Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pergi untuk Kembali, Hubunganku dengan Kepenulisan

27 Mei 2019   14:59 Diperbarui: 27 Mei 2019   15:02 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya, penulis baru sempat membuka lagi akun ini, setelah beberapa waktu tidak menengok berbagai platform menulis sama sekali. Koq bisa? Ternyata, alur hidup ini membawa penulis untuk (sementara) menjauh dari kepenulisan. Ada sebuah "pertempuran" penting yang harus penulis tuntaskan dengan baik, dan kepenulisan must take a backseat priority for a while. 

Apa pertempuran tersebut? Pertempuran itu adalah pertempuran menuju Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sekarang, namanya dikenal sebagai Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) dan dilanjutkan oleh Seleksi Bersama Menuju Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Semakin kesini, ujian ini semakin sulit saja. Apalagi tahun ini, di mana soal yang diujikan sudah menggunakan higher order thinking skills (HOTS). 

Lalu, bagaimana cerita penulis sampai mengikuti UTBK-SBMPTN? Kisah ini berawal pada 24 Maret 2019, tanggal di mana hasil SNMPTN diumumkan. Ternyata, penulis belum lulus seleksi menuju univeristas negeri pada fakultas yang diinginkan. Ketika mengetahui hal tersebut, muncul sebuah perasaan goyah dan sedih di dalam diri. 

Kalau digambarkan, rasanya seperti sebuah pesawat yang mengalami turbulensi di udara. Penulis serasa jatuh beberapa kaki ketika membaca pengumuman tersebut. 

Namun, keterbatasan waktu mendorong penulis untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Justru, penulis memilih segera bersiap-siap untuk mengikuti UTBK-SBMPTN. Maka, penulis mulai mengikuti berbagai try out dan memelajari berbagai materi yang berkaitan dengan UTBK-SBMPTN. Kalau tidak, bisa-bisa penulis gagal untuk kedua kalinya. 

Dalam proses ini, penulis merasa seperti seorang pendaki yang mencoba menaklukkan sebuah gunung yang belum pernah ia daki sebelumnya. Atau sebuah kapal perang yang sedang berlayar di lautan terasing nan buas. 

Lebih lagi, hanya ada waktu satu bulan untuk melakukan ini semua. Sehingga, penulis harus mencurahkan sebagian besar waktu dan energi penulis untuk UTBK-SBMPTN ini. Ada banyak hal yang harus penulis "tinggalkan" sementara waktu. Salah satu hal tersebut adalah menulis. 

Bagaimana rasanya meninggalkan dunia kepenulisan selama hampir dua bulan? Tidak enak. Penulis merasa seperti tercabut dari media aktualisasi diri, sekaligus hobi yang sangat produktif ini. Muncul sebuah kehampaan di dalam diri yang belum pernah penulis rasakan sebelumnya. Untung saja the siege mentality dan kemauan untuk menang berhasil mendominasi kehampaan tersebut. 

Tetapi, dominasi bukan berarti kehampaan tersebut hilang dengan sendirinya. Kehampaan itu tetap ada, dan menjadi semakin dalam. Begitu dalam, sampai-sampai penulis berkomitmen kepada diri sendiri, "Setelah 25 Mei, saya harus kembali menulis dan lebih produktif dari sebelumnya." Semoga penulis berhasil mewujudkan komitmen ini. 

Memang, apa sih manfaat dari menulis secara produktif? Hairston (dalam Susanto, 2015:12), menyatakan bahwa menulis secara produktif memiliki empat manfaat utama. Pertama, meningkatkan kecerdasan seseorang. Kedua, mengembangkan inisiatif dan kreativitas penulis. Ketiga, menulis secara produktif juga mendorong keberanian.  

"Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, ia akan menjadi lemah," kata Pramoedya Ananta Toer. Menulis adalah salah satu bentuk latihan keberanian tersebut. Terakhir, menulis secara produktif juga mendorong kemauan dan kemampuan mencari informasi dari sang penulis itu sendiri. 

Penjelasan di atas mengemukakan manfaat menulis produktif secara teoritis. Memang benar, penulis sendiri merasakan keempat manfaat di atas. Namun, penulis percaya bahwa manfaat itu tidak berhenti di sini. Ada suatu perasaan sentimental tersendiri, yang membuat menulis juga bermanfaat bagi jiwa. 

Premis ini memiliki tiga argumen dasar yang mendukungnya. Pertama, menulis mengungkap the true self  dari sang penulis. Kedua, menulis adalah outlet terbaik bagi suara jiwa manusia. Ketiga, menulis juga mengizinkan manusia untuk memperluas horizon jiwanya. 

Apa itu the true self? True self  atau kepribadian sebenarnya adalah keseluruhan dari potensi seseorang yang dapat diwujudkan dalam lingkungan budaya dan sosial yang ideal (psychologydictionary.org, 2013). Kepribadian ini dapat ditemukan dalam diri setiap umat manusia. Mulai dari pekerja sosial sampai pelaku kriminal, semua memiliki true self. 

Namun, ada satu hal penting yang menentukan muncul atau tidaknya kepribadian tersebut; Keberadaan medium untuk mengaktualisasikan dirinya. Menulis adalah salah satu medium terbaik untuk memunculkan true self manusia. Mengapa? Sebuah tulisan adalah cermin yang merefleksikan unsur SWOT (strengths, weaknesses, oppiortunities, dan threats) dari penulisnya.  

Gambar boleh berbicara ribuan kata. Namun tulisan menggambarkan kepribadian sebenarnya dari diri seseorang. 

Lalu, dari mana SWOT seseorang muncul dari menulis? Pertanyaan inilah yang membawa kita pada argumen kedua. Menulis adalah outlet terbaik dari suara jiwa manusia. Suara jiwa adalah sintesis dari pemikiran, perasaan, dan gut instinct manusia yang terinternalisasi dan menjadi bagian dari kepribadian seseorang. Jika tidak dikeluarkan, suara jiwa ini akan terpendam begitu saja, dan tidak berdampak apa-apa bagi orang lain. 

Memang, ada berbagai medium lain yang dapat mengeluarkan suara jiwa itu. Ada melukis, bermusik, sampai dengan curcol (curhat colongan) dengan orang lain. Tetapi, penulis percaya bahwa menulis memiliki perbedaan tersendiri. Mengapa? Menulis adalah satu-satunya medium yang mengizinkan manusia untuk curcol sesuka hatinya tanpa harus diinterupsi oleh orang lain. 

Ketika manusia sudah mampu mengeluatkan suara jiwa tersebut, jiwanya itu tidak akan menjadi kosong. Justru, jiwa itu mengalami perluasan horizon/pandangan. Ketika jiwa seseorang sudah bersuara tentang satu hal, ia pasti akan mencari hal lain yang membuat jiwanya tergugah. Mekanisme ini sudah menjadi bagian dari natur manusia. Tanpanya, manusia pasti akan merasakan kehampaan, seperti yang sudah penulis utarakan di atas. 

Tanpa menulis, jiwa ini mengalami stagnasi. Hal inilah yang membuat penulis tidak bisa lama-lama "pergi" dari kepenulisan. Pasti diri penulis segera ingin "kembali". Seperti judul lagu Melky Goeslaw, Pergi untuk Kembali. 

Sumber 

http://eprints.uny.ac.id/13241/2/BAB%20II.pdf. Diakses pada 26 Mei 2019. 

https://psychologydictionary.org/true-self/. Diakses pada 26 Mei 2019. 

 Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan di laman Qureta penulis

Link: https://www.qureta.com/post/pergi-untuk-kembali-1 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun