Tidak seperti yang selama ini terjadi, ketimpangan sosial baik dalam suatu negara maupun antar negara cenderung semakin melebar. Pada tahun 1800, perbedaan antara total PDB negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara dengan negara-negara berkembang (miskin) sebesar 90 persen.Â
Pada tahun 2000, perbedaanya melonjak secara fenomenal menjadi 750 persen. Selain itu, pada 2010 total kekayaan 388 orang terkaya di dunia lebih besar dari total kekayaan 50 persen penduduk dunia (3,3 milyar orang) kelas menengah -- bawah. Â
Kemudian, pada 2017 delapan orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan melebihi total kekayaan 50 persen penduduk dunia kelas menengah --bawah yang jumlahnya semakin naik menjadi 3,6 milyar jiwa (Oxfam International, 2017).
Ketimpangan sosial juga menjadi masalah utama bangsa Indonesia, dimana 1 persen orang terkayanya memiliki total kekayaan hampir 50% total kekayaan negara (Credit Suisse's Global Wealth Report, 2016).
Penduduk atau bangsa yang kaya mengkonsumsi/menggunakan SDA dan membuang limbah serta emisi GRK jauh lebih besar ketimbang penduduk miskin atau negara berkembang. Contohnya, penggunaan/konsumsi SDA termasuk baja dan konsumsi pangan (protein, mineral, dan vitamin) di negara-negara industri maju itu 70 dan 20 kali lebih besar ketimbang di negara-negara berkembang (WCED, 1987). Negara-negara maju membuang (emisi) CO2 sebesar 10 -- 20 ton/orang/hari.
Sedangkan, negara-negara berkembang hanya 0,2 -- 2 ton/orang/hari (Waton, 2007). Dalam konteks ini, boleh jadi benar pernyataan propetik Mahatma Gandhi bahwa "Bumi ini mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia, tetapi dia tidak mungkin mampu memenuhi keserakahan manusia" (Schumacher, 1973).Â
Oleh karena itu, pada tataran mondial, pembangunan berkelanjutan hanya bisa terwujud, bila negara-negara dengan pendapatan perkapita diatas 12.000 dolar AS rela mengerem laju pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan SDA, dan pembuangan limbah dan emisi GRK nya.
Pada saat yang sama, negara-negara maju membantu negara-negara berkembang supaya penduduknya semua hidup sejahtera dengan pendapatan perkapita rata-rata 8.000 dolar AS. Kemudian, bangun sistem dan mekanisme perdagangan serta hubungan internasional yang lebih adil dan saling menghormati serta menguntungkan.
Pada tataran praksis, Ekonomi Sirkular mengarus utamakan pembangunan ekonomi yang bersifat rendah/tanpa limbah dan emisi GRK, penggunaan SDA secara produktif dan efisien tidak melebihi kemampuan lestari (sustainable capacity) nya, penggunaan produk (barang) untuk waktu yang lebih lama (extending product lifetime), penggunaan teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle) untuk mengubah limbah menjadi berkah, green design and construction, mitigasi dan adaptasi bencana alam (global warming, tsunami, gempa bumi, dan banjir), dan peningkatan nilai tambah serta daya saing produk secara berkelanjutan.
Rokhmin Dahuri
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan -- IPB