Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pungutan Masuk Kendaraan Universitas Indonesia dan Kenangan Sistem Pacht Masa Kolonial

22 Juli 2019   00:25 Diperbarui: 22 Juli 2019   00:34 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk mengatasi kesulitan yang didasarkan pada kekurangan tenaga dan materi, kongsi dagang menjual pacht kepada golongan yang sejak semula memang dikonstruksikan sebagai golongan perantara, yaitu golongan Cina Peranakan. Pacht umumnya dijual kepada pedagang Cina terkaya yang sekaligus menjadi pemimpin de facto masyarakat Cina dalam kawasan Kampung Cina. 

Orang yang menerima pacht tadi jelas memiliki keleluasaan yang lebih dan keuntungan lebih untuk dapat masuk secara mendalam dalam kehidupan masyarakat bumiputra. Sejak saat itu, kesan orang-orang Cina Peranakan di mata bumiputra menjadi buruk. 

Oleh sebab orang Cina Peranakan adalah pedagang dan sekaligus juga sebagai "pemungut pajak" di beberapa wilayah, kenaikan harga dan keguncangan pasar dianggap sebagai salah orang-orang Cina Peranakan. Pada titik ini muncul perasaan anti terhadap orang-orang Cina Peranakan.

Kongsi dagang sebagai figur yang berada di atas orang-orang Cina Peranakan itu menjadi tidak tersentuh dan memperoleh berbagai keuntungan. Sistem pacht mendatangkan sedikitnya tiga manfaat, yaitu meningkatnya pemasukan kongsi dagang, beralihnya amuk rakyat bumiputra kepada golongan lain, dan penyelesaian bagi masalah daerah yang tak terjangkau kekuatan Eropa. 

Melalui cuplikan singkat ini, kita mulanya dapat memandang bahwa kekuatan Eropa yang masuk ke dalam dunia Asia Tenggara sesungguhnya memiliki berbagai macam keterbatasan. Orang-orang Eropa bukanlah sosok penuh kekuasaan seperti yang selama ini digambarkan dalam penyampaian sejarah kita. 

Kelompok pedagang Eropa selalu mencari cara untuk menambal kelemahan-kelemahan mereka sambil mengeruk keuntungan dari segregasi masyarakat yang sengaja mereka ciptakan.

Beralih dari refleksi di atas, aturan baru yang hendak diamalkan oleh Universitas Indonesia terkait sistem pungutan masuk tadi selalu mengingatkan saya pada sistem pacht masa kolonial. Namun, sistem pacht atau pemberian hak kepada pihak lain di masa kolonial didasari oleh ketidakmampuan para penguasa Eropa untuk mengelola sendiri hak-haknya itu, misalnya dalam hal penarikan pajak jalan. 

Apakah sistem baru ini sesungguhnya juga merupakan suara lirih dari ketidakmampuan Universitas Indonesia untuk mengelola haknya? Apakah pihak lain pengelola pungutan itu juga dihadirkan sebagai sasaran amuk masyarakat seperti orang Cina Peranakan di masa kolonial sehingga pihak di atas kelompok perantara itu menerima berbagai keuntungan layaknya kongsi dagang Eropa tadi?

Bila dipertanyakan secara lebih mendasar, sesungguhnya apakah kongsi dagang Eropa tadi memiliki hak untuk menjual "kewenangan memungut pajak" kepada pihak lain? Ketika tanpa hadirnya pajak atau pungutan tadi sesungguhnya masyarakat bumiputra dapat menjalankan kehidupannya tanpa terhambat. 

Pertanyaan itu juga mungkin dapat ditujukan pada kasus Universitas Indonesia. Lagipula, masyarakat penghuni kampus tampaknya ingin menunjukkan bahwa mereka dapat menjalankan kehidupan dengan baik tanpa adanya pungutan. Namun, tulisan saya bagaimanapun hanya bertujuan untuk mengingatkan kenangan sistem pacht masa kolonial, bukan untuk menghakimi sistem baru Universitas Indonesia. Sekalipun, agaknya juga memiliki kemiripan dalam hal motivasi dan pengelolaannya.

Daftar Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun