Menurut saya setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam memaknai agamanya. Ada orang yang melihat agama hanya sebagai identitas, ada yang menjalani karena tradisi keluarga, dan ada pula yang menemukan kedamaian sejati lewat ajaran-ajaran agamanya. Bagi saya pribadi, kebanggaan beragama Hindu bukan hanya soal ritual yang indah atau budaya yang kaya, namun karena Hindu memberi saya sebuah pedoman hidup yang sederhana namun bermakna sangat dalam: menjaga harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Konsep harmoni ini saya temukan dalam ajaran Tri Hita Karana. "Tri" artinya tiga, "Hita" berarti kebahagiaan, dan "Karana" adalah penyebab. Jadi, Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kebahagiaan sejati, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), dan dengan alam (Palemahan). Bagi saya, ini adalah inti ajaran Hindu yang sangat membumi, karena tidak hanya bicara soal spiritual, tapi juga sosial dan lingkungan. Ajaran ini mengajarkan saya bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa diraih hanya dengan mengejar kesenangan duniawi, melainkan juga harus melalui keseimbangan dan keharmonisan dalam ketiga aspek tersebut.
Sejak kecil, saya tumbuh di dalam keluarga Hindu yang sederhana. Setiap pagi, ibu selalu menyiapkan canang sari, sesaji kecil yang diletakkan di pelangkiran rumah sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan. Saya sering diajak ikut menghaturkan canang tersebut. Dulu saya pikir itu cuma kewajiban sehari-hari yang harus dilakukan tanpa banyak bertanya. Namun seiring bertambahnya usia, saya mulai menyadari bahwa sembahyang itu bukan sekadar ritual formalitas, melainkan cara saya berkomunikasi dengan Tuhan. Bukan hanya menyalakan dupa dan meletakkan bunga, tapi juga menyisihkan waktu untuk menenangkan hati dan pikiran, untuk merenung dan bersyukur atas segala yang saya miliki.
Saya pernah membaca dalam Bhagavad Gita, sebuah kitab suci Hindu, yang mengatakan, "Bagi mereka yang tekun memuja-Ku dengan penuh bhakti, Aku akan menjaga dan memenuhi kebutuhan mereka." Kalimat itu sederhana, tapi memberi saya rasa percaya bahwa setiap doa membawa perlindungan dan ketenangan. Saat saya sibuk dengan sekolah dan tugas yang menumpuk, kadang saya merasa stres dan tertekan. Namun, setelah bersembahyang sebentar, pikiran saya menjadi lebih jernih dan hati terasa lebih damai. Dari situ saya paham, Parahyangan bukan sekadar ritual, tapi kebutuhan batin yang menumbuhkan keteguhan hati dan kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup.
Selain menjaga hubungan dengan Tuhan, saya juga belajar bahwa Hindu sangat menekankan hidup rukun dengan sesama manusia. Filosofi Tat Twam Asi---"aku adalah kamu, kamu adalah aku"---sangat terasa di dalam budaya Bali, tempat dimana saya dibesarkan. Di banjar, komunitas adat setempat, kegiatan gotong royong sudah seperti nafas kehidupan. Saat ada odalan, upacara keagamaan di pura, semua orang terlibat tanpa pamrih. Ada yang menyiapkan banten, memasak, atau sekadar menjaga kebersihan pura. Semua dilakukan dengan tulus, tanpa mengharap imbalan. Kebersamaan ini bukan hanya soal kewajiban sosial, tapi juga wujud nyata dari rasa saling memiliki dan menghormati.
Saya ingat sekali waktu ikut ngayah di pura desa. Saya ditugaskan menata penjor dan membersihkan halaman pura. Awalnya saya agak malas, apalagi cuaca sangat terik saat itu. Tapi begitu melihat orang-orang dari berbagai usia bekerja dengan senyum dan semangat, rasa lelah saya hilang. Malah saya merasa bahagia karena bisa berkontribusi dalam sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri. Dari pengalaman itu saya belajar bahwa kebersamaan melahirkan energi positif yang sulit ditemukan jika kita hanya memikirkan diri sendiri. Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang saling mendukung dan menjaga.
Di sekolah, saya juga mencoba menerapkan prinsip Tat Twam Asi. Misalnya, saat saya melihat teman kesulitan dalam pelajaran kimia, saya berusaha membantu sebisa saya. Mungkin bantuan saya kecil, tapi melihat mereka lebih paham membuat saya senang. Menurut saya, inilah cara sederhana menjaga harmoni dengan sesama---saling mengisi dan menopang. Saya percaya bahwa hidup tidak bisa dijalani sendiri, dan dengan saling membantu, kita bisa tumbuh bersama menjadi pribadi yang lebih baik.
Bagian ketiga dari Tri Hita Karana adalah hubungan dengan alam, atau Palemahan. Hindu mengajarkan bahwa alam bukan sekadar tempat tinggal, tapi sumber kehidupan yang harus dihormati dan dijaga. Dalam banyak ritual, alam selalu dilibatkan. Air suci diambil dari mata air, daun dan bunga dipakai untuk banten, dan hasil bumi dipersembahkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Ini mengajarkan saya bahwa alam adalah anugerah yang harus dirawat, bukan hanya dimanfaatkan semena-mena.
Saya merasa ajaran ini sangat relevan dengan kondisi dunia sekarang. Kita hidup di tengah isu perubahan iklim, polusi, dan sampah plastik yang makin parah. Di Bali, masalah sampah sering jadi sorotan, terutama di kawasan wisata yang ramai. Saya pernah melihat pantai penuh sampah plastik setelah musim hujan. Pemandangan itu membuat saya sedih dan prihatin, karena jelas merusak keindahan alam dan kehidupan laut yang menjadi sumber penghidupan banyak orang. Saya sadar bahwa jika kita tidak menjaga alam, kita sendiri yang akan merugi.
Sejak itu, saya mulai membantu dari hal kecil. Misalnya, membawa botol minum sendiri ke sekolah agar tak perlu beli air kemasan plastik, atau menggunakan daun pisang sebagai alas makanan saat kegiatan pramuka. Saya juga pernah ikut program menanam pohon di sekolah. Awalnya saya anggap sepele, tapi setelah melihat pohon-pohon kecil tumbuh dan mulai menghijau, ada rasa bangga tersendiri. Rasanya seperti ikut memberi "napas baru" bagi bumi yang kita cintai. Saya percaya bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil yang konsisten.
Saya juga teringat filosofi segara gunung dalam budaya Bali. Gunung dianggap sumber kehidupan, sedangkan laut adalah tempat kembalinya semua aliran. Filosofi ini mengajarkan keseimbangan: apa yang kita ambil dari alam harus kita kembalikan. Jika kita hanya mengambil tanpa memberi, keseimbangan akan rusak, dan manusia sendiri yang akan menderita akibatnya. Ini adalah pengingat bagi saya untuk selalu hidup dengan rasa hormat dan tanggung jawab terhadap alam.