Mohon tunggu...
Rati Kumari
Rati Kumari Mohon Tunggu... An Author A Writerpreneur

Author, Writerpreneur, Proofreader, Cultural Ambassador of The Alpha E-Magazine, Love arts, singing, and learning any language.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Viral, Dipelintir, Dihukum: Balada Arina

12 Februari 2025   21:14 Diperbarui: 13 Februari 2025   10:55 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Satu kalimat terpotong, reputasi pun goyang."

Notifikasi membanjiri semua platform media sosial Arina. Seketika napasnya serasa tertahan.

"Arina, tuh, enggak punya hati banget!"

"Dasar influencer sok tahu! Enggak semua ibu punya pilihan, tahu!"

"Unfollow sekarang! Kita enggak butuh orang yang suka nge-judge!"

Tangannya bergetar saat membaca tagar yang tengah trending nomor satu di X: #ArinaMunafik.

Dengan jantung berdebar, dia menekan salah satu video viral yang menyebar bak api berkobar. Di layar ponsel tampak wajahnya sendiri, dengan suara lantang.

"Aduh, ya ampun, kalau udah tahu enggak bisa urus anak, ya enggak usah punya anak, dong."

Judul video itu menyala-nyala di layar:

"Dengar sendiri! Arina menghina ibu-ibu yang anaknya tantrum di tempat umum. Layakkah influencer ini didukung?"

Arina membekap mulutnya. Astaga ... itu bukan yang sebenarnya dia katakan!

Enam Bulan Lalu

Sebagai content creator lifestyle, Arina sering membahas self-improvement, kebiasaan sehat, dan opini santai tentang fenomena sosial.

Suatu sore, dia sedang live di Instagram, berbincang dengan followers-nya sambil menyesap matcha latte. Seorang penonton mengirimkan pertanyaan.

"Mbak Arina, pernah enggak, sih, lihat ibu-ibu yang kelihatan kewalahan banget ngurus anaknya di tempat umum?"

Arina tertawa kecil. "Oh, sering banget! Aku pernah, tuh, ada ibu di kafe, yang kelihatan udah stres banget karena anaknya tantrum. Tetapi jujur, aku selalu kasihan sama ibu-ibu yang struggling kayak gitu. Kayaknya, mereka butuh lebih banyak support daripada judgement, ya enggak sih?"

Kemudian, seseorang berkomentar, "Tetapi ada juga, kan, yang kayaknya memang enggak siap jadi ibu? Aku pernah lihat ada yang kayak gitu."

Arina mengangkat bahu santai. "Aduh, ya ampun, kalau udah tahu enggak bisa urus anak, ya, enggak usah punya anak, dong!" Namun, sebelum lanjut bicara, dia buru-buru menambahkan, "Maksudku, kasihan ibunya kalau enggak ada support system. Parenting itu susah banget, kan?"

Namun, entah siapa yang merekam hanya bagian tengah dari pernyataan tersebut dan mengunggahnya tanpa konteks.

Dampak Kalimat Viral

Seseorang mengetuk pintu keras. Arina tersentak. Itu pasti Sinta, manajernya.

"Arina, ini gawat," kata Sinta tegang, menyerahkan ponselnya.

Arina membaca sederet surel. Beberapa brand menarik kerja sama.

"Apa?!" Arina hampir menjatuhkan ponselnya.

"Mereka enggak mau bekerja sama dengan seseorang yang dianggap meremehkan perjuangan ibu-ibu," jelas Sinta.

"Tetapi ini di luar konteks! Aku enggak ada maksud nge-judge siapa pun!" Arina terduduk, kepalanya pening.

Sinta menghela napas. "Di internet, orang enggak peduli sama konteks. Mereka lihat satu video itu, lalu marah. Titik."

Arina merosot ke sofa. "Terus, aku harus gimana, nih?"

Sinta duduk di sebelahnya, ekspresinya serius. "Ada dua pilihan. Satu, kamu diam dan berharap ini mereda sendiri. Dua, kamu buat klarifikasi."

Arina berpikir keras, menimbang. "Kalau aku diam?"

"Mungkin akan reda ... mungkin juga enggak. Kalau netizen merasa kamu cuek, mereka bisa makin marah."

Arina mengecek ponselnya lagi. Terlihat jumlah followers-nya turun drastis.

"Kalau aku klarifikasi?"

"Klarifikasi bisa berhasil, tetapi juga bisa bikin mereka makin marah kalau enggak disampaikan dengan baik."

Arina mengusap wajahnya. "Hmm ... ini pilihan sulit."

Namun, dia tidak mau kariernya hancur karena satu video yang dipelintir.

"Aku akan bicara," ujarnya akhirnya.

Momen Klarifikasi

Malam itu, Arina duduk di depan kamera. Dengan napas dalam, dia menekan tombol rekam dan menatap lurus ke lensa.

"Halo semuanya. Aku tahu ada video yang beredar, dan aku ingin menjelaskan. Video itu diambil enam bulan lalu, saat aku sedang ngobrol santai di live Instagram. Di sana, aku membahas tentang ibu-ibu yang kewalahan mengurus anak di tempat umum. Aku tidak sedang menghakimi mereka. Sayangnya, bagian yang diunggah hanya sepotong. Padahal, di video aslinya, aku justru bicara tentang betapa beratnya menjadi ibu dan bahwa mereka butuh lebih banyak dukungan. Aku sadar, ucapanku saat itu bisa disalahartikan. Aku enggak akan membela diri dengan berkata 'Aku tidak tahu'. Aku hanya bisa meminta maaf atas kelalaianku dalam memilih kata-kata. Namun, aku juga ingin kalian tahu, aku tidak pernah bermaksud meremehkan perjuangan para ibu. Aku harap kalian mau melihatnya secara keseluruhan sebelum menilai."

Arina menarik napas panjang.

"Aku manusia. Aku bisa salah. Akan tetapi, aku juga ingin belajar dari kesalahan. Jika ada yang tersakiti, aku dengan tulus meminta maaf."

Lalu, dia menekan tombol stop.

Setelah Klarifikasi

Setelah video klarifikasinya diunggah, respons netizen terbagi dua. Sebagian tetap marah.

"Enggak peduli klarifikasimu, intinya kamu udah nyakitin banyak orang!"

Namun, banyak juga yang mulai berpikir.

"Ternyata dia enggak bermaksud jahat. Media sosial emang suka nge-framing orang seenaknya."

Secara perlahan, gemuruh luruh. Brand-brand yang sempat menarik diri mulai kembali membuka diskusi. Followers yang sempat meninggalkannya mulai balik lagi. Arina pun menarik napas lega.

Di era digital, satu kesalahan kecil bisa berubah menjadi badai besar. Namun, selama seseorang mau bertanggung jawab, belajar dari kesalahan, dan tidak lari dari kenyataan, tidak ada badai yang tidak bisa dilewati.

"Air yang jernih tak akan keruh selamanya, dan angin ribut tak bertiup sepanjang hari."

Hujatan bisa mereda, dan luka bisa sembuh. Yang terpenting, seseorang harus tahu kapan harus bertahan, kapan harus meminta maaf, dan kapan harus bangkit lagi.

Arina kini paham, di dunia maya yang serba cepat, persepsi bisa berubah dalam sekejap, tetapi karakter sejati tetaplah hal yang menentukan. (RK)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun