Pertama, penyakit sensian. Sensian sendiri berarti mudah tersinggung atau sangat sensitif. Saat ini, banyak pelaku politik kita yang sangat sensitif terhadap gejolak-gejolak politik yang terjadi. Bahkan, sensistivitas tersebut sudah berada di atas batas kewajaran. Mau bukti?
Politik Indonesia memiliki polemik "Tampang Boyolali" dan "Sontoloyo" yang menjadi bukti bahwa politisi kita sensian sekali. Amerika Serikat memiliki respon negatif Presiden Trump terhadap Alec Baldwin, yang menjadi impersonator Beliau di acara Saturday Night Live. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam perpolitikan Amerika Serikat, di mana umumnya Presiden AS bersahabat dengan aktor-aktor yang menirukan mereka dalam dunia komedi.
Bahkan, hal yang lebih parah terjadi di Inggris. Queen's Christmas Message 2018 pun dicibir oleh masyarakat. Pesan natal yang disampaikan oleh Ratu Inggris sebagai kepala negara (bukan sebagai kepala pemerintahan yang berpolitik praktis) kepada subjeknya dikritik oleh media sosial. Mengapa? Sebab ada piano besar berlapis emas di dalam frame tersebut.
Adanya piano berlapis emas ini tidak membuat rakyat Inggris bangga dengan institusi monarki mereka. Justru, mereka mengkritik habis habisan keberadaan piano berlapis emas tersebut. Mereka menganggap piano tersebut menunjukkan pemborosan anggaran negara serta jauhnya kehidupan Dinasti Windsor dari masyarakat Inggris.
Kedua, penyakit apatisme. Akhir-akhir ini, fenomena golongan putih (golput) semakin tinggi. Bahkan, muncul sebuah kesimpulan bahwa kemenangan Donald Trump pada Pemilu 2016 disebabkan oleh angka pemilih golput yang meningkat (Abdulsalam dalam tirto.id, 2018). Selain itu, Brexit (British Exit) dari Uni Eropa juga terjadi karena angka golput yang meningkat drastis (Sukarlan dalam dw.com, 2018).
Menang dalam sebuah proses yang demokratis? Bagus. Tetapi, kemenangan itu harus diperoleh secara terhormat serta berdasar kepada keinginan rakyat untuk memilih salah satu opsi, bukan karena golput. Mengapa? Menang karena banyaknya pemilih golput menandakan hilangnya democratic mandate bagi sistem demokrasi itu sendiri.
Kesimpulannya, munculnya perayaan tahun baru sebagai komoditas politik baru menunjukkan adanya tren kemunduran dalam dunia politik kita. Jika kita masih percaya dengan sistem demokrasi yang kita punya saat ini, mari hentikan menggoreng perayaan tahun baru, dan fokuskan perhatian kita pada visi, misi, dan program dari masing-masing kubu.
DAFTAR PUSTAKA:Â
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190101141400-20-357741/bersarung-malam-tahun-baru-jokowi-santap-makanan-kaki-lima. Diakses pada 2 Januari 2019.
- http://wartakota.tribunnews.com/2019/01/01/ternyata-ini-filosofi-jokowi-pilih-kenakan-sarung-di-malam-tahun-baru-2019-terkait-pilpres-2019. Diakses pada 2 Januari 2019.
- http://aceh.tribunnews.com/2019/01/01/rayakan-tahun-baru-2019-prabowo-undang-anak-yatim-gelar-doa-bersama-jokowi-traktir-paspampres. Diakses pada 2 Januari 2019.
- https://www.youtube.com/watch?v=NFVEx7GhAXY. Diakses pada 2 Januari 2019.
- https://www.cosmopolitan.com/entertainment/a25683473/queen-gold-piano-twitter-reactions/. Diakses pada 3 Januari 2019.
- https://www.dw.com/id/mari-melihat-dampak-golput-dalam-kemunduran-peradaban/a-45844597. Diakses pada 3 Januari 2019.
Disclaimer: Tulisan ini sudah diterbitkan pada laman Qureta penulis.
Link:Â https://www.qureta.com/post/perayaan-tahun-baru-komoditas-politik-baru