Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Pegawai Negeri Membeludak pada Abad ke-19

20 Juli 2020   22:21 Diperbarui: 17 Maret 2022   14:20 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Tjahjo Kumolo, tentang peniadaan ujian calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 6 Juli 2020 yang lalu dapat membuka sebuah diksusi kesejarahan yang menarik.

Kumolo menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan membuka rekrutmen pegawai negeri setidaknya hingga tahun 2021.

Tindakan ini didasarkan pada kondisi negara yang sedang dalam krisis pandemi. Sepanjang sejarah Indonesia, bahkan sejak masa tradisional, jabatan "pegawai negeri" dalam berbagai bentuk evolusinya selalu menjadi pekerjaan tujuan masyarakat.

Pada masa tradisional, jabatan diinginkan karena memberikan ruang bagi kedekatan seorang kawula (rakyat) dengan gustinya (raja)---tentu saja disertai dengan perolehan simbolisme kehormatan dan wewenang yang mendatangkan kecukupan pendapatan.

Namun, persoalan kedekatan kawula dengan gusti ini tetap menjadi fokus utama karena memberikan keuntungan magis-religius.

Di dalam lingkaran kultural Jawa, pengabdian kepada raja menjadi kunci bagi kedatangan berkah. Dengan demikian, menjadi pegawai negeri atau abdi bagi kerajaan memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar materi.

Pemikiran semacam ini setidaknya bertahan hingga kedatangan Eropa dan pembentukan negara kolonial. Pada tahun 1830, praktik cuulturstelsel (atau Sistem Tanah Paksa) mendatangkan cakrawala pemikiran baru tentang keuntungan materiel dan keamanan jabatan bagi sebuah trah.

Para pejabat negeri pada tingkat bekel (kepala desa) hingga bupati menikmati keuntungan materiel yang besar daripada sekedar berkah raja ketika mereka dapat memenuhi target setoran natura yang dituntut negara kolonial.

Pemikiran ini berubah lagi setelah Hindia Belanda melakukan reformasi birokrasi berturut-turut sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kekuatan Eropa di seluruh Asia pada masa itu memperkenalkan konsep jaminan sosial bagi warganya.

Namun demikian, konsep ini tampaknya baru menjangkau para pegawai kolonial dan tidak sampai pada warga biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun