Lebih dari sekedar protes. Yang terjadi pada malam 29 Agustus bukan sekedar unjuk rasa. Itu adalah hasil akumulasi dari kekecewaan sistemik. Tentang bagaiman rakyat kecil tidak merasa aman, bahkan saat bekerja. Tentang bagaimana tindakan aparat yang semestinya melindungi justru berbalik mengancam. Tentang bagaimana suara dari daerah sering kali baru didengar setelah darah tumpah. Kegelapan malam itu secara harfiah dan simbolis adalah potret buram dari relasi negara dan warga. Bahwa demokrasi masih berjalan terlatih, dan bahwa rasa keadilan masih harus diperjuangkan, bahkan dalam paket malam.
Jogja tidak diam.
Yogyakarta tidak lagi diam. Ia telah bersuara. Dan dalam gelap'nya protes itu, tersampaikan nyala perlawanan yang tidak mudah padam. Apa yang terjadi di depan Mapolda DIY akan tercatat sebagai bab penting dalam sejarah gerakan sipil Indonesia modern. Kini, semua mata tertuju pada tindakan selanjutnya. Apakah tuntutan akan direspon? Apakah nyawa almahrum Affa Kurniawana akan mendapatkan keadilan? Apakah negara akan belajar dari malam yang gelap itu? Atau, seperti banyak malam sebelumnya, apakah semuanya akan dilupahkan setelah asap gas air mata menghilang?
Gelap yang membakar nyala perubahan
Malam itu, Mapolda DIY mengalami kondisi yang tak hanya gelap secara fisik tapi juga bermakna simbolik. Ketika listrik dimatikan, bukan hanya lampu yang padam, namun ketegangan massa justru menyala lebih terang. Lewat api, protes mendapatkan visual yang membakar ingatan bahwa rakyat yang marah akan tetap bersuara. Walaupun dalam gelap. Protes malam 29 Agustus 2025 di Mapolda DIY adalah momen penting bagi Yogyakarta dan Indonesia. Di satu sisi, itu adalah amarah rakyat yang menjadi suara kolektif atas kematian Affan Kurniawan dan dominasi kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI