenuhan hak-hak lainnya bagi pekerja. Selain itu, tanggung jawab perusahaan pengguna juga diatur, terutama mengenai pelanggaran hak-hak pekerja, seperti yang tercantum dalam Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap individu berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak.

     Meskipun kerangka regulasi yang ada tampak cukup memadai, kondisi yang sebenarnya sering kali berbeda. Banyak perusahaan penyedia layanan tidak memenuhi seluruh kewajiban mereka, sehingga perlindungan bagi pekerja outsourcing menjadi lemah. Sebagai akibatnya, pekerja outsourcing berada dalam posisi yang rentan, baik dalam hal kepastian kerja maupun perlindungan sosial. Dalam praktiknya, sejumlah pekerja outsourcing menghadapi status yang tidak jelas, kompensasi yang tidak sesuai dengan standar, serta kesulitan dalam mengakses fasilitas jaminan sosial. Hal ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian antara norma hukum dan implementasinya di lapangan.

     Dampak dari praktik outsourcing terhadap hubungan industrial memerlukan perhatian yang substansial. Bagi perusahaan, outsourcing menawarkan tingkat fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya manusia, khususnya di sektor-sektor yang sangat dinamis seperti manufaktur dan layanan. Berdasarkan data yang disajikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada tahun 2022, terdapat sekitar 12 juta pekerja formal, yang setara dengan 20% dari total tenaga kerja di Indonesia, yang terlibat dalam sistem outsourcing. Pekerja yang terlibat dalam outsourcing banyak dijumpai di kawasan industri besar seperti Bekasi dan Tangerang. Dari sudut pandang pekerja, penerapan praktik outsourcing dapat menimbulkan berbagai tantangan. Salah satu permasalahan yang paling mencolok adalah adanya perbedaan upah antara pekerja outsourcing dan karyawan tetap yang menduduki posisi setara. Selain itu, kesempatan untuk mendapatkan promosi dan mengembangkan karir cenderung terbatas. Posisi pekerja outsourcing dalam konteks hubungan industrial umumnya dinilai lemah, terutama karena mereka sering mengalami kesulitan dalam berpartisipasi dalam serikat pekerja di perusahaan yang mempekerjakan mereka. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengakui hak setiap pekerja untuk berserikat serta bernegosiasi secara kolektif. Dengan demikian, pekerja outsourcing menghadapi berbagai tantangan dalam memperjuangkan hak-hak normatif mereka selama proses negosiasi.

     Selain itu, pemutusan hubungan kerja melalui perjanjian outsourcing sering terbukti bertentangan dengan prosedur yang diatur dalam Pasal 151 Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mewajibkan penerapan metode bipartit atau tripartit. Pelanggaran terhadap prosedur pemutusan yang memadai menghadirkan bahaya terjadinya ketidakstabilan industri yang dapat berdampak negatif terhadap semua pemangku kepentingan terkait dan produksi. Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dalam menyederhanakan regulasi mendapat kritik karena dinilai terlalu toleran terkait pelarangan outsourcing dan memperdalam kerentanan kondisi kerja karyawan. Jika terus diatur secara buruk dan diawasi lemah, outsourcing dapat menghancurkan dasar hubungan industrial yang saling menguntungkan. Outsourcing juga menimbulkan bahaya timbulnya kerusuhan sosial dengan terciptanya status sekunder di kalangan pekerja.

     Sebagai kesimpulan, pelaksanaan outsourcing di Indonesia membutuhkan perhatian serta pengawasan yang lebih intensif dari pemerintah, pelaku industri, dan serikat pekerja. Sebuah komitmen diperlukan untuk memastikan bahwa praktik outsourcing dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku serta menjaga perlindungan terhadap hak-hak para pekerja. Selain itu, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman mengenai hukum di antara para pekerja agar mereka dapat lebih memahami hak dan kewajiban mereka dalam kerangka outsourcing. Dengan pendekatan ini, praktik outsourcing dapat memberikan keuntungan yang signifikan bagi perusahaan tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja.

Analisis Kasus Pertikaian PT Kertas Leces, Probolinggo (2010-2015)

     Kasus PT Kertas Leces, yang terletak di Probolinggo, memberikan ilustrasi yang jelas mengenai isu praktik outsourcing yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2010, perusahaan ini menghadapi tantangan ekonomi yang disebabkan oleh fluktuasi harga komoditas global, yang mendorong mereka untuk mengalihdayakan sekitar 1.200 pekerja inti dalam proses produksi kepada PT Mitra Kerja Sejahtera melalui kontrak tahunan yang dapat diperpanjang. Namun, tingkat upah yang ditetapkan berada di bawah Upah Minimum Provinsi Jawa Timur pada periode tersebut, yakni sekitar Rp 1,1 juta per bulan, tanpa adanya jaminan mengenai status sebagai karyawan tetap. Ketidakpuasan yang dialami oleh tenaga kerja mencapai puncaknya pada tahun 2011 ketika mereka mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya, yang merujuk pada Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang melarang praktik outsourcing dalam pekerjaan inti perusahaan. Pada tingkat pengadilan pertama, keputusan diambil yang menetapkan bahwa pelaksanaan outsourcing tersebut adalah tindakan yang ilegal dan memerintahkan pemulihan status pekerja serta pembayaran tunggakan gaji dan pesangon. Meskipun demikian, PT Kertas Leces mengajukan banding, dan pada tingkat Pengadilan Tinggi, keputusan sebelumnya dibatalkan dengan alasan bahwa kontrak kerja disepakati secara sukarela. Kasus ini berlangsung hingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 19/PUU-X/2012 sebagai respons terhadap gugatan yang diajukan oleh KSPI, dengan tujuan untuk memperketat regulasi yang berkaitan dengan praktik outsourcing. Setelah proses mediasi yang melibatkan tiga pihak, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan, dilaksanakan pada tahun 2015, PT Kertas Leces diwajibkan untuk membayar kompensasi yang melebihi Rp 50 miliar. Kasus ini juga memicu serangkaian aksi mogok kerja selama 45 hari di tahun 2012, yang berdampak pada gangguan dalam rantai pasok kertas nasional, mengakibatkan kerugian ekonomi, dan menyebabkan sejumlah pekerja kehilangan pekerjaan mereka secara temporer. Oleh karena itu, kasus ini berfungsi sebagai contoh penting yang menekankan perlunya pengawasan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan praktik outsourcing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun