Mohon tunggu...
Rembulan Pagi
Rembulan Pagi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Chatib Basri, Menkeu Anti Nasionalisme?

15 Juni 2015   11:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis : Ir. Abdulrachim K - Aktivis/Pengamat
(Penulis beredar di twitter dengan @abdrachim001)

Menjelang reshuffle kabinet Jokowi yang makin santer, salah satu calon yang disebut sebagai calon Menteri bidang ekonomi adalah Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan era akhir SBY. Namun siapakah dia, harus dikenali lebih mendalam, terutama dalam kaitannya dengan garis politik ekonomi Jokowi yang dalam kampanyenya berjanji sebagai Presiden yang nasionalis dan kerakyatan.

Dalam wawancaranya dengan cnbc.com akhir bulan Juni 2014, ketika masa jabatannya sebagai Menkeu akan berakhir, Chatib Basri mengatakan bahwa "Tidak Ada Ruang Untuk Nasionalisme Ekonomi". Chatib Basri juga mengatakan bahwa kedua calon presiden sangat mengunggulkan nasionalisme ekonomi. Kemudian dikatakannya bahwa siapapun presidennya, maka pertumbuhan ekonomi harus 7 %, karena pemerintahnya membutuhkan penciptaan lapangan kerja, mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Karena itu juga harus membuka diri terhadap investasi dan portofolio asing.

Ini merupakan statement yang janggal, kemungkinan besar disengaja, karena memberikan penekanan seolah-olah nasionalisme ekonomi itu berarti anti investasi dan portofolio asing. Chatib Basri yang sangat terkenal dengan ucapannya "KANTONGI SAJA NASIONALISMEMU" secara tidak langsung mengatakan bahwa dia sangat ramah terhadap investasi asing, atau bahkan siap untuk memberikan syarat yang seringan-ringannya bagi investasi asing.

Hal itu tentu merupakan pencitraan yang menyesatkan opini publik. Didalam dunia yang sudah serba terbuka dan terkait seperti saat ini, hampir semua negara telah membuka diri terhadap investasi dan portofolio asing. Namun yang berbeda adalah kadar atau kualitas investasinya itu apakah hanya memperbesar PDB, penerimaan pajak dan penampungan tenaga kerja saja, ataukah bisa menimbulkan alih teknologi, manajemen, SDM, paling tidak sebagian kepemilikan, pendalaman struktur industrinya, dsb. Jadi bukan hanya pertumbuhan ekonomi bagi asing atau segelintir orang saja tetapi harus lebih memeratakan kesejahteraan rakyatnya dan memperkuat bangsanya. Atau singkatnya apakah investasinya itu apakah hanya menguntungkan asing ataukah malah menjadikan momentum kebangkitan ekonomi nasional, menguntungkan kepentingan nasional dan memeratakan kesejahteraan rakyatnya.

Jadi Nasionalisme ekonomi itu bukan berarti menutup diri terhadap investasi dan portofolio asing seperti dikesankan oleh Chatib Basri, tetapi kualitas investasinya harus jauh lebih menguntungkan kepentingan nasional daripada ekonomi yang dijalankan selama puluhan tahun ini sejak Orde Baru (kecuali pada pemerintahan Gus Dur) yang mengakibatkan Indonesia menjadi jauh ketinggalan dari negara-negara seperti Singapura, Malaysia, China dll.

China adalah contoh negara yang Nasionalisme ekonominya sangat kuat, yang membuka diri terhadap investasi dan portofolio asing, namun sangat mampu memanfaatkan investasi-investasi asing tersebut untuk memajukan ekonominya secara luar biasa, sehingga juga memajukan teknologinya, ilmu pengetahuannya, memeratakan kesejahteraan rakyatnya dsb.

China yang kurang dari 5 tahun lagi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar didunia, sekarang telah mempunyai cadangan devisa terbesar didunia, telah meluncurkan pesawat luar angkasa, mampu merenovasi kapal induk, dll, adalah negara yang nasionalisme ekonominya sangat kuat dan terbuka dengan investasi asing.

Di Indonesia tentu ada walaupun sangat sedikit atau langka, ekonom yang mampu menjalankan nasionalisme ekonomi yang terbuka terhadap investasi asing. Kebanyakan ekonom yang ada seperti Chatib Basri, sangat ramah kepada investasi asing, namun tidak gigih memperjuangkan kepentingan ekonomi nasional. Masalahnya, dalam penentuan jabatan menteri-menteri ekonomi dalam reshuffle kabinet nanti tekanan asing terutama negara superpower sangat kuat. Bahkan dikabarkan sudah menitipkan ekonom tertentu yaitu Chatib Basri, Darmin Nasution dan Sri Mulyani. Mereka inilah ekonom yang sangat ramah dan siap memberikan syarat-syarat investasi asing yang sangat ringan dan melindungi serta mengembangkan kepentingan-kepentingan asing di Indonesia.

Sekarang rakyat akan melihat Jokowi yang berjanji untuk mewujudkan ekonomi berdikari, nasionalisme ekonomi apakah berani memilih ekonom yang benar-benar bisa mewujudkannya atau malah hanya memilih ekonom yang dititipkan oleh asing karena tunduk, takluk kepada tekanan asing. Sekarang benar-benar waktu yang tepat bagi Anda, Pak Jokowi, untuk mewujudkan TRI SAKTI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun