Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintahan Minyak 2014 – 2019, Siapa Pantas Memimpin?

18 Juni 2014   20:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:14 2786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14030740271822608587

Salah satu frase yang tepat untuk menyebut pemerintahan 2014 – 2019 adalah Pemerintahan Minyak. Boleh juga disebut Pemerintahan Migas. Bahasa Inggrisnya, Oil Government atau Oil and Gas Government. Maka secara sederhana pula saya bisa katakan bahwa pemimpin yang tepat untuk 2014 – 2019 harus paham ekonomi dan energi.

Kenapa saya sebut 2014 – 2019 sebagai pemerintahan minyak?

Sebagai latar belakang, Indonesia saat ini memiliki 263 blok minyak bumi dan gas bumi (migas). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan eksplorasi-eksplorasi baru. Dari 263 blok Migas yang dimiliki Indonesia saat ini, sebanyak 79 Blok Migas sudah produksi. Sedangkan sisanya 184 Blok Migas masih dalam tahap eksplorasi.

Dari 79 Blok Migas milik Indonesia yang sudah produksi, sekitar 55 Blok Migas (70%) dikelola oleh perusahaan migas asing berskala global. Sebut saja, Chevron, Total, Inpex, ExxonMobil, Petronas, Petrochina, CNOOC, Santos, British Petroleum, Hess, Stat Oil, Eni dan sebagainya.

Sepanjang 2015 – 2021, ada 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya. Berdasarkan peraturan, kontrak pengelolaan blok Migas di Indonesia sepanjang 30 tahun. Lalu untuk perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Migas diberikan selama 20 tahun. Maksimal, pengelolaan Blok Migas di Indonesia selama 50 tahun.

Proses pengajuan perpanjangan kontrak Migas diberikan waktu 10 tahun hingga 2 tahun sebelum habis masa kontrak. Artinya, bagi kontrak Migas yang habis tahun 2021, akan menjadi tanggung jawab pemerintahan 2015 – 2019. Itulah kenapa saya klasifikasikan 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015 – 2021.

Berikut daftar 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015 – 2021 :

2015

-Pertamina – Costa di Blok Gabang

2017

-Total EP – Inpex di Blok Mahakam

-Pertamina di Blok Offshore North West Java (ONWJ)

-Inpex di Blok Attaka

-Medco di Blok Lematang

2018

-Pertamina – Petrochina di Blok Tuban

-Pertamina – Talisman di Blok Ogan Komering

-ExxonMobil di Blok North Sumatera Offshore (NSO) B

-ExxonMobil di Blok NSO Extension

-CNOOC di Blok Sumatera Tenggara

-Total EP di Blok Tengah

-VICO di Blok Sanga-Sanga

-Chevron di Blok Pasir Barat (West Pasir) dan Attaka

2019

-Kalrez Petroleum di Blok Bula

-Citic di Blok Seram Non Bula

-Pertamina – Golden Spike di Blok Pendopo dan Raja

-Pertamina – Hess di Blok Jambi Merang

2020

-Conoco Phillips di Blok South Jambi B

-Kondur Petroleum di Blok Malacca Strait

-Lapindo di Blok Brantas

-Pertamina – Petrochina di Blok Salawati

-Petrochina di Blok Kepala Burung Blok A

-Energy Equity di Blok Sengkang

-Chevron di Blok Makassar Strait Offshore A

2021

-CPI di Blok Rokan

-Kalila di Blok Bentu Segat

-Petronas di Blok Muriah

-Petroselat di Blok Selat Panjang

Lihat referensinya disini :

Investor Daily : 29 Blok Migas Akan Habis Kontrak

Berapa sih nilai kontrak perpanjangan 28 Blok Migas itu?

Target produksi migas 2013 di angka 840.000 Bph, tapi realisasinya 827.000 bph, kurang 13.000 bph. Rata-rata produksi 1 Blok Migas sekitar 10.000 Barel per Hari (Bph). Angka itu diperoleh dari realisasi produksi migas (lifting) APBN-P tahun 2013 sebesar 827.000 Bph dibagi 79 Blok Migas Produksi.

Dengan produksi 827.000 per hari di 2013, berarti produksi setahun 301.855.000 Barel. Jika kita pakai harga minyak US$ 100/barel, total nilai produksi 28 Blok Migas itu setahun US$ 30.185.500.000. Dalam rupiah, nilai produksi 28 Blok Migas itu sekitar Rp 302 Triliun. Jika 28 Blok Migas itu memperpanjang kontraknya 20 tahun, kira-kira nilai kontraknya Rp 6.040 triliun.

Angka Rp 6.040 triliun itu sangat besar, kurang lebih setara dengan angka PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia setahun. Dan pastinya, kontrak 28 Blok Migas senilai Rp 6.040 triliun itu tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019.

Itulah kenapa saya sebut pemerintahan 2014 – 2019 adalah Pemerintahan Minyak. Para pemain minyak raksasa global sudah pasti akan berpartisipasi aktif dalam memihak kandidat capres di 2014.

Pertanyaannya kemudian, kepada siapa para pemain minyak raksasa global ini bertaruh di Pilpres 2014?

Lihat gambar pemetaan kepentingan negara-negara asing pada Blok Migas di Indonesia (Mei 2012).

[caption id="attachment_329621" align="aligncenter" width="599" caption="Peta Pengelolaan Blok Migas Indonesia oleh Asing. Sumber : BP Migas"][/caption]

Terlihat jelas, bahwa AS merupakan pihak yang paling berkepentingan dalam industri migas Indonesia. Dari Barat ada AS, Inggris, Italia, Perancis, Norwegia, Australia. Dari Asia ada Malaysia, China, Jepang.

Salah satu pemain terbaru di Migas Indonesia adalah StatOil asal Norwegia. StatOil adalah perusahaan migas milik Rothschild Norway Group yang dibawa masuk ke Indonesia oleh Jusuf Kalla. StatOil telah menguasai 2 Blok yaitu Karama (Sulawesi) dan Halmahera II (Maluku), daerah kekuasaan Jusuf Kalla. Saat ini, StatOil tengah mengincar Blok Natuna Alpha-D yang memiliki cadangan gas bumi skala besar.

Lihat tulisan saya berikut ini :

Petualangan Jusuf Kalla, Dari Aceh, Poso Hingga Jokowi bit.ly/1mbvWPO

Pada artikel tersebut saya urai bagaimana proses Jusuf Kalla membawa masuk StatOil milik Rothschild mengincar Blok Natuna Alpha-D.

Kembali ke topik. Menurut Abraham Samad, potensi pendapatan negara hilang Rp 7.200 triliun setiap tahun. Perhitungan KPK, Royati dari Blok Migas yang tidak dibayarkan kepada negara mencapai Rp 7.200 triliun tiap tahun. Samad mengatakan, hal itu terjadi karena para kontraktor Migas tidak mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Samad sebutkan, jika digabung seluruh industri mineral dan pertambangan, royalti yang tidak dibayarkan mencapai Rp 20.000 triliun setahun. Samad bilang, “Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta.”

Lihat referensinya disini :

Kompas.Com : Ini Omongan Samad Soal Kebocoran Rp 7.200 Triliun

Apa yang terjadi disini? Indonesia sudah betul tidak tertutup pada asing, tapi bukan berarti asing boleh terus merugikan Indonesia. Raksasa migas global terus menerus menipu Indonesia bahkan ketika sudah diberi kesempatan kelola migas Indonesia.

Tak hanya soal tak bayar royalti sehingga Indonesia merugi. Raksasa migas asing juga tipu Indonesia dengan turunkan produksi migas perlahan. Menjelang habis masa kontrak Blok Migas 2015 – 2021, raksasa migas asing terus kurangi produksi. Tujuannya jelas, menciptakan permintaan (demand) lebih sehingga kontrak akan diperpanjang dan bisa menambah kontrak di Blok Migas lain.

Pada tahun 2010, produksi Migas sebanyak 954.000 Barel Per Hari (Bph). Pada tahun 2011, produksi migas sebanyak 898.000 Barel Per Hari (Bph). Pada tahun 2012, produksi migas sebanyak 861.000 Barel Per Hari (Bph). Pada tahun 2013, produksi migas sebanyak 827.000 Barel per Hari (Bph).

Selama 4 tahun terakhir, produksi migas dari 79 Blok Migas yang sudah produksi menurun 13,31% secara berkala. Dari 954.000 Bph menjadi 827.000 Bph, menurun 127.000 Bph. Dalam hitungan tahunan, dari 348.210.000 barel menjadi 301.855.000 barel, menurun 46.355.000 barel.

Dalam perhitungan rupiah, dari Rp 350 triliun menjadi Rp 302 triliun, menurun Rp 48 triliun. Jadi jangan heran kalau harga BBM terus naik, karena produksi migas di 79 Blok Migas yang sudah produksi terus turun. Subsidi pemerintah untuk BBM tak bisa digenjot terus, sementara produksi kurang, harga naik. Hukum pasar.

Tapi kalau dilihat lebih jauh, alasan kenapa produksi menurun, harga BBM melambung ada di tangan kontraktor 79 Blok Migas itu. Sebagaimana kita tahu, sebanyak 55 Blok Migas (70%) dari 79 Blok Migas dikelola asing. Tentu saja, para raksasa migas asing itulah yang berperan besar dalam mengurangi produksi migas yang berdampak pada kenaikan harga BBM.

Saya ulang pertanyaan saya, kenapa para raksasa migas asing terus menurunkan produksi migasnya menjelang masa habis kontrak?

Sederhana, dengan menurunkan produksi secara berkala, kontrak harus diperpanjang dan perlu eksplorasi tambahan.

Bahasa yang umum dari raksasa migas asing adalah “Pertamina tak mampu tingkatkan produksi secepat itu, perpanjanglah kontrak kami.” Lalu asing-asing itu juga akan katakan “Perpanjang kontrak pun tak cukup, harus tambah Blok lain karena kebutuhan BBM terus bertambah.”

Dengan cara ini, raksasa migas asing memperoleh 2 keuntungan :

1) Perpanjangan Kontrak Blok Migas

2) Kontrak Baru di Blok Migas lain.

Negara terus dibohongi oleh raksasa migas asing ini. Dengan segala tipu daya raksasa migas asing turunkan produksi untuk naikkan harga BBM. Dengan segala tipu daya raksasa migas asing dapatkan perpanjangan kontrak dan kontrak baru di blok migas lain. Dengan segala tipu daya raksasa migas asing tidak bayarkan royalti kepada Indonesia.

Saya kira sangat penting memilih pemimpin Indonesia yang concern terhadap persoalan migas. Faktanya, selama 2015 – 2021, terdapat 28 blok migas yang habis masa kontrak, dan menjadi tanggung jawab pemerintahan 2014 – 2019.

Lantas kenapa wacana ini seolah tidak disorot oleh media-media selama masa Pilpres 2014?

Sederhana, raksasa migas asing yang akan habis masa kontrak Migasnya tidak ingin ini disoroti. Perpanjangan kontrak migas akan selalu menjadi hal sensitif di pemerintahan negara manapun. Selalu ada pertarungan Nasional versus Asing pada periode jelang habis masa kontrak Migas di negara mana pun.

PrabowoHatta cukup concern terhadap persoalan Energi. Pada Debat Capres II, Prabowo Subianto dengan tegas menyatakan akan melakukan renegosiasi kontrak migas yang merugikan Indonesia. Hatta Rajasa, telah memiliki portofolio bagus menerapkan UU Larangan Ekspor Minerba untuk mencegah asing terus rugikan Indonesia.

Sebelum diterapkan UU Larangan Ekspor Minerba, para raksasa tambang mineral, batubara dan Migas asing bebas ekspor bahan mentah. Apabila ekspor bahan mentah, maka penerimaan negara dari pajak dikenakan berdasarkan harga bahan mentah yang bernilai rendah. Dengan UU Larangan Ekspor Minerba, ekspor tak bisa lagi bahan mentah, tapi bahan olahan yang bernilai lebih tinggi. Dampak dari penerapan UU Larangan Ekspor Minerba akan menambah penerimaan negara dari pajak atas Minerba Olahan.

Dari sekian banyak kebijakan Hatta Rajasa sebagai Menteri Perekonomian, penerapan UU Larangan Ekspor Minerba adalah prestasi dia. Orang boleh bilang Hatta Rajasa banyak dosanya, juga anaknya, tapi UU Larangan Ekspor Minerba jelas sebuah prestasi yang harus diapresiasi. Hatta Rajasa berhasil memberlakukan UU Larangan Ekspor Minerba yang selama 5 tahun terakhir berusaha diganjal oleh asing. Dengan UU Larangan Ekspor Minerba, raksasa Minerba asing harus membangun pengolahan yang berarti investasi baru. Dalam kacamata raksasa migas asing, penerapan UU Larangan Ekspor Minerba adalah sebuah hambatan dan kerugian karena harus investasi baru. Namun di tengah tekanan asing selama bertahun-tahun, Hatta Rajasa berhasil menerapkan UU Larangan Ekspor Minerba.

Kombinasi Prabowo – Hatta dalam mengantisipasi Pemerintahan Minyak 2014 – 2019 sudah termaktub. Sebagaimana terus dikampanyekan Prabowo – Hatta, Energi dan Pangan adalah fokus pemerintahan mereka jika menang. Dan mereka menegaskan Renegosisasi Kontrak Migas dan Minerba yang merugikan negara akan menjadi fokus.

Lantas bagaimana dengan Jokowi – JK?

Pada Debat Capres II, Jokowi tidak menjawab jelas soal kontrak-kontrak migas yang merugikan Indonesia. Jokowi malah tegas mengatakan akan “Hormati Kontrak Migas Asing”. Soal Renegosiasi juga Jokowi tidak terlihat mengonsepkan itu secara serius. Malah melafalkan Renegosiasi saja salah, Jokowi menyebutnya Renegoisasi. Kesalahan lafal itu menunjukkan Jokowi tak akan fokus pada Renegosiasi kontrak Minerba dan Migas. Seperti jawaban Jokowi, akan “Hormati Kontrak Migas Asing.”

Mungkin itu pula yang menjelaskan kenapa ajang Pilpres 2014 tidak penuh wacana soal konsep, melainkan soal profil sang Capres-Cawapres. Para raksasa migas asing tentu saja lebih menyukai apabila tidak ada yang menyoroti soal akan habisnya kontrak di 28 Blok Migas. Padahal, aspek paling penting dalam memilih Presiden 2014 – 2019 adalah soal 28 Kontrak Blok Migas yang akan habis d 2015 – 2021.

Jika saya adalah raksasa migas asing, saya akan membutuhkan :

1)Wacana yang tidak menyoroti akan habisnya kontrak 28 Blok Migas di 2015 – 2021.

2)Capres yang tidak memahami ekonomi dan energi agar bisa dikendalikan terkait Migas.

3)Capres yang memiliki 1001 pencitraan untuk mendominasi wacana agar tidak ada yang soroti migas.

Dan bukan kebetulan, ketiga aspek itu ada pada diri Jokowi. Jokowi – JK tak pernah membahas soal Energi, tidak paham Ekonomi dan memiliki 1001 pencitraan.

Lihat referensi berita ini :

Republika : PDIP Tak Masalah Jokowi Tak Paham Ekonomi

Orang bilang di belakang Jokowi – JK ada AS, ada Eropa, ada Negara China. Sekarang kita lihat kembali gambar pemetaan migas Indonesia oleh Asing. Dominasi penguasaan migas Indonesia ada pada AS, Eropa, Australia dan China.

Apakah kebetulan negara-negara asing yang berkepentingan pada blok-blok migas Indonesia berada di belakang Jokowi?

Saya rasa tidak. Jokowi yang tidak memahami ekonomi dan energi bisa menjadi capres potensial karena sejalan dengan kepentingan raksasa migas asing.

Raksasa migas asing membutuhkan Jokowi yang tak paham ekonomi dan energi untuk dapatkan kembali kontrak di 28 Blok Migas yang habis pada 2015 – 2021.

Dan itu menjelaskan kenapa Prabowo – Hatta diserang sana-sini dengan segala cara. Prabowo – Hatta membahayakan kepentingan raksasa migas asing untuk terus merugikan Indonesia.

Mari kita simak kelanjutannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun