Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Malam Lebaran, Puisi Tiga Kata Berjuta Makna

30 Maret 2025   22:24 Diperbarui: 30 Maret 2025   22:24 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Raya Idul Fitri semakin dekat, bulan Syawal berada di pelupuk mata. Gema takbir membahana di penjuru negeri melepas kepergian bulan suci. Jamak bagi umat muslim menyambutnya dengan sukacita. Penduduk desa pergi ke kota untuk pelesiran, berbelanja. Orang kota pulang ke desa, berkumpul dengan sanak saudara. Namun tak selamanya malam ini adalah waktu berbahagia. Puluhan tahun lalu, tepatnya pada 1954, seorang sastrawan Angkatan 45, Sitor Situmorang mengunjungi daerah Kober. Ihwal kedatangannya adalah bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, rekan sejawatnya sesama sastrawan untuk halal bi halal, bermaaf-maafan di hari raya. Dirinya bukan seorang muslim, tetapi lazim bagi Sitor untuk ikut mengakui eksistensi hari penting agama islam ini dengan sekedar bercengkrama dengan kawannya itu.

Sayangnya setelah sampai di tujuan, orang yang dimaksud tidak ada di tempat, Mas Pram tampaknya sedang mudik, atau barangkali masih dalam perjalanan pulang setelah halal bi halal di tempat lain. Kediamannya sunyi senyap macam kuburan. Sitor yang terlanjur kecewa lantas bergegas pulang, kesal karena hanya disambut angin malam yang dingin, bukan secangkir kopi atau teh hangat dengan penganan berupa setoples nastar seperti yang ia bayangkan.

Tampaknya kesialan Sitor tak cukup sampai di situ. Entah karena wilayah Kober yang terlampau semrawut sebab merupakan pengejewantahan dari suramnya ibukota seperti apa yang digambarkan sendiri oleh Mas Pram dalam tulisannya di majalah Mimbar Indonesia; Kampungku, atau entah karena sebab lain, Sitor tersesat di perjalanan pulang. Dengan wajah masygul jelalatan bola matanya menatap sekitar dengan maksud mencari jalan. Di Tengah kebingungan itu dirinya menatap rembulan yang mengintip di balik rindang pepohonan tua yang tumbuh menjalar di sebuah pagar bertembok putih. Penasaran akan sesuatu di baliknya, Sitor berjingkat melalui sebuah batu hanya untuk mengetahui sebuah nisan bersalib tertanam di balik tembok tersebut. 

Sitor Situmorang (cnnindonesia.com)
Sitor Situmorang (cnnindonesia.com)

Pemandangan sedehana itu membuat Sitor terdiam sejenak. Di kepalanya terlintas tiga kosakata; lebaran, bulan dan kuburan. Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saja sebuah puisi tercipta.

Malam Lebaran

Bulan di atas Kuburan.

Sitor dihampiri perasaan konyol, dirinya yang diliputi rasa kecewa tiba-tiba saja terharu. Tidak dijelaskan secara rinci kronologi pasca-kejadian tersebut, yang jelas puisi singkat itu ia terbitkan dalam antologi puisinya yang berjudul "Dalam Sajak" pada 1955.

Puisi ini hanya terdiri dari satu baris dengan keseluruhan tiga kata dan satu konjungsi. Amat sederhana, sesederhana dengan apa yang dilihat Sitor di balik tembok tersebut. Namun bagi pembacanya, puisi singkat ini bermakna cukup rumit. Karena minimnya partikel kata yang diberikan menimbulkan beragam tafsir, utamanya di kalangan kritikus sastra. Tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti maksud dari puisi Sitor. Apa korelasinya antara lebaran dengan Bulan di atas kuburan?

Banyak sekali yang mengartikan maksud dari puisi ini sebagai simbol kedekatan manusia dengan kematian. Hal itu tercermin pada situasi saat banyak orang terlena dengan meriahnya hari raya tahun ini lupa akan sebuah kemungkinan bertemu kembali dengan hari raya di tahun depan. Beberapa pengamat sastra juga menebak, Sitor menggambarkan miskonsepsi umat muslim dalam perayaan hari besarnya ini. Sebab, menurutnya orang-orang seharusnya bersedih, bukannya bergembira saat menyambut hari raya karena bulan suci ramadhan telah meninggalkan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun