Mohon tunggu...
Rokhmin Dahuri Institute
Rokhmin Dahuri Institute Mohon Tunggu... Dosen - Rokhmin Dahuri

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI); Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Pusat; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands Province and Busan Metropolitan City, Republic of Korea to Indonesia; dan Menteri Kelautan dan Perikanan – RI (2001 – 2004).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pembangunan Berkelanjutan dalam Perspektif Islam

30 Juni 2021   08:39 Diperbarui: 30 Juni 2021   08:46 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sejak Revolusi Industri Pertama pada 1750-an, Kapitalisme sebagai mahzab ekonomi utama dunia telah memacu pertumbuhan ekonomi global rata-rata 3,5 persen per tahun. Dan, meningkatkan PDB Dunia dari  0,5 trilyun dolar AS pada 1753 menjadi 100 trilyun dolar AS pada 2019 (Bank Dunia, 2019).  Kapitalisme pun sukses menciptakan ekosistem kondusif bagi inovasi IPTEK yang telah melahirkan empat gelombang Revolusi Industri.  Sejak tahun 2000, dunia memasuki Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0) yang berbasis pada teknologi digital,  Artificial Intelligence, Internet of Things, Bioteknologi, dan Nanoteknologi.  Pesatnya kemajuan tekonologi telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang dan produktif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman. 

            Namun, hingga kini belum semua negara-bangsa di dunia sudah maju dan makmur (high-income country) dengan PDB per kapita diatas 11.750 dolar AS.  Dari 194 negara anggota PBB, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan PDB per kapita antara 2.000 – 11.750 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan PDB per kapita kurang dari 2.000 dolar AS (UNDP, 2018).  Pada 2020, PDB per kapita Indonesia baru mencapai 4.000 dolar AS.  Ironisnya, dewasa ini sekitar 1 milyar (14%) penduduk dunia masih fakir dengan pengeluaran kurang dari 1,25 dolar AS per hari, dan sekitar 3 milyar warga dunia (40%) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2 dolar AS per hari. Sekitar 1,3 milyar warga dunia hidup di pemukiman yang tidak teraliri jaringan listrik; dan 2,6 milyar orang hidup di pemukiman dengan sanitasi buruk (UNDP dan Bank Dunia, 2020).

Kapitalisme juga telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi semakin melebar.  Pada tahun 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90 persen.  Pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750 persen.  Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50 persen penduduk dunia yang termiskin. Pada 2017 jumlah orang terkaya dengan total kekayaan sama dengan yang dimiliki oleh 50 persen penduduk dunia termiskin, berkurang menjadi hanya 8 orang (Oxfam International, 2018).

Yang lebih mencemaskan, Kapitalisme juga telah menimbulkan pencemaran, degradasi ekosistem alam, terkikisnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), Perubahan Iklim Global, dan berbagai jenis kerusakan lingkungan lainnya. Intensitas kerusakan lingkungan tersebut sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem bumi dalam mendukung pembangunan ekonomi, dan bahkan kehidupan umat manusia itu sendiri (Sach, 2015; Al Gore, 2017). 

Maka, tantangan utama peradaban di abad-21 ini adalah bagaimana membangun ekonomi dan mendayagunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, menciptakan lapangan kerja, dan menyejahterakan seluruh warga dunia.  Dan, secara simultan merestorasi kerusakan lingkungan, serta menjaga daya dukung dan kualitas lingkungan bumi sebagai tempat tinggal kita bersama yang lebih baik dan berkelanjutan.

Akar permasalahan

            Sejatinya upaya global untuk menanggulangi kerusakan lingkungan dimulai sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Pembangunan dan Lingkungan yang diprakarsai oleh PBB pada 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia.  Sejak saat itu, hampir semua negara di dunia mendirikan Kementerian Lingkungan Hidup dan memiliki kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) untuk mengharmoniskan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Pada Juni 1992 PBB menyelenggarakan Konferensi Dunia Kedua tentang Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro, Brazil atau dikenal dengan ’the Rio Earth Summit’.  Konferensi ini menghasilkan tiga kesepakatan global, yakni the UN Framework Convention on Climate Change, the Convention on Biodiversity, dan the UN Convention to Combat Disertification.  Pada September 2000 PBB mendeklarasikan the Millennium Development Goals (MDGs) untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan global sebesar 50 persen pada 2015.  Karena banyak target dari ketiga Konvensi Lingkungan Global itu tidak tercapai.  Maka, pada  Juni 2012 PBB kembali mengadakan Konferensi Dunia Ketiga tentang Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro, atau dikenal dengan the Rio+20 Summit.  Konferensi ini menghasilkan dokumen kesepakatan berjudul ’The Future We Want’.  Sebagai kelanjutan dari MDGs, PBB pun berkomitmen untuk mewujudkan 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals = SDGs) pada 2030.

Setelah enam tahun pelaksanaan SDGs, beberapa target seperti penurunan angka kemiskinan dan kelaparan sudah mulai membuahkan hasil.  Meskipun sejak Pandemi Covid-19 pada Desember 2019 kedua masalah global itu membengkak lagi.  Tetapi, yang mengkhawatirkan adalah bahwa berbagai macam kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, biodiversity loss, dan pemanasan global justru semakin parah.  Pada 2020 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah peradaban manusia. Bila laju emisi CO2 seperti sekarang, suhu bumi bakal meningkat sebesar 1,50C pada 2030 dibandingkan sebelum Revolusi Industri Pertama.  Padahal, bila peningkatan suhu bumi lebih dari 20C, maka dampak negatif akibat pemanasan global (seperti naiknya permukaan laut, gelombang panas, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, dan ledakan wabah penyakit) akan sulit atau tidak bisa ditanggulangi dengan IPTEK yang ada sekarang (IPCC, 2019; PBB, 2021).

Pertanyaannya kemudian, mengapa upaya mondial dalam mengatasi kerusakan lingkungan sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti  yang kita harapkan?.  Karena selama ini hampir semua kebijakan dan program penanggulangan kerusakan lingkungan hanya menyentuh fenomenanya, bukan akar masalahnya.  Contohnya, dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah  ’ala kadarnya’ kepada negara-negara berkembang (miskin). Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, negara-negara industri maju sendiri tidak mau mengurangi emisi CO2.  Saat ini negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil.  Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita.  Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita (IPCC, 2019).  Ketidak-adilan iklim inilah yang merupakan  ‘biang kerok’ dari pemanasan global. Contoh lain adalah moratorium penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik di negara yang tingkat penganggurannya tinggi, tanpa memberikan solusi alternatifnya. Maka, nelayan pun melawan pemerintah, alias tidak mematuhi regulasi tersebut.

Akar masalah kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu wilayah (Kabupaten, Propinsi, Negara, atau Dunia) adalah manakala tingkat permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan melampaui Daya Dukung Lingkungan (DDL) dari wilayah tersebut.  Contohnya, pencemaran perairan Teluk Jakarta yang terjadi sejak 1980-an itu, karena laju buangan limbah dari berbagai aktivitas manusia yang masuk ke dalam Teluk lebih besar ketimbang kapasitas asimilasi Teluk Jakarta untuk menetralisir limbah tersebut. Pemanasan global terjadi sejak 1980-an, karena kemampuan atmosfer untuk menetralisir CO2 dan GRK (Gas Rumah Kaca) lainnya terlampaui oleh laju emisi GRK tersebut.  Overfishing dan kepunahan jenis ikan terjadi, karena tingkat penangkapan ikan melebihi potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield) ikan suatu ekosistem perairan. Demikian juga halnya dengan kerusakan hutan (deforestasi) itu terjadi, karena kita menebang pohon hutan melebihi kemampuan ekosistem hutan dalam menghasilkan pohon per satuan waktu, menebang pohon berukuran lebih kecil dari ukuran lestari, dan mengkonversi hutan lindung untuk perkebunan, pertambangan, dan kegiatan ekonomi lainnya.

Nilai-nilai Islam

DDL suatu wilayah adalah kemampuan maksimum wilayah tersebut untuk mendukung kehidupan jumlah manusia tertentu secara sehat dan sejahtera.  DDL suatu wilayah ditentukan oleh: (1) luas wilayah tersebut, (2) kandungan SDA dan jasa-jasa lingkungan, (3) biodiversity, dan (4) kapasitas asimilasinya di dalam menetralisir limbah dan emisi. Dengan aplikasi teknologi, DDL suatu wilayah memang bisa ditingkatkan, tetapi ada batasnya.  DDL alamiah planet bumi diperkirakan mampu mendukung 9 milyar orang dengan kehidupan yang sejahtera, pendapatan rata-rata 12.500 dolar AS per tahun.  Melalui intervensi teknologi seperti restorasi ekosistem alam, 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle), low-carbon economy, bioteknologi, nanoteknologi, dan teknologi industry 4.0, DDL bumi dapat ditingkatkan menjadi sekitar 12 milyar orang (Goldin, 2014). Sementara itu, permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan di suatu wilayah bergantung pada: (1) jumlah orang; (2) penggunaan lahan per kapita untuk pemukiman, kawasan industri, infrastruktur, dan ruang kehidupan lainnya; (3) konsumi SDA per kapita; dan (4) laju produksi limbah dan emisi GRK per kapita.

Beranjak dari difinisi DDL dan fungsi permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan diatas, maka pembangunan berkelanjutan secara teknis dapat terwujud dengan cara: (1)  memelihara dan meningkatkan DDL bumi, dan (2) mengendalikan permintaan manusia terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan agar tidak melampaui DDL bumi.  Fakta bahwa pendekatan teknologi, hukum, dan politik semata tidak mampu mengerem laju kerusakan lingkungan sebagaimana diuraikan diatas, menunjukkan bahwa perlunya pendekatan spiritual (agama) di dalam mengatasi permasalahan lingkungan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, peraturan dan perundangan tentang lingkungan hidup acap kali justru dilanggar oleh orang atau bangsa yang kaya dan berkuasa (adi daya) yang punya hak veto di PBB. Bagi mereka, hukum bisa dibeli atau diatur sesuai kepentingannya. Bagi orang miskin dan lemah, memanfaatkan SDA secara tidak ramah lingkungan itu pada umumnya karena terpaksa, tidak ada alternatif lain.

Dalam Islam, merawat alam dan lingkungan hidup untuk mewujudkan kesejahteraan bersama itu merupakan kewajiban bagi orang-orang beriman (QS. 2: 21 dan 22).  Selain itu, gegitu banyak ayat Al-Qur’an (seperti QS. 2: 27, QS. 30: 41, dan QS. 55: 8) dan Hadits yang berisi larangan untuk mencemari dan merusak lingkungan hidup.  Islam pun mewajibkan umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros, berhenti makan sebelum kenyang, tidak boleh membuang-buang air meski saat berwudlu, dan tidak memubazirkan SDA.  Menumpuk harta, mencari dan membelanjakan harta secara haram pun dilarang oleh Allah SWT.  Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk berbagi harta, ilmu, dan rezeki lainnya kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan, kaum fakir, miskin, dan musafir.  Islam juga mewajibkan umatnya untuk berlaku jujur, adil, dan menyayangi sesama, rahmatan lil a’lamin.  Dengan perkataan lain, Islam mewajibkan muslim untuk memelihara dan meningkatkan DDL bumi, dan membatasi permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan. Bagi Umat Islam, merawat bumi dan melestarikan lingkungan hidup juga merupakan salah satu wujud ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam semesta.

Karena dalam Islam implikasi (balasan) bagi seseorang yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu bukan hanya berlaku di dunia, tetapi juga di akhirat.  Dimana, balasan bagi mereka yang menjalankan perintah Allah adalah surga berupa kenikmatan dan kebahagiaan sepanjang masa. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak menunaikan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya akan menjadi penghuni neraka berupa azab dan penderitaan abadi.  Dan, ‘siksa neraka yang paling ringan adalah berupa seseorang dipasang kakinya dengan terompah, lalu mendidihlah ubun-ubunnya’ (Hadits).  Maka, buat muslim dan muslimat yang beriman pasti akan menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup dengan sepenuh hati dan ikhlas.

Jadi, kombinasi secara sinergis pendekatan teknokratis dan spiritual diyakini akan mampu mengatasi segenap permasalahan lingkungan hidup, dan menjadikan bumi lebih baik, sejahtera, damai, dan berkelanjutan.

Artikel ini telah terbit di koran kompas hari Rabu, 30 Juni 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun