Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tujuh Dekade Berada, Pembangunan Bekasi Belum Merata

2 Juli 2019   08:39 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:43 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://nasional.republika.co.id

Pada 15 Agustus 2019, Kabupaten Bekasi akan merayakan ulang tahunnya yang ke 69. Tak terasa, kabupaten yang kita cintai ini sudah hampir berumur tujuh dekade. Selama kurun waktu ini, Kabupaten Bekasi mengalami transformasi yang cukup mencengangkan. Sebuah transformasi yang membentuk kabupaten kita menjadi salah satu pusat industri di Indonesia.

Bagaimana proses industrialisasi Kabupaten Bekasi? Pada tahun 1974, pemerintah menelurkan kebijakan perencanaan Jabodetabek. Dalam rencana ini, Kabupaten Bekasi dicanangkan menjadi sebuah pusat industri penyangga DKI Jakarta (jabarprov.id, 2018). Namun, pelaksanaannya baru dimulai pada tahun 1989 dengan pembangunan Kawasan Industri Jababeka Tahap I seluas 500 hektar (Muhammad dalam republika.co.id, 2017).

Tiga dekade kemudian, Kabupaten Bekasi memiliki tujuh kawasan industri. Ketujuh kawasan ini menampung 2.125 unit pabrik dari 25 negara. Kini, Kabupaten Bekasi menyumbang 34,46% dari penanaman modal asing (PMA) di Indonesia (finance.detik.com, 2017).

Seharusnya, potensi ekonomi ini dapat dimanfaatkan untuk membangun seluruh wilayah Kabupaten Bekasi. Tetapi, pengamatan penulis sebagai warga Kabupaten Bekasi berlawanan dengan ideal ini. Pembangunan justru terpusat di wilayah Cikarang, di mana mayoritas tujuh kawasan industri itu berada.

Sementara, pembangunan di wilayah seperti Babelan, Tarumajaya, Muara Gembong, dan wilayah pinggiran lainnya masih cukup tertinggal. Akses transportasi menuju wilayah-wilayah tersebut masih belum memadai. Fasilitas publik juga tidak selengkap pusat industri seperti Cikarang. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggiran.

Belum memadainya akses transportasi dibuktikan dengan jalan raya yang hancur. Akses utama seperti Jalan Raya Babelan tak kunjung diperbaiki sampai sekarang (Febryan dalam nasional.republika.co.id, 2019). Selain itu, Jalan Raya Kali CBL sebagai akses utama menuju Tarumajaya juga rusak parah. Kondisinya miring, retak, dan sangat berlubang.

Sementara, ketersediaan fasilitas publik yang timpang dibuktikan dengan ketiadaan sarana olahraga pada tiga kecamatan di Kabupaten Bekasi (gobekasi.pojoksatu.id, 2018). Dalam sektor pelayanan publik, kecamatan seperti Babelan belum mampu memberikan pelayanan publik yang efisien (Wijayakusuma dalam news.okezone.com, 2018).

Lantas, apa penyebab masalah ini? Ketimpangan pembangunan ini terjadi karena tiga faktor Pertama, orientasi pembangunan yang belum dilaksanakan di lapangan. Kedua, reformasi birokrasi yang masih minim di lapangan. Ketiga, pemerintah kabupaten yang kurang sigap terhadap kebutuhan rakyatnya.

Mari kita uraikan masing-masing penyebabnya. Orientasi pembangunan Kabupaten Bekasi sendiri sudah benar, yaitu "membangun desa dari pinggiran". Ini sesuai dengan visi Nawacita Presiden Jokowi (Ghazali dalam jp-news.id, 2019). Sayangnya, bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa orientasi ini terhenti pada sloganisme semata.

Mengapa bisa demikian? Sebab mentalitas para birokrat di Kabupaten Bekasi masih belum direformasi. Mayoritas birokrat dalam pemerintahan di Kabupaten Bekasi masih menganut mentalitas lama. Sebuah mentalitas di mana pegawai pemerintah, PNS maupun honorer bertanggung jawab pada atasan, bukan kepada masyarakat secara langsung.

Secara otomatis, birokrasi yang tidak akuntabel melahirkan sebuah pemerintahan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Penyebab ini tercermin dalam laman LAPOR! Kabupaten Bekasi. Semua laporan yang diberikan masyarakat belum diproses lebih dari lima hari kemudian. Tandanya, disposisi dari platform LAPOR! dibiarkan begitu saja.

Jika ketiga penyebab terus dibiarkan, akan muncul dua akibat yang berbahaya. Pertama, masyarakat wilayah pinggiran Kabupaten Bekasi merasa dianaktirikan. Perasaan ini berujung pada apatisme terhadap segenap jajaran pemerintahan. Kedua, melebarnya kesenjangan ekonomi antara penduduk wilayah pusat industri dengan penduduk wilayah pinggiran.

Masyarakat pinggiran merasa dianaktirikan karena minimnya pembangunan di wilayah pinggiran. Sehingga, muncul rasa ketidakadilan dalam masyarakat. Ketidakadilan inilah yang memicu apatisme di hati penduduk wilayah pinggiran. Jika dibiarkan, apatisme ini bisa memicu bahaya bagi Kabupaten Bekasi

Apatisme ini semakin bergolak, sampai lebih dari 85% dari mereka menuntut pemekaran Kabupaten Bekasi Utara (posbekasi.com, 2019). Aspirasi ini jelas muncul dari keinginan masyarakat pinggiran untuk membangun wilayah mereka. Lagipula, mereka tidak menikmati pembangunan secara penuh selama menjadi wilayah Kabupaten Bekasi.

Ketika pembangunan tidak dinikmati di wilayah pinggiran, kesenjangan ekonomi menjadi akibatnya. Kesenjangan ini menimbulkan backwash effect yang menekan pertumbuhan ekonomi wilayah pinggiran. Kalau ini terus terjadi, potensi ekonomi Kabupaten Bekasi sebagai pusat industri nasional bisa menurun (declining) dalam jangka panjang.

Tentu saja, kita semua tidak mau akibat-akibat di atas terjadi. Sehingga, diperlukan sebuah solusi konkret untuk mengatasinya. Apa saja solusi-solusi tersebut?

Pertama, segera perbaiki jalan penghubung dan bangun fasilitas publik di wilayah pinggiran melalui CSR dan PPP. Kedua, rombak sistem penggajian PNS dan honorer menjadi sistem berbasis Key Performance Indikator (KPI). Ketiga, lakukan kerjasama dengan pihak start-up untuk membuat aplikasi pengaduan warga dan respon opini publik yang efisien.

Mengapa solusi yang pertama tidak mengandalkan APBD saja? Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa proyek yang mengandalkan APBD saja tidak berkelanjutan dan sering seret dana. Untuk mengatasinya, diperlukan cara baru dalam mendanai pembangunan. Apa saja cara baru tersebut?

Sebagai pusat industri, dana corporate social responsibility dan public-private partnership adalah alternatif yang cocok. Keduanya memberikan kesempatan bagi sektor swasta yang masif untuk terlibat dalam pembangunan infrastruktur publik. DKI Jakarta saja mampu membangun Taman Kalijodo dari dana CSR, masa Kabupaten Bekasi tidak?

Solusi kedua adalah upaya untuk merombak insentif bagi pegawai pemerintah Kabupaten Bekasi. Prinsipnya, kenaikan tunjangan kinerja pegawai (TKD) pegawai harus sejalan dengan kenaikan produktivitas. Pegawai dengan produktivitas tinggi menerima TKD yang besar, begitu juga sebaliknya (Purnama, 2018:38).

Solusi ketiga adalah upaya untuk membangun jembatan digital antara warga dengan pemerintah daerah (pemda). Warga dapat mengadukan keluhannya secara langsung serta memantau proses penyelesaian keluhan tersebut. Jembatan inilah yang menjadi awal dari sistem Smart City yang responsif di Kabupaten Bekasi (Purnama, 2018:71).

Ketiga solusi ini bukan ramuan ajaib. Ia tidak dapat menyelesaikan masalah kesenjangan pembangunan dalam satu malam. Tetapi, jika ketiganya berhasil diterapkan, wilayah pinggiran Kabupaten Bekasi pasti mengalami transformasi pembangunan yang berkelanjutan. Akhirnya, pembangunan kita makin merata.

SUMBER

Purnama, Basuki Tjahaja. 2018. Kebijakan Ahok. Jakarta: Basuki Solusi Konsultindo.

Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun