Mohon tunggu...
Recia KurniaRachman
Recia KurniaRachman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ

Hallo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hubungan Gender dan Kekuasaan dengan Kekerasan Seksual di Lingkuangan Akademik

17 Desember 2022   14:51 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:17 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : balairungpress

Menguti dari laman kemdikbud, kekerasan seksual merupakan perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang atau bertindak terhadap tubuh seseorang yang berkaitan dengan nafsu seksual atau terhadap fungsi repsoduksi seseorang yang disebabkan adanya ketimpangan relasi kuasa dan/ atau gender dan berdampak pada penderitaan psikis, fisik, termasuk gangguan kesehatan reproduksi seseorang serta hilangnya kesempatan untuk melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal

.[7] Selain itu menurut WHO  kekerasan seksual merupakan perilaku seseorang yang menuju pada seksualitas orang lain tanpa persetujuan disertai unsur paksaan serta ancaman.[8] Contoh kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual, perbudakan seksual, perkawinan paksa, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Kerasan ini termasuk dalam kategori kejahatan asusila. Berdasarkan perspektif sosiologi, kejahatan merupakan tindakan atau tingkah laku manusia yang tidak hanya merugikan korban tetapi juga merugikan masyarakat serta dapat menimbulkan hilangnya keseimbangan, ketertiban, dan ketentraman dalam masyarakat.[9] 

Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja baik itu di lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan pendidikan. Pelaku dari kekerasan ini cenderung merupakan orang yang dekat dengan korban seperti teman, pacar, anggota keluarga, dosen, guru agama, namun pada sebagian kasus pelaku kekerasan seksual juga datang dari stranger atau orang yang tidak dikenal.

Adapun penyebab dari kekerasan seksual yaitu stereotip dan relasi kuasa. Pertama stereotip, stereotip adalah pemberian label yang cenderung negative kepada orang lain atau sekelompok orang. Dalam kasus kekerasan seksual sering kali perempuan yang disalahkan baik itu karena pakaian atau perilakunya. Selain itu anggapan dari pelaku bahwa seseorang (korban) ini lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa. 

Korban dari kekerasan seksual lebih dominan dialami oleh kaum perempuan dan pelaku dominan laki-laki. Stereotip negative umumnya ditujukan kepada perempuan contoh perempuan suka berdandan, menggunakan pakaian yang seksi sehingga menarik perhatian laki-laki.[10] Menurut Faturani pengaduan kekerasan seksual berbasis gender (KBG) di Indonesia tahun 2021 sebanyak 327.629 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan mengalami peningkatan di tahun 2022 sebanyak 50% dengan  total 338.496 kasus.[11] Hal ini menunjukan adanya ketimpangan gander. 

Gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender tidak dilihat secara biologis melainkan perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh struktur masyarakat melalui konstruksi budaya.[12] Dengan adanya gender ini pula yang membedakan karakteristik feminis dan maskulin. Feminis yaitu sifat-sifat yang menggambarkan keperempuanan seperti lemah lembut, penyanyang, keibuan, sabar, penurut, dan lain sebagainya. 

Perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, inferior, sering ditindas, dieksploitasi, tidak bebas menentukan kehidupan dan mengontrol tubuhnya, dan bergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-laki dianggap sebagai pihak yang kuat, superior, berkuasa, pemimpin, pembuat keputusan, dan lain sebagainya. Hal ini yang terkadang membuat laki-laki merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala hal termasuk tubuh perempuan. 

Kedua, relasi kuasa. Dalam relasi kuasa tentu ada dua kelompok yaitu pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Hal ini ditentukan oleh banyak hal seperti kepemilikan modal, pengetahuan, dan struktur sosial. Ketika seseorang mempunyai kekuasaan mereka tentu memiliki wewenang dalam bertindak. Namun kekuasaan sering kali disalahgunakan untuk memenuhi hasrat pribadi seperti yang berkaitan dengan seksual. Seseorang (pelaku) cenderung merasa berkuasa atas orang lain (korban) sehingga ia dapat melakukan apapun yang ia inginkan. Contoh relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, orang tua dan anak, bos dan karyawan. Dalam kasus kekerasan seksual akibat relasi kuasa sering kali disertai pemaksaan dan ancaman oleh pelaku.

Kasus

Menguti dari detik.com pada tahun 2021 terdapat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang dosen di salah satu universitas swasta di Semarang.[13] Dosen tersebut melakukan pemerkosaan terhadap mahasiswa disertai dengan ancaman nilai akademik korban. Tidak disebutkan secara rinci inisial pelaku, korban, serta TKP atau nama universitas swasta yang dimaskud dalam kasus ini. Namun yang diketahui bahwa belaku sudah beristri. Menurut Annizar (2021) lembaga bantuan hukum asosiasi perempuan indonesi untuk keadilan (LBH APIK) Semarang enggan mengungkapkan secara rinci mengenai identitas kasus tersebut.[14] 

Adapun kronologi kasus kekerasan seksual antara dosen dan mahasiswa di Universitas Swasta di Semarang berdasarkan keterangan Citra selaku pendamping korban dari LRCKJ HAM atau Legal Resources Center Untuk Kedilan Jender Dan Hak Asasi Manusia yakni awalnya pelaku (dosen) mengenal korban (mahasiswa) disemester 3 karena ia mengampu salah satu mata kuliah yang diambil oleh mahasiswi tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun