Hari Raya Idul Fitri semakin dekat, bulan Syawal berada di pelupuk mata. Gema takbir membahana di penjuru negeri melepas kepergian bulan suci. Jamak bagi umat muslim menyambutnya dengan sukacita. Penduduk desa pergi ke kota untuk pelesiran, berbelanja. Orang kota pulang ke desa, berkumpul dengan sanak saudara. Namun tak selamanya malam ini adalah waktu berbahagia. Puluhan tahun lalu, tepatnya pada 1954, seorang sastrawan Angkatan 45, Sitor Situmorang mengunjungi daerah Kober. Ihwal kedatangannya adalah bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, rekan sejawatnya sesama sastrawan untuk halal bi halal, bermaaf-maafan di hari raya. Dirinya bukan seorang muslim, tetapi lazim bagi Sitor untuk ikut mengakui eksistensi hari penting agama islam ini dengan sekedar bercengkrama dengan kawannya itu.
Sayangnya setelah sampai di tujuan, orang yang dimaksud tidak ada di tempat, Mas Pram tampaknya sedang mudik, atau barangkali masih dalam perjalanan pulang setelah halal bi halal di tempat lain. Kediamannya sunyi senyap macam kuburan. Sitor yang terlanjur kecewa lantas bergegas pulang, kesal karena hanya disambut angin malam yang dingin, bukan secangkir kopi atau teh hangat dengan penganan berupa setoples nastar seperti yang ia bayangkan.
Tampaknya kesialan Sitor tak cukup sampai di situ. Entah karena wilayah Kober yang terlampau semrawut sebab merupakan pengejewantahan dari suramnya ibukota seperti apa yang digambarkan sendiri oleh Mas Pram dalam tulisannya di majalah Mimbar Indonesia; Kampungku, atau entah karena sebab lain, Sitor tersesat di perjalanan pulang. Dengan wajah masygul jelalatan bola matanya menatap sekitar dengan maksud mencari jalan. Di Tengah kebingungan itu dirinya menatap rembulan yang mengintip di balik rindang pepohonan tua yang tumbuh menjalar di sebuah pagar bertembok putih. Penasaran akan sesuatu di baliknya, Sitor berjingkat melalui sebuah batu hanya untuk mengetahui sebuah nisan bersalib tertanam di balik tembok tersebut.Â
Pemandangan sedehana itu membuat Sitor terdiam sejenak. Di kepalanya terlintas tiga kosakata; lebaran, bulan dan kuburan. Tanpa direncanakan sebelumnya, tiba-tiba saja sebuah puisi tercipta.
Malam Lebaran
Bulan di atas Kuburan.
Sitor dihampiri perasaan konyol, dirinya yang diliputi rasa kecewa tiba-tiba saja terharu. Tidak dijelaskan secara rinci kronologi pasca-kejadian tersebut, yang jelas puisi singkat itu ia terbitkan dalam antologi puisinya yang berjudul "Dalam Sajak" pada 1955.
Puisi ini hanya terdiri dari satu baris dengan keseluruhan tiga kata dan satu konjungsi. Amat sederhana, sesederhana dengan apa yang dilihat Sitor di balik tembok tersebut. Namun bagi pembacanya, puisi singkat ini bermakna cukup rumit. Karena minimnya partikel kata yang diberikan menimbulkan beragam tafsir, utamanya di kalangan kritikus sastra. Tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti maksud dari puisi Sitor. Apa korelasinya antara lebaran dengan Bulan di atas kuburan?
Banyak sekali yang mengartikan maksud dari puisi ini sebagai simbol kedekatan manusia dengan kematian. Hal itu tercermin pada situasi saat banyak orang terlena dengan meriahnya hari raya tahun ini lupa akan sebuah kemungkinan bertemu kembali dengan hari raya di tahun depan. Beberapa pengamat sastra juga menebak, Sitor menggambarkan miskonsepsi umat muslim dalam perayaan hari besarnya ini. Sebab, menurutnya orang-orang seharusnya bersedih, bukannya bergembira saat menyambut hari raya karena bulan suci ramadhan telah meninggalkan mereka.
Membuka kembali lembaran awal yang telah disinggung sebelumnya dalam artikel ini, puisi "Malam Lebaran" juga bisa dimaknai sebagai deskripsi singkat mengenai kontrasnya perbedaan kondisi setiap individu di hari raya. Dalam konteks kehidupan sekarang, tidak semua orang bergembira menyambut perayaan hari kemenangan tersebut pada kali ini. Beberapa diantaranya dirundung malang seperti yang dirasakan oleh kawan-kawan muslim kita di Palestina. Hal itu bisa diupamakan dalam sebuah bentuk "kuburan" sebagai metafora dari rasa sedih dan berduka karena kehilangan sesuatu yang amat berharga, pun tentu saja sulit dihapus walau disirami cahaya seindah rembulan.
Jika kita mengambil sudut pandang kita--sebagai pelajar--yang merupakan golongan marjinal dalam  pergaulan sastra, beberapa tafsir klise barusan mungkin saja bisa dipahami. Tetapi tetap saja puisi tersebut memiliki maksud yang lebih rumit dan sulit kita pahami. Beberapa sastrawan bahkan memperdebatkan bagaimana Sitor kurang tepat mendeskripsikan penampakan bulan di malam lebaran, karena setiap pergantian bulan hijriyah harus ada pengamatan khusus berupa rukyat untuk memastikan apakah bulan baru ada atau tidak. Namun, apa yang bisa diharapkan? Sitor Situmorang bukan seorang muslim, wajar saja jika dirinya tidak paham betul kaidah ilmu astrologi menurut agama lain.
Maka perlu dipahami bersama oleh kita semua, tidak selamanya sebuah produk sastra harus diperdebatkan, yang jelas puisi itu memiliki makna mendalam terlepas dari minimnya isi yang disampaikan. Seorang Sitor Situmorang berhasil mengukir sejarah baru dalam dunia sastra di Indonesia yang disebut-sebut sebagai puisi terpendek yang pernah diciptakan tersebut. Hingga dirinya terbaring di liang lahat, kicau diskusi mengenai maksud dari puisi ini tidak pernah padam. Sang sastrawan seakan mengajak kita untuk berimajinasi mengenai sebuah pemandangan sederhana yang dilihatnya.
Pada akhirnya puisi "Malam Lebaran" membuat kita merenung, bagaimana cara yang tepat untuk memaknai hari raya? Entah dengan pesta-pora sembari tertawa atau mengais duka karena khawatir akan pertemuan kita dengan hari raya di masa yang akan datang? Semuanya tergantung bagaimana kita semua bijak menyikapinya.
Tak lupa, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriyah bagi umat muslim sekalian! Semoga artikel ini bisa mengilhami teman-teman semua untuk lebih memaknai lebaran pada tahun ini.
Artikel sempat dikirimkan di website Jurnalis Media Pelajar, Forum OSIS Jawa Barat pada 7 April 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI