Mohon tunggu...
Rebecca Julia Henny Damanik
Rebecca Julia Henny Damanik Mohon Tunggu... SMA UNGGUL DEL

currently work as a high school student

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Binotoan ni Marga : Mengulik Perilaku Non-Konformitas & Eksklusivitas Sosial dalam Masyarakat Batak

29 September 2025   14:22 Diperbarui: 29 September 2025   14:21 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Scene dalam Film Ngeri-Ngeri Sedap, pesta adat Batak (Sumber : Indoraya News)

Bicara soal Batak, kita nggak bisa jauh-jauh dari marga. Marga itu bukan cuma nama keluarga, tapi kayak kartu identitas sosial yang nentuin siapa kita, posisi kita, dan gimana hubungan kita sama orang lain. Sistem patrilineal yang berjalan itu bikin garis keturunan cuma diterusin lewat anak laki-laki. Nah, anak perempuan kadang jadi 'korban', gak dapat warisan sama rata, dan perannya di keluarga kadang cuma jadi parhobas alias pelayan acara adat. Rasanya nggak adil banget, tapi ini real deal yang masih banyak terjadi sampai sekarang. 

Ketidaksetaraan ini bukan hanya mengakibatkan pembagian warisan yang timpang, tetapi juga menimbulkan masalah sosial yang berkelanjutan, memunculkan rasa marah, tidak diakui, dan tertarik untuk melakukan perlawanan terhadap norma yang ada.

Fenomena ini secara jelas diangkat dalam film "Ngeri-Ngeri Sedap", yang mengisahkan keluarga Batak dengan segala konflik dan perjuangan perempuan yang sulit mendapat hak setara dalam sistem patriarki yang kaku. Adegan film menggambarkan betapa perempuan, walaupun berjuang keras, masih harus menghadapi ketegangan antara tradisi yang kuat dan dorongan untuk perubahan. "Aku juga manusia, Pak," ucap Sarma, satu-satunya anak perempuan di keluarga dalam Film Ngeri-Ngeri Sedap. Kalimat ini menunjukkan pergolakan batin perempuan Batak modern yang terkurung dalam aturan adat.

Selain isu diskriminasi gender, masyarakat Batak juga menghadapi stereotipe keras, vokal, dan sering dianggap keras kepala oleh masyarakat luas. Stereotipe ini menguatkan eksklusivitas sosial di mana mereka yang berani berbeda atau menolak norma adat---terutama terkait pengelompokan marga, sering mendapat sikap negatif dan perlawanan sosial. Eksklusivitas marga bisa diibaratkan sebagai benteng sosial yang menjaga identitas dan solidaritas tradisional, tetapi sekaligus membatasi ruang ekspresi individu, apalagi di tengah kampung halamannya sendiri. 

Perempuan dalam Keluarga Batak, bertani sambil menjaga anak. (Sumber : Batak Network)
Perempuan dalam Keluarga Batak, bertani sambil menjaga anak. (Sumber : Batak Network)

Dari perspektif sosiologis, marga merupakan kelompok sosial primer yang berlandaskan solidaritas emosional dan kekerabatan erat, mirip dengan konsep solidaritas mekanik. Hubungan antaranggota marga dibangun di atas kesamaan nilai budaya, adat, dan darah yang kuat. Filosofi Dalihan Na Tolu menjadi acuan utama yang mengatur hubungan timbal balik dalam kehidupan masyarakat Batak, dengan tiga komponen utama yakni marhulahula (keluarga pihak istri), dongan sabutuha (saudara se-marga), dan marboru (keluarga pihak suami). Ketiga kelompok ini memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan dan keharmonisan sosial. 

Namun, dengan perkembangan zaman, solidaritas ini mulai mengalami kemajuan. Masyarakat Batak kini semakin banyak terlibat dalam interaksi sosial yang bersifat formal dan instrumental, yang dikenal sebagai solidaritas gesellschaft. Hubungan ini lebih berdasarkan kebutuhan fungsional, seperti dalam ranah pekerjaan, pendidikan, dan organisasi yang multi-etnis. Solidaritas ini membawa dinamika baru dalam berinteraksi di luar lingkup keluarga dan marga, sekaligus menantang nilai-nilai tradisional yang selama ini mengatur. 

Ketegangan antara mempertahankan tradisi dan mengadopsi perubahan sosial ini menimbulkan dinamika yang menarik, khususnya di kalangan perempuan dan generasi muda Batak. Mereka mulai mempertanyakan eksklusivitas marga dan aturan warisan yang timpang, menjadi wujud perlawanan terhadap norma lama yang dirasa sudah tidak relevan. Perempuan muda Batak bersikeras untuk turut bekerja selain menjadi ibu rumah tangga, bahkan banyak yang menjunjung pendidikan tinggi hingga ke negeri orang. Sikap non-konformis ini merupakan harapan bagi terwujudnya masyarakat Batak yang lebih terbuka, inklusif, dan egaliter, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya yang sudah jadi identitas mereka.

Kisah nyata ini juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari di banyak komunitas Batak, baik di kampung maupun perantauan, dimana perempuan mulai berani mengemukakan pendapat dalam pengambilan keputusan keluarga dan menuntut hak waris yang adil. Sementara para anak muda mencoba membangun ruang diskusi dan organisasi yang tidak hanya berdasar marga, tetapi juga berdasarkan visi dan kepentingan sosial yang lebih luas, terkhususnya bagi masyarakat Batak di perantuan yang mem

Kesimpulannya, kehidupan sosial masyarakat Batak adalah perpaduan antara solidaritas mekanik yang erat dan solidaritas gesellschaft yang semakin diperlukan di era modern. Menghadapi stereotipe dan diskriminasi, mereka yang berani berbeda, baik perempuan maupun generasi muda, menjadi pionir transformasi sosial yang menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi komunitas masyarakat Batak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun