Mohon tunggu...
Reina Rahma N
Reina Rahma N Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tolak Vaksinasi: Bukan Cuma Risiko Sendiri

4 September 2017   08:30 Diperbarui: 4 September 2017   08:52 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sejak sebulan terakhir, pos-pos pelayanan kesehatan serta sekolah-sekolah di berbagai bagian pulau Jawa disibukkan dengan kegiatan imunisasi campak dan rubella atau measlesrubella (MR). Imunisasi MR memang sedang dikampanyekan oleh pemerintah Indonesia melalui kegiatan imunisasi massal secara gratis untuk anak usia 9 bulan hingga di bawah 15 tahun. Kegiatan imunisasi dilakukan dalam dua tahapan yaitu fase 1 pada bulan Agustus-September 2017 untuk anak-anak di seluruh pulau Jawa, dilanjutkan dengan fase 2 pada bulan Agustus-September 2018 untuk mereka yang berada di luar pulau Jawa. Kampanye ini merupakan bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk mencapai target mengeliminasi penyakit campak dan mengendalikan penyakit rubella serta kecacatan bawaan akibat rubella pada tahun 2020.

Bulan Juli lalu, beberapa saat sebelum program resmi dimulai, muncul berita mengenai sejumlah sekolah yang menolak menyelenggarakan kegiatan tersebut. Kedelapan sekolah tersebut merupakan institusi pendidikan swasta berbasis agama yang berada di provinsi DIY Yogyakarta, tepatnya di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, serta Kota Yogya. Berbagai alasan telah diungkap oleh pihak penyelenggara sekolah, di antaranya anggapan bahwa vaksin yang akan diberikan tidak halal maupun tidak diperlukan karena tubuh sudah memiliki sistem kekebalan tubuh sendiri.

Ini bukan kali pertama penolakan terhadap vaksinasi terjadi di negeri ini. Pada tahun 2016, Departemen Kesehatan sempat mempublikasikan suatu artikel yang menginformasikan tentang terjadinya outbreak penyakit difteri pada 6 kabupaten di provinsi Jawa Barat; di mana keseluruh 14 anak yang menjadi korban diketahui tidak diimunisasi difteri karena orangtuanya menolak. 

Sentimen negatif terhadap vaksinasi memang ada dan telah tersebar luas di kalangan masyarakat. Di berbagai laman dunia maya dan jejaring media sosial, tidak sulit menemukan tulisan atau pesan berantai yang intinya adalah mengajak pembaca untuk tidak mengikuti imunisasi. Di salah satu laman semacam ini, ada suatu komentar yang berbunyi "Ya sudah, terserah kalau nggak mau diimunisasi, tapi nanti jangan menangis-nangis minta tolong kalau anaknya kena penyakit,".

Lantas apakah masalahnya selesai sampai di situ---siapa yang tidak divaksin, cuma dia sendiri yang akan menanggung risikonya?

Jawabannya adalah tidak. Faktor utama terjadinya wabah penyakit di masyarakat adalah herd immunity, yaitu kekebalan suatu kelompok penduduk terhadap penyakit tertentu yang merupakan hasil dari kekebalan anggota-anggota kelompok tersebut.  Singkatnya, semakin banyak orang yang sudah diimunisasi dalam masyarakat, semakin kecil peluang penyakit tertentu untuk menular karena orang-orang yang sudah kebal tidak bisa tertular. 

Konsep herd immunityinilah yang menyebabkan beberapa penyakit tertentu dinyatakan "tereliminasi"; karena seluruh masyarakat sudah kebal. Namun, herd immunityhanya berlaku bila sebagian besar anggota kelompok penduduk telah diimunisasi.  

Jika seseorang yang sudah terkena penyakit berada di lingkungan di mana kebanyakan orang sekitarnya tidak diimunisasi, penyakit akan dengan mudah menyebar---tidak hanya di antara mereka yang tidak diimunisasi, namun juga pada kelompok yang secara alami rentan terhadap berbagai penyakit seperti bayi baru lahir yang masih terlalu kecil untuk diimunisasi, orang dengan gangguan sistem imun, serta  lansia. Oleh karena itu, rendahnya cakupan imunisasi menjadi masalah dengan konsekuensi yang tidak sepele---di Indonesia, begitu banyak anak yang telah menjadi korban.  

Data UNICEF tahun 2014 menginformasikan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-3 untuk negara dengan jumlah anak yang imunisasinya tidak lengkap. Di tahun 2015, WHO mencatat bahwa dari 20 juta balita yang tidak diimunisasi campak di seluruh dunia, setengahnya berasal dari Indonesia beserta Republik Kongo, Etiopia, India, Nigeria, dan Pakistan. Keenam negara ini juga memberikan kontribusi sebesar 75% dari total kematian akibat campak di seluruh dunia, yaitu sebanyak 134.000 anak. 

Di berbagai belahan dunia, di mana ada banyak orang yang tidak diimunisasi, di situlah wabah penyakit biasanya terjadi---salah satu contoh adalah wabah campak yang terjadi di negara bagian Minnesota, Amerika Serikat, pada bulan April lalu. Wabah tersebut dinyatakan sebagai wabah terbesar yang pernah terjadi sejak beberapa dekade, di mana 42 dari 44 anak yang tertular tidak diimunisasi. Penyakit campak sebenarnya sudah dinyatakan tereliminasi di Amerika Serikat pada awal tahun 2000-an, namun muncul kembali sejak beberapa tahun lalu seiring dengan menurunnya tingkat imunisasi dalam penduduk.

Apa sajakah yang mungkin membuat seseorang menolak anaknya untuk divaksinasi? Pertama, menganggap remeh penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Beberapa orang tidak pernah mendengar tentang penyakit-penyakit seperti difteri ataupun rubella, tidak berusaha mencari tahu, dan menganggap anaknya akan baik-baik saja meskipun tanpa vaksin. Padahal, penyakit-penyakit yang sudah direkomendasikan vaksinnya justru merupakan penyakit-penyakit yang akan berdampak berat bila sampai terjadi. 

Penyakit campak dan rubella yang vaksinnya sedang dikampanyekan akan cukup memberatkan anak yang terjangkit, bahkan dapat mengancam nyawa bila terjadi komplikasi. Campak akan membuat demam tinggi dan kemerahan di seluruh tubuh pada anak, dengan kemungkinan komplikasi berupa pneumonia yang berujung kematian. Rubella mempunyai gejala yang mirip dan sebenarnya tidak begitu serius pada anak, namun wanita hamil dapat mengalami keguguran bila terkena penyakit ini pada trimester pertama ataupun melahirkan bayi dengan cacat bawaan seperti tuli, katarak, dan kelainan jantung bila terkena pada trimester kedua.

Kedua, memiliki kepercayaan yang salah tentang vaksin itu sendiri. Inilah yang belakangan menjamur di masyarakat luas. Dari yakin kalau vaksin haram sampai akan membuat anak jadi autis; sangat mudah menemukan informasi yang mendiskreditkan vaksin di era teknologi informasi sekarang ini. Kepercayaan yang salah ini tidak lain disebabkan oleh tingkat literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah. Di zaman sekarang di mana sangat mudah mendapat dan membagikan informasi ke siapapun, masyarakat membaca dan meneruskan suatu informasi begitu saja tanpa memilah mana yang benar dan mana yang bohong dengan mencari klarifikasi. Buktinya, begitu banyak berita bohong atau hoaxyang menyebar di masyarakat Indonesia, tidak hanya mengenai kesehatan.

Anehnya, banyak orang sangat yakin dengan berita-berita palsu ini, padahal apabila ditelusuri berita semacam ini sering kali tidak memiliki sumber yang valid. Menjadi masalah bila orang-orang seperti ini ngotottidak mau divaksin, meskipun petugas kesehatan dengan berbagai ilmu keprofesiannya sudah memberikan penjelasan berkali-kali. Kedua faktor tersebut digabung dengan faktor terakhir yaitu kemalasan, karena tentu saja sekedar membaca dan meneruskan informasi salah lebih mudah dibanding membawa anak ke posyandu terdekat untuk diimunisasi.

Bagaimana pemerintah Indonesia sebaiknya mengatasi masalah ini? Langkah utama yang patut diambil adalah dengan mengatasi akar dari masalah, yaitu rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Bukan tingkat pengetahuan secara umum, karena beberapa studi menyatakan bahwa di beberapa negara maju dengan tingkat pendidikan masyarakat yang lebih tinggi, gerakan anti-vaksin justru banyak ditemukan karena masyarakat seperti ini mudah mengakses informasi termasuk yang salah. 

Meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan khususnya vaksinasi dapat dilakukan pemerintah Indonesia dengan mewajibkan semua sekolah dasar untuk mengadakan sosialisasi imunisasi yang dihadiri oleh petugas kesehatan bagi orangtua murid tahun ajaran baru. Sosialisasi akan diadakan kembali beberapa waktu sebelum kegiatan imunisasi dilakukan di sekolah, dan diwajibkan juga bagi sekolah untuk menyediakan layanan konseling orangtua tentang imunisasi sampai sebelum kegiatan dilaksanakan; dapat bekerjasama dengan puskesmas setempat. 

Bagaimana dengan orang-orang yang ngototmenolak meskipun telah mendapat sosialisasi? Berbagai negara di dunia telah mengakui masalah ini, dan pemerintahannya telah menetapkan kebijakan-kebijakan tertentu untuk menanggulanginya. Di masa depan, pemerintah Indonesia mungkin dapat meniru kebijakan pemerintah Australia, di mana orangtua yang anaknya mengikuti program imunisasi secara lengkap akan mendapatkan insentif melalui pemotongan sebagian pajak. Faktanya sejak kebijakan ini diberlakukan pada awal tahun 2016, Departemen Layanan Sosial Australia melaporkan bahwa lebih dari 210.000 keluarga telah berupaya memastikan bahwa anak-anaknya mengikuti imunisasi secara lengkap.

Jika dipikir, tidak aneh bila keluarga yang mengimunisasi anaknya secara lengkap diberikan penghargaan seperti insentif, karena sesungguhnya keluarga seperti ini telah berkontribusi dalam melindungi anak mereka serta secara tidak langsung seluruh anak Indonesia dari ancaman terhadap kesehatan mereka. Jangan sampai anak-anak Indonesia menjadi korban karena ketidakpedulian dan kemalasan orangtua.

Referensi:

  1. Syaifudin TMG. 8 sekolah di DIY tolak imunisasi karena dianggap haram [Internet]. Jakarta: Kompas; 2017 Jul 27 [cited 2017 Sep 3]. 
  2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Imunisasi efektif cegah difteri [Internet].  Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2016 Feb 11 [cited 2017 Sep 3]. 
  3. Kim TH, Johnstone J, Loeb M. Vaccine herd effect. Scand J Infect Dis. 2011 Sep; 43(9): 683--9.
  4. Suharto E. Situasi anak di indonesia: isu-isu strategis 2015 [Internet]. Jakarta: Kementerian Sosial Republik Indonesia; 2015 [cited 2017 Sep 3]. 
  5. World Health Organization. Measles jab saves over 20 million young lives in 15 years, but hundreds of children still die of the disease every day [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2016 Nov 10 [cited 2017 Sep 3]. 
  6. Centers for Disease Control and Prevention. Measles outbreak -- minnesota april -- may 2017 [Internet]. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention; 2017 Jul 14 [cited 2017 Sep 3]. 
  7. Demicheli V, Rivetti A, Debalini MG, Di Pietrantonj C. Vaccines for measles, mumps and rubella in children. Cochrane Database Syst Rev. 2012 Feb 15;(2):CD004407. doi: 10.1002/14651858.CD004407.pub3.
  8. Walkinshaw E. Mandatory vaccinations: The international landscape. CMAJ. 2011 Nov 8; 183(16): e1167--e1168.
  9. Scutti S. How countries around the world try to encourage vaccination [Internet]. [Place unknown]: CNN; 2017 Jun 6 [cited 2017 Sep 3]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun