Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Senjata Utamaku Menghadapi Hoax Sebagai Menteri Agama

3 Agustus 2018   18:30 Diperbarui: 3 Agustus 2018   19:01 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www2.kemenag.go.id/

"Asks me my three main priorities of government, and I tell you: Education, education, and education," tandas mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair pada Konferensi Partai Buruh di tahun 1996. Penulis setuju dengan prinsip yang dianut oleh Beliau. Keutamaan pendidikan harus terus dijaga, agar kita bisa mencapai sebuah masyarakat yang adil, makmur, dan terpelajar. Namun, Beliau menggunakan prinsip ini sebagai seorang Perdana Menteri. Sementara, penulis pasti menggunakan prinsip ini, seandainya penulis menjadi seorang Menteri Agama (tidak ada salahnya berandai-andai, bukan?).

Sebelum memasuki pendidikan apa saja yang akan penulis lakukan jika menjadi seorang Menteri Agama, ada baiknya kita mengetahui definisi dari pendidikan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, (dalam Darmawan, 2016:121) menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya kebudayaan yang berazaskan keadaban untuk memberikan dan memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak selaras dengan dunianya. Namun, penulis meyakini bahwa proses pendidikan tidak hanya terjadi pada anak-anak semata. Proses pendidikan adalah sebuah proses yang berjalan seumur hidup manusia. Sehingga, pendidikan juga dapat dilakukan terhadap anggota masyarakat secara umum, tanpa memandang umur dan golongan.

Lalu, mengapa pendidikan memiliki hubungan dengan pemberantasan hoax? Menurut Abner, Khaidir, Abdillah, Bimantoro, dan Reinaldy (2017) hoax adalah pemberitaan palsu yang disebarkan untuk menipu/mengakali pembacanya untuk memercayai sesuatu, padahal pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut palsu. Jadi, dapat dilihat bahwa hoax adalah sebuah upaya agitasi dan pembohongan terhadap anggota masyarakat. Upaya agitasi dan pembohongan ini akan lebih mudah dilakukan, jika masyarakat tersebut memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dan begitupun sebaliknya. Mengapa? Semakin rendah tingkat pendidikan suatu masyarakat, semakin rendah tingkat literasinya. Sehingga, semakin mudah bagi anggota masyarakat untuk dihasut dengan berita-berita tertentu yang tidak jelas asalnya.

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah cara yang paling efisien dalam melawan hoax.

Sekarang, kita sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan pendidikan, hoax, dan hubungan antara keduanya. Lalu, apa saja pendidikan yang akan dilakukan, jika penulis menjadi seorang Menteri Agama? Ada 3 program pendidikan yang akan penulis implementasikan sebagai Menteri Agama. Ketiga program ini meliputi pengembangan pikiran, mentalitas, dan perilaku individu dalam rangka menghadapi hoax yang tersebar di masyarakat.

Pertama, program pendidikan logika dan dialektika pada institusi-institusi pendidikan yang dikendalikan oleh Kementerian Agama. Pendidikan ini dapat dilakukan dengan menjadikan buku-buku seperti Filsafat Sejarah (karya G.W.F. Hegel) dan Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) karya Tan Malaka sebagai bacaan wajib di Pesantren dan Madrasah Aliyah. Mengapa dialektika dan logika harus diajarkan? Sebab keduanya mengajak individu untuk mencari fakta melalui proses berpikir berdasarkan bukti. Proses berpikir seperti ini menuntut individu untuk melakukan critical examination terhadap segala informasi yang diterima olehnya. Darimana informasi tersebut berasal? Apakah informasi tersebut sesuai dengan bukti yang ada? Bagaimana alur informasi tersebut secara logis dan dialektis? Dalam jangka panjang, critical examination ini akan membuat hoax tidak akan mudah untuk tersebar di dalam masyarakat, sebab ada sebuah pemikiran yang kritis di antara anggota masyarakat.

Lalu, mengapa harus ada sebuah karya dari Tan Malaka? "Dia kan seorang komunis, jika anak-anak muda membacanya, dia pasti menyeleweng," (mungkin) heran beberapa pembaca. Dalam program ini, kita mengambil intisari metode berpikir daripada Madilog, bukan ideologinya. Sehingga, penulis ingin anak-anak muda kita untuk berpikir secara logis dan dialektis, bukan menjadi seorang Marxis.

Kedua, program "Cinta Agama, Cinta Indonesia, NO TO HOAX" yang akan diinisiasi di dalam lingkungan Kementerian Agama, lalu disosialisasikan kepada publik melalui berbagai saluran media sosial Kementerian Agama. Sepanjang pengamatan penulis, tidak ada agama apapun di dunia ini yang mengajarkan pengikutnya untuk merendahkan tanah airnya. Semua agama di dunia ini mengajarkan para pengikutnya untuk menjunjung tinggi dan mencintai tanah air. "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Ketika seseorang mencintai tanah airnya, tidak mungkin dia akan tega menipu masyarakat dengan menyebarkan hoax. Kecintaan itu pasti menghalanginya untuk menyebarkan hoax. Mentalitas inilah yang ingin penulis tumbuhkan sebagai Menteri Agama.

Ketiga, mendorong para pemuka agama (Ustadz, Pendeta, Pastor, Bhikkhu, Romo, dll) untuk melakukan sosialisasi mengenai bahaya hoax melalui ceramah-ceramah yang disampaikan. Mengapa ini harus dilakukan? Pemuka agama adalah sosok panutan bagi umat. Segala tindakan, pikiran, dan perkataan mereka pasti diikuti oleh umat. Sehingga, sangat penting bagi pemuka agama untuk membangkitkan kesadaran umat akan bahaya hoax. Akhirnya, bentuk sosialisasi dan persuasi melalui ceramah akan membentuk perilaku umat (yang juga adalah anggota masyarakat) untuk mengatasi bahaya hoax.

Inilah tiga hal yang akan penulis lakukan untuk menghadapi hoax sebagai Menteri Agama. Ketiga program ini harus dilaksanakan secara bersamaan untuk mencapai satu tujuan. Tujuan tersebut adalah untuk memenuhi salah satu pernyataan dari Menteri Agama Republik Indonesia saat ini, Lukman Hakim Saiffudin, "Janganlah puas hanya menjadi generasi pemangsa berita bohong, penyantap kabar burung, atau penikmat konten negatif lainnya."

AYO! MARI BERSAMA-SAMA PERANGI HOAX!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun